Friday, June 27, 2008

Korban Mandor dalam Berbagai Deraan dan Cobaan


Andreas Acui Simanjaya/Freelancer
Borneo Tribune, Pontianak

Makam Juang Mandor (kini menjadi Monumen Daerah Mandor sesuai Perda No 5 Tahun 2007, red) memang merupakan situs Sejarah Perjuangan yang penting artinya bagi seluruh rakyat Kalimantan Barat. Di sinilah terkubur 21.037 jiwa yang secara kejam di bunuh oleh Jepang yang ingin mengubah generasi muda Kalbar pada masa itu menjadi Jepang.

Keberadaan situs sejarah perjuangan ini merupakan juga ironi bagi pemahaman kehidupan berkebangsaan dan kemampuan memahami, menghargai sejarah/jasa perjuangan yang telah diberikan oleh para korban Mandor ini.

Bayangkan betapa berbagai nestapa yang harus dialami oleh para korban Mandor dari sejak ditangkap Jepang sampai detik ini. Awalnya saat mulai ditangkapi Jepang, sebagian besar orang yang takut terimbas dan ikut ditangkap saat itu berpura pura tidak mengenal dan bahkan menganggap bahwa yang ditangkap Jepang itu memang pesakitan yang bersalah dan pantas di hukum.
Setelah dibawa ke Mandor, mereka di kurung di areal yang sekarang adalah pemakaman Mandor. Para penjuang yang ditangkap ditempatkan di penjara alam yang di pagari kawat berduri dan dijaga tentara Dai Nippon.
Saya masih menemukan bekas kawat berduri yang dipakai sebagai pagar batas penjara alam tersebut. Memang kualitas kawat duri jaman dahulu memang lebih baik mutunya sehingga sebagian masih bertahan di lingkungan penjara alam itu.
Di penjara alam itu sudah dipastikan penderitaan tak terperi akan dialami oleh para tahanan di situ. Sengatan sinar matahari dan dinginnya udara malam. Belum lagi jika hujan, tentu akan sangat menyiksa. Selain itu masih ada serangan penghuni hutan misalnya nyamuk dan lintah serta kemungkinan adanya berbagai binatang berbisa.
Saya saja yang hanya beberapa jam di situs pemakaman ini sudah bentol bentol digigit nyamuk hutan yang keganasannya lebih daripada nyamuk rumahan.
Selama di “Penjara Alam Mandor” ini mereka dipaksa untuk melakukan upacara setiap pagi menghadap matahari sesuai agama dan kepercayaan Jepang yang meyakini bahwa rajanya adalah keturunan dewa matahari, di mana banyak tahanan yang dipukuli dan bahkan dipancung karena tidak melakukan ritual menghadap matahari dengan benar. Tentu saja banyak kesalahan yang mereka lakukan karena kondisi badan yang tidak sehat akibat perpindahan dari lingkungan rumah yang nyaman ke tengah hutan Mandor yang tidak ramah. Selain itu juga ada yang tidak mau meyembah matahari karena keyakinan Agama.
Di bekas areal upacara yang berupa lapangan terbuka, beberapa tahun yang lalu masih dapat ditemukan beberapa bilah pedang samurai yang patah, karena dipakai untuk memancung orang yang tidak melakukan / tidak mau melakukan penghormatan matahari dengan benar.
Mereka diwajibkan kerja paksa untuk membangun dan memperluas Areal penjara Alam di Mandor, kemudian juga menggali lubang lubang besar yang sebenarnya diperuntukkan mengubur mereka sendiri kelak.
Kerja fisik yang keras dengan tunjangan pangan yang tak tentu, keadaan alam yang tidak ramah, siksaan fisik dan mental dari tentara Jepang pada saat itu tentu merupakan siksaan yang luar biasa tak terperikan bagi semua yang terkurung di areal Mandor ini.
Dari cerita orang orang tua yang tahu kejadian pada masa itu, dikatakan bahwa tawanan yang mau dieksekusi ditutup kepalanya, matanya, kemudian disuruh berlutut, berjejer di tepi lubang besar yang telah digali sebelumnya, di barisan belakangnya tawanan yang lain dipaksa untuk memancungnya, demikian selanjutnya sehingga lubang penuh dan tawanan yang tersisa disuruh mengubur mayat yang menumpuk dalam lubang tersebut. Ternyata kejahatan perang seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia, di beberapa negara lain juga terjadi kekejaman yang sama dan saat ini dokumentasi kejadian ini sudah dapat diakses di internet.
Setelah Jepang penyerah karena perjuangan bangsa Indonesia dan kota Nagasaki & Hiroshima dijatuhi bom atom oleh Amerika, situs pemakaman ini sempat dilupakan. Kemudian Gubernur Kadarusno pada masa pemerintahannya cukup memberikan perhatian terhadap Makam Mandor sehingga keberadaan areal ini mulai terkuak dan diketahui masyarakat. Namun hanya sebatas itu saja, tidak ada perkembangan yang berarti sampai saat ini yang menunjukkan bahwa bangsa kita sebagai bangsa yang dapat menghargai jasa dan pengorbanan para pahlawannya.
Beberapa tahun yang lalu areal pemakaman ini digerus oleh kegiatan tambang emas tanpa izin (PETI) yang sampai mendekati areal lubang makam.
Berbagai upaya dilakukan oleh Bapak Samad, sang penjaga makam untuk mengusir mereka, sampai karena sudah hilang kesabaran dan akal Beliau bertelanjang bulat dan menghunus parang panjang mengejar para penambang liar tersebut. Berhasil.
Namun kegiatan PETI ini terus berlangsung, sampai tahun lalu sekitar bulan Nopember kebetulan saat saya berkunjung ke Mandor, saya melihat para pekerja PETI memindahkan mesin dompeng dan berbagai peralatan lainnya ke lokasi yang lebih jauh, rupanya mereka memutuskan pindah areal operasi karena emas yang didapatkan tidak banyak lagi.
Lega juga mengetahui kegiatan pertambangan liar ini terhenti, namun hamparan pasir putih yang luas bagaikan lautan tidak akan bisa menumbuhkan apapun di atasnya. Hamparan pasir putih yang menghampar bagai lautan ini menunjukkan betapa hitam dan kotornya hati manusia yang serakah dan haus harta, mengabaikan keberadaan dan pengorbanan para pejuang kemerdekaan yang mati mengenaskan dan terkubur di sini. Tanggal 24 Juni 2008 saya datang ke Monumen Mandor ini dan membawa anak anak saya, agar mereka tahu sejarah perjuangan bangsanya di Kalimantan Barat khususnya. Kami berkeliling dan berhenti di setiap lubang pemakaman massal sambil saya bercerita tentang apa yang terjadi pada masa itu.
Anak anak saya yang semuanya masih berumur di bawa 10 tahun takjub mendengarkan dan mengamati gambar diorama yang ada yang mengambarkan sekilas tentang kekejaman Jepang dan peristiwa Mandor. Saya membayangkan jika para orang tua yang lain melakukan hal seperti ini, anak-anak mereka juga menjadi tahu bahwa Kalbar juga ada perjuangan nasional merebut kemerdekaan dari penjajahan.
Terik dan panas matahari tidak lagi mereka rasakan, keinginan untuk tahu lebih banyak tercermin dari bahasa tubuh dan tatap mata mereka. Saat mencapai makam 10 yaitu makam terakhir dan merupakan makam para raja yang terbunuh saat itu, kami sepakat untuk masuk areal hutan yang terdapat di belakang makam 10.
Tahun lalu saya sempat masuk di hutan ini bersama beberapa wartawan, saya ingin menunjukkan kepada mereka—dan kini anak-anak saya—ada kawat berduri bekas pagar penjara alam yang masih tersisa, sisa peninggalan Jepang. Masih asli.
Namun dalam 30 langkah memasuki hutan di belakang makam 10, kami mendengar suara dengungan mesin chainsaw (gergaji mesin) memecah kesunyian hutan. 15 langkah ke depan, giliran saya yang terpana. Hutan teduh yang menyimpan banyak anggrek dan kantong semar (naphentes) serta banyak lagi plasma nuftah yang berharga di dalamnya telah gundul! Hanya bangkai bangkai pohon yang bergelimpangan, sedangkan areal yang lebih jauh sudah tumbuh pohon kelapa sawit yang berumur sekitar 1 tahun.
Begini rupanya berbagai cobaan yang seperti tidak henti hentinya pada situs sejarah perjuangan terbesar milik Kalbar.
Bangkai dan gelimpangan pepohonan ini mewakili matinya nurani anak bangsa ini yang tidak tahu sejarah dan tak mau tahu arti pengorbanan tulang belulang yang terbaring di dalam lubang kuburan massal ini.
Saya dan tentunya banyak pihak juga berharap adanya ketegasan dan campur tangan pemerintah yang serius dalam menjaga dan memastikan status peruntukan untuk areal Monumen Daerah Mandor dan sekitarnya agar dijadikan areal penunjang untuk menjaga dan menjadi peyangga agar areal keramat ini tidak diganggu serta ke depannya terbuka untuk diperluas sebagai situs perjuangan Kalimantan Barat yang terbesar.

1 comment:

West Borneo said...

to berto,
thanks yuor visit my blog....