Wednesday, July 2, 2008

Makam Juang Mandor di Mata Anak


Andreas Acui Simanjaya/Freelancer
Borneo Tribune, Mandor

Setelah kunjungan tanggal 22 Juni 2008, pada tanggal 24 Juni Saya kembali ke Komplek Makam Juang Mandor (kini bernama Monumen Daerah Mandor sesuai Perda No 5 Tahun 2007, red), kali ini misi Saya sederhana saja, ingin mengenalkan situs sejarah perjuangan Mandor ini kepada anak anak.
Sebenarnya mereka sudah beberapa kali diajak singgah ke makam yang heroik dan penuh para pejuang ini, namun kali ini saya ingin mereka mendatanginya dari sisi sejarah perjuangan Bangsa Indonesia khususnya di Kalbar.

Kami sampai di areal jam 13.30, saat itu matahari bersinar terik sekali.
Segera Saya menemui Pak Samad, penjaga makam, memperkenalkannya dengan anak anak dan berbincang sejenak.
Saat itu sempat Saya berikan pesawat HP (hand phone, red) agar bisa berkomunikasi dengan Nur Iskandar, Pimred Borneo Tribune di Pontianak, untuk berjomunikasi soal hasil pertemuan “Mandor Meeting” yang digelar bersama stakeholder di The Roof Cafe, Jumat (20/6) sebelumnya.
Terdengar komunikasi antara Pak Samad dan Nur Iskandar intens. “Iya. Ya, bagus itu. Baguslah kalau begitu,” komentar Pak Samad yang sempat Saya rekam.
Kepada Saya, Pak Samad mengatakan bahwa Nur Iskandar menceritakan hasil-hasil pertemuan di kalangan keluarga korban maupun wakil-wakil pemerintah. “Baguslah jika Tribune Institute dipercaya untuk membuat perencanaan yang menyeluruh mengenai HBD,” ujar Pak Samad meberikan kesimpulannnya.
Setelah minta ijin dan meminjam kunci untuk membuka gembok di jalan masuk menuju areal pemakaman, Saya mengajak anak anak menuju diorama kejadian Mandor yang melukiskan berbagai adegan peristiwa Mandor.
Mulanya ada keengganan anak anak untuk berpindah dari nyamannya kesejukan AC (Air Conditioner, red) mobil ke lapangan terbuka dan disengat sinar matahari, namun begitu Saya mulai bercerita tentang peristiwa Mandor sambil menjelaskan adegan demi adegan yang terdapat pada relief di dinding semen, segera anak anakku takjub, tengelam dalam perenungan alam pemikirannya. Kemudian berbagai pertanyaan mulai muncul dari mulut mereka yang mungil.
“Pa, mengapa Ibu penjual buah ini ditendang Jepang? Apa salahnya?”
“Lihat Pa! Dua ekor ayam ini mau diinjak Jepang ....“
“Papa! Bapak yang pakai kacamata itu dokter ya? Dion lihat ada stetoskop yang di pakainya.”
“Papa...lihat ada orang yang di injak injak ....”
Pada saat sampai di akhir kisah Saya sampaikan setelah Negara Jepang kena bom atom di Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika dan sekutu, kekuatan Jepang berkurang dan akhirnya Jepang menyerah. Tapi sebagian rakyat Kalbar telah dibunuh oleh Jepang karena mereka ingin men-Jepang-kan Kalbar. Para tokoh yang melawan ditangkap dan disiksa. Sebagian dibunuh di tempat ini.
“Papa, Dion mau lihat ada tidak Jepang yang dibunuh oleh pejuang kita!?”

Tuh yang botak dan tengkurap itu ... tunjuk Saya pada relief yang terakhir.

Kemudian kami masuk ke dalam mobil untuk mengunjungi lubang lubang pemakaman massal karena jarak satu makam ke makam yang lainnya cukup jauh. Menurut data Kecamatan Mandor, daerah makam berada di lokasi cagar alam yang luasnya 3.080 hektar.

“Papa, lihat ada korban Jepang yang wartawan!” seru Dion yang membaca papan pengumuman di bagian depan rumah Pak Samad, yang memuat sebagian kecil data korban berikut keterangan profesinya. Dion tampak semakin takjub dan paham bahwa sampai wartawanpun jadi korban keganasan Jepang saat itu.

“Papa nanti kalo ada artis Jepang kita tinju ya!” cetus anakku Dion tiba tiba. Jhas celetukan anak-anak.
Dia pengemar Power Ranger dan Doraemon yang notabene film seri buatan Jepang. Entah apa yang melintas dalam pikirannya soal tinju itu—apakah nasionalisme atau dendam ala anak-anak—segera Saya menjelaskan bahwa meninju artis Jepang itu bukan tindakan yang baik. Mereka juga tidak tahu dan belum tentu setuju dengan tindakan serta kekejaman tentara Jepang masa lalu.
“Kita datang ke sini untuk belajar sejarah, bukan untuk membuka dendam kepada siapapun,” kata Saya.
Saya lantas kuatir bahwa tujuan utama untuk memberikan informasi sejarah perjuangan Kalbar kepada anak Saya malah menghasilkan perasaan dendam pada benaknya kepada Jepang. Semoga tidak.
Kita memang pantas marah dengan kekejaman Jepang yang menelan satu generasi rakyat Kalbar sejumlah 21.037 jiwa, namun bukan dendam negatif, tetapi memetik nilai-nilai kejuangannya untuk membangun Kalbar secara bersama-sama dengan semangat pluralisme lokal, nasional dan internasional.
Dalam kunjungan ini Saya kuatir jika kemarahan anak anak Saya bertambah dengan penjelasan Saya bahwa hamparan pasir putih di sisi kiri jalan menuju makam 1 adalah akibat pertambangan emas liar dan bahwa sebenarnya kita sendiri kurang menunjukkan kemampuan untuk menghargai pengorbanan para pejuang kemerdekaan yang terkubur di sini, namun mereka hanya diam saja ... entah apa yang ada di dalam benak mereka.

Dalam beberapa hari ini, masih ada berbagai pertanyaan yang muncul dari anak anak Saya sehubungan dengan Makam Mandor, umumnya minta diceritakan kembali kejadian Mandor, oleh karena itu Saya mendambakan adanya sebuah buku berupa komik yang bercerita tentang Tragedi Mandor dan sejarah perjuangannya, pasti Saya akan jadi pembeli yang pertama untuk anak anakku.
Read More....

Monday, June 30, 2008

Yang Tersisa yang Terabaikan


Jessica Wuysang
Borneo Tribune, Landak

Dahulu ketika kecil, tiap kali melewati kawasan Mandor di kabupaten Landak, orang tua sering menceritakan hal yang sama, yaitu tentang salah satu sejarah terbesar di Kalimantan Barat. Cerita itu tak lain mengenai tragedi berdarah yang terjadi di Mandor. Bahwa di kawasan yang kini ditasbihkan sebagai cagar alam pernah terjadi pembunuhan massal yang memakan korban para raja-raja, keluarga kerajaan, kaum cendekiawan, tokoh masyarakat dan rakyat kecil sebanyak 21.037 orang. Sungguh angka yang fantastik.
Saat itu, seperti kebanyakan anak kecil lainnya, cerita sejarah tak terlalu menarik perhatian. Walhasil kisah yang tak pernah bosan diceritakan oleh orang tua tiap melewati tugu Mandor, hanya berhasil menyisakan sepenggal ingatan bahwa orang Jepang itu kejam. Bahwa orang Jepang itu tidak manusiawi. Bahwa banyak rakyat Kalbar yang hingga kini masih antipati dengan segala sesuatu yang berbau Jepang. Itu dulu, ketika barang-barang elektronik buatan Jepang belum menjadi kawan akrab dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tanggal 28 Juni 2008 kemarin, saya berkesempatan untuk datang ke kawasan Mandor tersebut setelah 20 tahun lalu. Saat turun dari mobil, terlihat para pelayat berduyun-duyun bergegas masuk ke lapangan Monumen Daerah, 30 menit sebelum upacara peringatan Hari Berkabung Daerah. Tampak sekitar 1000 massa saat itu,sebagian besar dari mereka adalah keluarga korban, pelajar dan undangan.
Dari jauh terlihat tugu Monumen yang berhiaskan Garuda Pancasila terpancang dengan gagah di bawah langit biru. Sementara di sisi kiri dan kanan, dua prajurit bersenjata dan karangan bunga terlihat berderet rapi di depan relief yang menggambarkan pembantaian massal tersebut. Menakjubkan sekaligus mengerikan. Bagaimana tidak, relief yang digambarkan dengan detil menunjukkan kronologis tragedi berdarah tersebut. Tak mengherankan jika banyak anak kecil yang berkerumun melihat-lihat relief itu.
“Ini apa sih, pak?”, tanya seorang anak pada ayahnya yang tampak tekun memperhatikan relief tersebut. Wajah sang ayah tampak bingung, tampaknya tak tahu harus menjawab apa. Entahlah, apakah Ia sedang kebingungan menyusun kata atau jangan-jangan tidak tahu menahu tentang tragedi berdarah itu?
Entah kenapa, tragedi berdarah yang terjadi di kawasan Mandor tidak pernah mendapat perhatian khusus dari Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah. Jangankan memasukkan tulisan tentang tragedi Mandor ke dalam kurikulum pelajaran sejarah untuk
sekolah dari jenjang SD hingga SMU di Kalbar, mensosialisasikan tentang Hari Berkabung Daerah (HBD) saja tidak ada sama sekali! Hal ini bisa terlihat dengan tidak adanya pengibaran bendera setengah tiang di berbagai kota, kecuali Kabupaten Landak. “Saya tidak tahu, pemerintah tidak ada mensosialisasikannya di koran,” ujar seorang wanita paruh baya di komplek perumahan TNI AD di Pontianak.
Terbersit sedikit pikiran nakal di dalam kepala, mungkin Pemerintah sudah merasa cukup memberikan perhatian dengan mengirim karangan bunga tanda bela sungkawa dan mendegelasikan sejumlah pejabat untuk menghadiri upacara yang dipimpin oleh Sekda Kalbar, Drs H Syakirman. Saat itu, keberadaan Beliau di Tugu Monumen Daerah untuk mewakili Gubernur yang ke Kapuas Hulu dan Wagub yang ke Jambi, sementara Bupati Landak berada di Yogyakarta. Waduh, sebegitu sibuknya kah hingga para pemimpin daerah tidak bisa meluangkan sedikit waktu untuk menunjukkan rasa empati pada sejumlah ahli waris yang telah bela-belain datang dari Pontianak untuk melayat.
Tanpa menafikan upacara yang berlangsung khusuk yang berlangsung selama 30 menit dan dilanjutkan dengan penempatan karangan bunga serta ziarah ke 10 makam massal. Rasanya kasihan sekali melihat sejumlah ahli waris yang tampak khusuk mengikuti upacara di bawah teriknya matahari. Salah satu ahli waris yang diwakili oleh Drs. Gusti Suryansyah, M.Si menyayangkan ketidak hadiran Gubernur atau Wakil Gubernur. Menurutnya, acara Hari Berkabung Daerah ini sangat penting sehingga seharusnya acara yang lain bisa diatur mundur atau dipercepat. Teorinya sih begitu, tapi tampaknya sangat sulit untuk diaplikasikan oleh mereka.
Tampaknya, para pemimpin daerah harus menoleh sejenak ke belakang. Melihat kembali tapak tilas yang dilakukan oleh Gubernur Kadarusno yang mau menunjukkan kepedulian dengan meresmikan Monumen Makam Juang Mandor pada tanggal 28 Juni 1977. Tak hanya itu, beliau tak pernah mengenal lelah untuk mensosialisasikan sejarah tragedi berdarah tersebut.
Satu yang harus kita renungkan, bahwa sejarah ini bukan hanya milik rakyat Kalimantan Barat, tetapi juga milik rakyat Indonesia. Mengapa? Karena korban yang berjatuhan pada 64 tahun yang lalu, sebagian besar mewakili etnik yang ada di Indonesia. Sebut saja Melayu, Dayak, Minahasa, Batak, Jawa bahkan Tionghoa. Beragam etnik yang terlihat dari keberagaman warna kulit, suku dan agama di Mandor menunjukkan duka yang tak pernah terpulihkan.Mungkin duka ini hanya dimiliki oleh sejumlah ahli waris yang merasakan pahitnya ditinggalkan keluarganya. Mungkin hanya ahli waris saja yang perlu berkabung atas malapetaka yang ditimbulkan oleh tentara pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945. Karena realita yang terlihat, sama sekali tidak terlihat kepedulian yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah dalam tragedi Mandor. Hal ini bisa terlihat dari spanduk-spanduk yang bergelimpangan begitu saja di area Kawasan Makam Mandor, hari Sabtu (28/6), tampaknya ‘lupa’ untuk dirapikan.
Read More....

Mempertanyakan Bantuan Jepang untuk Mandor


Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Juru kunci makam juang Mandor, Abdussamad Ahmad yang kini berusia 72 tahun usai peringatan Hari Berkabung Daerah, Sabtu (28/6) mempertanyakan pada pemerintah ke mana bantuan yang pernah diberikan pemerintah Jepang beberapa tahun yang lalu yang besarnya Rp100 miliar untuk pembangunan Rumah Sakit Mandor.
“Saya waktu itu membuat proposal permintaan pertanggungjawaban dari pemerintah Jepang dan pemerintah Jepang sempat berjanji akan memberikan bantuan pendirian Rumah Sakit Mandor,” katanya.
Sekitar tahun 1990-an, dirinya pernah mendengar pemerintah Jepang telah memberikan bantuan dana sebesar Rp100 miliar untuk pendirian rumah sakit Mandor. Tapi oleh Gubernur Aspar Aswin dana tersebut justru digunakan untuk membeli alat-alat kesehatan bagi seluruh rumah sakit di Kalbar. Waktu itu, lanjutnya, Dr Subuh yang tahu persis dana tersebut. Karena Dr Subuh sebagai pejabat di Kanwil bagian penanganan bantuan luar negeri.
”Saya minta pada Dr Subuh yang saat ini menjadi Kepala RSUD Soedarso untuk memberikan transparansi penggunaan bantuan tersebut,” pintanya.
Ia meminta pemerintah merehabilitasi monumen dan makam-makam juang di Mandor. ”Buktikan jika bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya,” kata dia.
Bagi generasi muda, ia berharap peringatan hari berkabung daerah bukan hanya sekadar diperingati sebagai hari bersejarah saja yang hanya mengingat sejarah. Tapi sejarah ini harus dipelajari oleh generasi muda agar para generasi muda dapat menanamkan nilai-nilai kepahlawanan para pahlawan dalam diri mereka.
”Tanamkanlah semangat kepahlawanan untuk membangun bangsa ini,” harapnya.
Uca Suherman, mantan Kepala Pukesmas Mandor membenarkan pernyataan Abdussamad. Ia mengatakan dirinya bersama Abdussamad yang membuat proposal dan dikirim ke Kedubes Jepang agar pemerintah Jepang bertanggungjawab terhadap tragedi Mandor. Tapi ketika pemerintah Jepang mau bertanggungjawab dengan memberikan bantuan dana pendirian rumah sakit di Mandor justru pemerintah Kalbar yang menyalahgunakan dana tersebut. Bahkan ia mengakui dirinya tidak pernah melihat uang bantuan dari Jepang tersebut. Padahal saat ini ia betul-betul memperjuangkan bantuan dari pemerintah Jepang sementara pemerintah Kalbar tidak terlalu banyak berbuat bahkan terkesan tidak mengurus masalah Mandor.
Melihat kondisi Makam Mandor saat ini, Uca sangat prihatin, karena sampai sekarang daerah di sekitar makam yang telah gundul akibat PETI belum juga direhabilitasi. ”Bagaimana ingin menghargai jasa para pahlawan jika makam pahlawan saja digali sebagai lahan tambang emas. Akibat penggalian emas di sini banyak tengkorak para pahlawan dibuang begitu saja oleh para penambang,” ungkapnya.
Ia mengimbau masyarakat Kalbar untuk kembalilah pada jati diri bangsa yang punya adat istiadat dan bermartabat. ”Apa kata dunia jika anak bangsa justru menghancurkan makam pahlawannya. Untuk para ahli waris, karena mereka hanya memiliki kekuatan suara bukan kekuatan kekuasaan maka para ahli waris ini harus terus memperjuangkan agar pemerintah peduli pada kondisi makam dan nasib para ahli waris,” ungkapnya.■
Read More....

KNPI Dukung Pemerintah Seriusi Mandor


Andry
Borneo Tribune, Pontianak

Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Kalimantan Barat, Adi Cahyono, SH mengatakan pemerintah semestinya sungguh-sungguh memperhatikan persoalan Mandor.
Bagaimana pun juga para korban peristiwa Mandor itu merupakan leluhur atau nenek moyang para generasi penerus bangsa yang ada hingga sekarang. Dan mereka semua rela berjuang demi bangsa ini. ”Kita minta pemerintah tidak main-main dalam memperhatikan persoalan Mandor,” harap Adi.
Kata Adi, semenjak lahirnya payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) Provinsi Kalimantan Barat, tentu pemerintah harus lebih fokus dan lebih perhatian lagi terhadap situs cagar budaya ini.
Sehingga kawasan yang merupakan cagar budaya dan Monumen Daerah Mandor ini bisa terus lestari dan terjaga sebagai suatu sejarah bagi generasi penerus bangsa. “Kita berharap bahwa hari berkabung daerah ini bisa menjadi momentum untuk menambah energi dalam semangat kita membangun daerah ini. Karena kita bangsa pejuang dan juga merupakan keturunan-keturunan dari para pejuang,” suara Adi terdengar berkobar.
Sejauh ini, kata dia, amanah Perda No.5/2007 yang menyebutkan agar sejarah perjuangan Mandor ini dapat dirangkum dalam bentuk tulisan maupun suatu kompilasi ilmiah. Namun sayang hingga kini hal itu belum terwujud.
Karenanya, Ketua KNPI Provinsi Kalimantan Barat ini menegaskan pemerintah segera melakukan koordinasi dengan berbagai pihak terkati, agar memperoleh data yang valid serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sehingga cita-cita untuk melahirkan buku yang objektif dan ilmiah bagi generasi penerus bangsa untuk mengetahui sejarah Mandor dapat segera terealisasi.
Menurutnya, sejauh ini banyak versi tentang peristiwa Mandor yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Sehingga hal itu terkesan membingungkan masyarakat untuk memahami secara utuh tentang sejarah pergerakan nasional di Mandor kala itu.
“Tentunya kita berharap akan mempunyai kesimpulan final terhadap peristiwa berdarah yang terjadi di Mandor. Baik dari segi data korban maupun fakta yang terjadi kala itu. Kita berharap Mandor dapat menjadi salah satu daerah perjuangan di Kalimantan Barat,” ujarnya panjang lebar.
Selaku Ketua KNPI Provinsi Kalimantan Barat, Adi Cahyono berjanji akan memperjuangkan beragam perjuangan terkait peristiwa Mandor. Apakah perjuangan itu dalam bentuk mendesak pemerintah Japang untuk memohon maaf secara resmi terhadap pemerintah republik Indonesia terkait kebiadaban mereka, maupun bentuk perjuangan yang lainnya.
“Artinya, KNPI senantiasa berjuang bersama-sama masyarakat dan rakyat Indonesia untuk memperjuangkan peristiwa Mandor. Bagaimana pun juga ini merupakan bentuk tanggungjawab kita terhadap perjuangan yang telah dilakukan para leluhur kita dalam melawan penjajah,”pungkasnya.
Read More....

Memaknai Hari Berkabung Daerah

Banyak yang Tak Kibarkan Bendera Setengah Tiang

Andika Lay
Borneo Tribune, Pontianak

Instruksi Gubernur Kalbar instansi vertikal, pemerintah daerah, lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, BUMN dan BUMD, swasta serta di setiap rumah penduduk di wilayah Provinsi Kalimantan Barat untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama satu hari, pada tanggal 28 Juni 2008 ternyata semua warga maupun perkantoran menjalaninnya.
Berdasarkan pantauan, Borneo Tribune di beberapa lokasi di Kota Pontianak, Sabtu (28/6) pukul 09.00 Wib masih banyak ditemukan tidak seragam warga mengibarkan bendera setengah tiang di berbagai kantor instansi pemerintah maupun swasta dan pemukiman warga.
Hanya sebagian sebagai Kantor Pemerintahan maupun swasta dan pemukiman warga yang mengibarkan bendera setengah tiang. Tampak pantauan kami kantor-kantor yang mengibarkan bendera setengah tiang, gedung DPRD Prov, Kantor Gebernur, Kantor BPK RI Perwakilan kalbar, Pendopo Gubernur, Kantor Kependudukan dan Capil, Mapolsekta Pontianak Timur dan beberapa kantor lainnya. Sejumlah kantor instansi pemerintah, instansi vertikal dan perumahan masyarakat terlihat tidak mengibarkan bendera setengah tiang dan ada satu tiang penuh.
Seperti diketahui, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) Provinsi Kalimantan Barat, Bab IV pasal 5 menetapkan Mandor sebagai Hari Berkabung Daerah yang wajib dilaksanakan setiap tahunnya dengan kegiatan-kegiatan yang merenungkan dan memaknai kejuangan nasional tersebut.
Oleh karena itu, Gubernur Kalimantan Barat, Drs. Cornelis, MH melalui Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Drs.H Syakirman menginstruksikan kepada instansi vertikal, pemerintah daerah, lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, BUMN dan BUMD, swasta serta di setiap rumah penduduk di wilayah Provinsi Kalimantan Barat untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama satu hari pada tanggal 28 Juni 2008. Hari Berkabung Daerah atas tragedi mandor ini masih kurang sosialisasi untuk memaknainya.
Read More....

Pengakuan Veteran Atas Tragedi Mandor


Kepala Terkulai di Truk Jepang

Johan Wahyudi
Borneo Tribune, Mempawah

Raut wajahnya dipenuhi kerutan. Kulitnya sawo matang, terbakar sinar matahari. Kasim, (88 tahun) warga Dusun Parit Banjar, Desa Sungai Bakau Kecil, Kecamatan Mempawah Hilir merupakan veteran yang hingga kini masih aktif mengurus kebun miliknya.

Saat ditemui kediamannya, Tok Su Kasim panggilan sehari-harinya, Sabtu (28/6), kemarin terlihat sedang asik memperbaiki ban sepeda tuanya yang mengalami kerusakan. Di dalam rumah ada istri yang sedang memasak menggunakan api tungku, sedangkan anak perempuannya sedang membersihkan rumah.

“Apa kabar tok?” Saya menyapa.
“Baik-baik saja, cuma badan sudah tidak kuat lagi. Tapi untuk membersihkan rumput di kebun masih bisalah, apalagi mata ini agak rabun,” akunya sambil tertawa ringan.

Dan ketika saya, menanyakan kenang-kenanganya pada masa penjajahan ia berusaha mengenang masa lalunya. “Saya sangat sakit hati dengan penjajah, mendengar cerita ibu saya, tentang kekejaman penjajah. Dan orang tua saya pergi dari Banjar hanya menggunakan sampan untuk menyelamatkan diri,” ceritanya dimana pada saat itu ia masih kecil, bahkan ia sendiri tidak sempat mengenal wajah orang tuanya.

Di usia 17 tahun, dia sempat masuk dalam pasukan pemberontak penajajah Belanda. Selama masuk pasukan pemberontak berbulan-bulan ia bersama teman-temanya tinggal di dalam hutan. Di mana mereka memiliki tugas merusak infrastruktur jalan seperti jembatan untuk menghalangi perjalanan tentara Belanda.

“Kami sempat merobohkan jembatan di Karangan, karena kami mendapat informasi tentara Belanda akan menyerang daerah hulu. Dan selama di dalam hutan kami juga disuplai obat-obatan yang dibantu oleh Dr. Rubini, terutama obat malaria,” katanya.
Dan menurut ingatannya, Jepang mulai mendarat di Kalbar sekitar tahun 1942 dan menjajah Indonesia selama 3 tahun 8 bulan.
Kedatangan Jepang bertujuan mengusir Belanda dari Indonesia. Untuk itu, dirinya sempat mengikuti latihan angkatan perang yang dibentuk tentara Jepang yaitu Kaigun Heiho yang beranggotakan warga pribumi. Bahkan kedatangan tentara Jepang sempat disambut gembira, karena berharap Indonesia terlepas dari penderitaan yang dialami di masa penjajahan Belanda.
“Saya sempat dilatih menjadi tentara pembela tanah air yang dibernama Kaigun Heiho. Di mana kami dikumpulkan di sebuah gereja di Kota Singkawang, di mana seluruh kesehatan tubuh kami diperiksa. Dan di sanalah saya dilatih tentara Jepang menggunakan senapang, membuat granat dan teknik-teknik perang lainnya,” ucapnya.
Dikonfirmasi mengenai terjadinya penangkapan dan pembantain tokoh-tokoh masyarakat Kalbar, Ia menjelaskan karena Jepang mengetahui akan adanya pemberontakan yang dilakukan masyarakat Kalbar yang bertujuan melepaskan diri dari ikatan penjajah. Maka Jepang langsung melakukan penangkapan, terhadap para tokoh-tokoh yang dianggap menjadi otak pemberontakan tersebut.
“Karena Jepang mengetahui akan adanya pemberontakan. Maka para tokoh masyarakat dan pemuda kita ditangkap dan dibawa ke Mandor, lalu dipancung. Dan saya sempat melihat iringan mobil truk Jepang membawa korban. Karena pada saat mereka lewat terpal penutup bak truk tersingkap, sehingga tampak kepala seseorang terkulai bersandar di bak,” katanya.
Sedangkan ditetapkannya tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, terhadap peristiwa pembantaian puluhan ribu masyarakat Kalbar di Mandor yang merupakan bukti sejarah keganasan penjajah Jepang yang tak terlupakan, pria yang rambutya telah memutih ini memberikan pujian.
“Yang masih saya ingat hanya kenang-kenangan pada masa penjajah dulu yang tidak bisa dilupakan,” katanya.
Read More....

3.080 Ha Cagar Alam Mandor Separuhnya Rusak Berat


Nur Iskandar
Borneo Tribune, Mandor

Upacara Hari Berkabung Daerah (HBD) berlangsung khidmat, Sabtu dua hari lalu. Tapi, tak banyak yang berubah dari tata cara pelaksanaan hari duka bagi warga Kalbar tersebut. Ceremonial berlangsung datar-datar saja. Bahkan tahun ini jauh lebih singkat lantaran tak ada sambutan dari Gubernur dan tak ada dialog antara pelaku sejarah dengan para pelajar/mahasiswa. Semua datar-datar saja.
Yang istimewa justru lokasi makam. Lokasi yang amat bersejarah sehingga oleh Perda No 5 Tahun 2007 status Makam Juang Mandor telah berubah menjadi Monumen Daerah semakin panas akibat pepohonan yang rimbun kian musnah ditebang. Tanahnya digerus untuk mencari emas lewat aktivitas penambangan.
Syaiful Doman, aparat Trantib Kecamatan Mandor mengakui luas areal cagar alam Mandor seluas 3.080 hektar. “Sebagiannya kini sudah rusak akibat penambangan emas,” ungkapnya saat ditemui di Kantor Camat seusai upacara.
Kata Syaiful, kondisi tersebut sangat disayangkan karena Mandor merupakan aset yang sangat berharga bagi Kalbar. “Sesungguhnya Mandor adalah Kalbar,” ungkapnya.
Betapa tidak. Di lokasi cagar alam yang terdapat Monumen Daerah Mandor terbaring 21.037 jiwa rakyat Kalbar. Mereka multietnis. Ada Melayu, Dayak, Tionghoa, Batak, Manado, Jawa dll. “Bukan cuma Kalbar, tapi nasional,” imbuhnya.
Hal senada dilaporkan Antara. "Kami sudah beberapa kali mengajukan surat atau keluhan kepada pemerintah agar secepat mungkin menertibkan PETI dan pembalakan liar di kawasan makam, tetapi hingga kini belum ada tindakan. Pemerintah baru sibuk ketika akan memperingati hari ziarah setiap tanggal 28 Juni," kata Penjaga Makam Juang Mandor, Abdus Samad.

Ia mengatakan, para penambang emas dan penebang kayu secara liar, melakukan aktivitas ketika situasi kondusif, dalam artian ketika masyarakat, penjaga makam maupun perhatian publik tidak ke Makam Juang Mandor.

"Mereka melakukan aktivitasnya ketika kita semua lengah, ketika dilakukan razia aktivitas ilegal secara spontan hilang, tetapi begitu sudah reda mereka kembali melakukan aktivitasnya," katanya.

Sementara itu ahli waris dan Ketua Masyarakat Peduli Sejarah Kalimantan Barat (Kalbar) Raja Mempawah, Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, menilai Pemprov Kalbar masih kurang memberikan perhatian terhadap makam Juang Mandor tersebut.

"Kita melihat perhatian Pemprov Kalbar dan Pusat terhadap Makam Juang Mandor masih kurang. Itu bisa dilihat dengan banyaknya praktek PETI dan pembalakan hutan secara liar yang jumlahnya puluhan di sekitar kompleks makam itu," katanya.

Akibat perbuatan orang-orang yang tidak bertanggungjawab tersebut, lokasi Makam Juang Mandor semakin terancam. Sehingga kalau tidak mulai dari sekarang ditertibkan maka tidak menutup kemungkinan tinggal kenangan saja.

Ia mengatakan, dalam Tragedi Mandor sekitar tahun 1942-1945, Kalbar hampir kehilangan satu generasi. Korban tewas adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, pimpinan/Sultan dan Pangeran serta cendikiawan dan masyarakat pejuang lintas agama multi etnis.

"Kita dari tahun ke tahun mengingatkan pemerintah agar lebih memperhatikan kondisi Makam Juang Mandor akibat aktivitas PETI yang semakin hari semakin merajalela. Apakah mau sejarah mengenai tragedi berdarah tersebut hilang hanya gara-gara PETI?" katanya setengah bertanya.

Budayawan HA Halim Ramli pun tampak trenyuh melihat padang pasir yang terhampar luas di lokasi makam. Pria yang di masa mudanya, tahun 1976-1977 mereportase bahkan turut mengangkut tengkorak-tengkorak para korban Jepang untuk dimakamkan di pemakaman massal mengaku prihatin.
“Dulu tengkorak-tengkorak berserakan di lokasi-lokasi ini. Saya yakin masih banyak belum ditemukan dan oleh akibat penambangan emas tanpa izin (PETI) ada tengkorak-tengkorak yang ditemukan tapi tidak dilaporkan. Begitu dapat langsung ditanam di lokasi penggalian,” ujarnya dengan raut wajah prihatin.
Evi Yusmayadi pimpinan LSM Serimpi mengaku berjuang melawan PETI tersebut. Bekerjasama dengan Dian Tama mereka beruapaya menanami kembali daerah PETI yang ditinggalkan. “Sebaiknya HBD diperingati dengan penanaman pohon ketibang hanya sekedar tabur bunga,” usul sarjana alumni ABA yang skripsinya tentang Tragedi Mandor tersebut. Menurut Evi, lembaganya sudah bekerjasama dengan mahasiswa dari Jepang. “Ada komitmen Jepang membantu penanaman kembali daerah berpasir bekas PETI,” ungkapnya.
Read More....