Wednesday, August 29, 2007

Para Korban Kekejaman Jepang di Mandor









































































Posting By Tanto Yakobus/Borneo Tribune
Foto By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune
Read More....

Monday, August 27, 2007

Korban Kekejaman Jepang di Mandor











Foto-Foto By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune




Posting By Tanto Yakobus/Borneo Tribune
Read More....

Korban Tragedi Mandor














































































Foto-Foto By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune
Posting By Tanto Yakobus/Borneo Tribune














Read More....

Wajah Para Korban Kekejaman Jepang di Mandor


Foto-foto: By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune




































Read More....

Para Korban Peristiwa Mandor






















Nah, inilah wajah-wajah korban pembantai tentara Jepang di Mandor yang dikenal dengan peristiwa Mandor. Peristiwa ini terjadi selama tahun 1943 sampai dengan 28 Oktober 1944. Dan Jepang masih berkuasa sampai dengan 9 Agustus 1945, sebelum kalah dari tentara Sekutu.
Posting by Tanto Yakobus/Borneo Tribune
Foto-Foto By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune
Read More....

Wednesday, August 22, 2007

Kabar Baik dari Makam Juang Mandor


Pada tanggal 11 Agustus 2007 ini, saya sempat mengunjungi Kompleks Pemakaman Juang Mandor, sekedar melihat situasi dan bertegur sapa dengan Pak Samad--sang penjaga Makam, ternyata ada perkembangan yang positif di kompleks Makam Juang Mandor ini.

Pagi pukul 08.00 WIB, saya berangkat menuju ke Mandor, tujuan saya adalah mengunjungi Makam Juang Mandor, namun sebelumnya saya pergi ke pasar Mandor, di belakang pasar ini ada situs makam Lo Pong Pak--tokoh legendaris di balik berdirinya kongsi Lan Fang--yang namanya pernah tercatat sebagai pendiri sistim pemerintahan berbentuk Republik--konon pertama di dunia. 10 tahun sebelum Amerika Serikat di dirikan.
Lokasi Republik pertama itu tepatnya di Kalimantan Barat, setelah tokoh ini meninggal dan di makamkan secara rahasia dan kemudian dibuat beberapa makam palsu yang menyebar di beberapa wilayah di Kalimantan Barat ini.
Hal ini di lakukan untuk menghindari pembongkaran makam oleh orang yang memburu harta karun yang diyakini turut dimakamkan bersama jasad Lo Fong Pak. Salah satu makam ini terdapat di Mandor yang ditandai dengan sebuah tugu yang keempat sisinya terdapat prasasti bertuliskan aksara kanji. Makam ini pernah dibongkar dan isinya sebuah peti mati kosong.
Nah kedatangan saya kali ini ke situs tersebut adalah untuk memotret tulisan ini untuk kemudian nantinya minta bantuan orang yang bisa membaca tulisan ini untuk membantu menterjemahkan isinya. Tak ada maksud lain selain sekedar ingin tahu saja apa makna yang tersirat dalam prasasti yang terpasang di keempat sisi tugu tersebut.

Selesai melakukan pemotretan dan kemudian menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk mengamati serta mengambil foto berbagai tumbuhan yang terdapat di sekitar lokasi makam ini, saya kemudian menuju kompleks Makam Juang Mandor yang letaknya sekitar 300 meter dari Pasar Mandor, kearah Pontianak.

Saya memang selalu menyempatkan hadir sejenak di kompleks pemakaman Mandor ini jika kebetulan melintasi daerah ini, sekedar mengetahui perkembangan yang ada dan bertegur sapa dengan Pak Samad, penjaga dan sekaligus juru kuncinya Makam Juang Mandor ini. Memang ada hubungan yang unik antara kami, karena kesamaan hobby pada koleksi tanaman hias asli Kalbar antara lain anggrek alam, kantong semar juga karena adanya keperdulian terhadap Kompleks Makam Juang Mandor ini sendiri. Nah disinilah titik temu diantara kami, beliau sudah saya anggap sebagai orangtua sendiri.

Mobil saya perlahan memasuki Kompleks Makam Juang Mandor ini, bayangan pohon akasia yang tumbuh di pinggir kiri kanan jalan masuk ini membuat suasana menjadi enak, asri dan sejuk .... ada kesan damai layaknya sebuah makam.

Setelah menempatkan mobil di bawah keteduhan pohon saya kemudian keluar menuju rumah Pak Samad yang terletak di sebelah kanan jalan kira kira 100 meter dari jalan masuk. Di sebelah kiri atau tepat di hadapan rumahnya terdapat semacam papan pengumunan atau majalah di dinding dan selanjutnya ada lapangan luas di mana dibangun drama kejadian peristiwa pembantaian di Mandor oleh Jepang.
Rupanya pemiliknya tak ada di rumah, terlihat ada truk yang sedang membongkar tanah merah di lapangan depan diorama dan di awasi oleh Pak Samad, wajahnya lebih berseri kini di bandingkan pertemuan kami yang pertama dengan para jurnalis yang dipimpin oleh Sdr. Nur Iskandar, Alex Mering, Tanto Yakobus cs sekitar 3 tahun yang lalu.
Saat beliau berkeluh kesah betapa tidak adanya perhatian berbagai pihak yang berkompeten pada Makam ini. Kecerahan wajahnya sudah cukup bagi saya, tidak perlu lagi saya menanyakan asal usul pembiayaan tanah merah yang di turunkan dari truk ini.

Kemudian saya minta ijin untuk berkeliling kompleks pemakaman, biasanya pintu jalan untuk mengakses makam ini selalu di kunci oleh Pak Samad untuk mencegah masuknya orang yang tidak bertanggungjawab.

Di bagian belakang Diorama juga telah di bangun pagar dari batako dan semak belukar yang ada juga sudah di bersihkan, kemudian di Makam 10 juga sudah di pagar dengan batako, cuma sayang terlalu tinggi sehingga unsur estetikanya hilang, namun pasti ada alasan Pak Samad dengan pagar itu, kelak kita akan tahu, setelah berkeliling cukup lama akhirnya saya memutuskan untuk segera pulang karena ada kegiatan lain menunggu di Pontianak, yang baru saya ketahui dari handphone.

Sejenak saya berhenti untuk pamit dengan Pak Samad, tak sempat banyak bertanya lagi karena beliau juga sibuk mengawasi pekerjaan penimbunan tanah merah.

Nah apapun adanya, sumber biaya kegiatan ini tak penting, yang ingin saya sampaikan kepada rekan-rekan melalui tulisan ini adalah bahwa apa yang getol kita perjuangkan bersama yaitu: perhatian untuk Makam Juang Mandor kita mulai menunjukan hasilnya, semoga berlanjut dan lebih terarah kelak.

Salam hangat untuk Rekan rekan yang selalu seia sekata untuk kemajuan Makam Juang Mandor antara lain: Nur Iskandar, Alex Mering, Tanto Yakobus, Akim dan yang lainnya.


Ir. Andreas Acui Simanjaya
andreasacui@yahoo.com

1. Foto Pak Samad dan keluarganya semasa beliau masih muda.
2. Foto Pak Samad yang sedang mengawasi pekerjaan di halaman depan makam Juang Mandor.

foto-foto By Andreas Acui Simanjaya
Read More....

Monday, August 20, 2007

Komitment Pers di Kalbar Terhadap Peristiwa Mandor


Salut buat Sdr. Tanto Yakobus, karena inisiatifnya membuat blogspot tentang Peristiwa Mandor. Blogspot ini sangat bermanfaat untuk mengumpulkan berbagai pengalaman / kenangan tentang peristiwa Mandor itu sendiri baik yang dialami sendiri maupun merupakan informasi yang terkumpulkan dari invetigasi maupun cerita dari pihak yang mengetahui persisnya kejadian peristiwa Mandor itu sendiri dan juga kumpulan reaksi serta tanggapan berbagai pihak yang up to date pada saat ini. Artinya bagaimana sudut pandang generasi masa kini untuk kejadian yang silam dalam Peristiwa Mandor.

Saran saya bagaimana jika di buat semacam komitment bersama dari para sesama rekan pers di Kalbar agar selalu memberikan sumbangsih tulisan hasil investigasinya tentang Peristiwa Mandor pada blogspot ini, sebab sebagai jurnalis yang baik tentunya rekan rekan punya naluri dan intuisi jika dalam tugasnya sehari hari menemukan narasumber yang tahu atau interest terhadap Peristiwa Mandor.

Juga akan lebih baik jika Blogspot ini di link pada berbagai pihak di Jepang agar ada juga sudut pandang dan barangkali arsip / bukti ontetik yang mereka miliki, semasa itu para wartawan Jepang juga membuat dokumentasi dan pemberitaan berkenaan dengan kejadian Peristiwa Mandor ini, sudah saatnya pihak Jepang terutama para jurnalisnya turut berpartisipasi untuk memberikan informasi yang sahih tentang peristiwa Mandor ini.

Suatu saat isi blogspot ini dapat menjadi wadah untuk menyatukan semua kepingan puzzle / teka teki menjadi satu gambaran yang nyata mengenai Peristiwa Mandor secara utuh.


Salam Hangat,

Ir. Andreas Acui Simanjaya
August 17, 2007 8:04 AM


Foto: Andreas Acui Simanjaya (dua dari kanan) saat menghadiri peringatan Hari Berkabung Daerah tanggal 28 Juni 2007 di kompleks Makam Juang Mandor.
Read More....

Tuesday, July 17, 2007

Dubes Jepang Pernah ke Mandor

Duta Besar (Dubes) Jepang untuk Indonesia, Takao Kawakami pada tanggal 28 Juni 1996 menyempatkan diri berkunjung ke Mandor bersama Wakil dari JICA, Wakil Gubernur Kalbar Muchalli Taufik dan Bupati Pontianak Henri Usman. Diantara peziarah tidak ada yang tahu ternyata di tengah-tentah mereka ada wakil dari Kerajaan Jepang.
Dengan demikian untuk pertama kalinya Wakil Pemerintah Kerajaan Jepang mengunjungi Mandor. Salah seorang wartawan Majalah Berita Mingguan GATRA, Sarluhut Napitupulu ikut pula mengabadikan kehadiran Dubes Takao Kawakami.
Masih segar dalam ingat saya bersama Henri Usman yang dijuluki Saddam Husein-nya KalBar karena kemiripan wajahnya, terutama kumisnya.
Menurut Sarluhut saat itu memang kehadiran sang Dubes tidak diberitahukan kepada peziarah, mungkin menjaga keselamatan dan keamanan sang Dubes yang menjadi tanggung jawab Pemda Kalbar.
YM Takao Kawakami secara terbuka sudah menyatakan permohonan maafnya kepada Pemerintah Indonesia dalam hal ini Pemda Kalbar.
Wakil dari JICA juga pernah berjanji untuk memberikan bantuannya dalam berbagai bidang. Janji ini dipenuhi dan diawasi oleh utusan JICA yang ditempatkan di Bappeda Provinsi Kalbar kala itu.
Bantuan tersebut ternyata tidak dibuka oleh Pemda Kalbar kepada masyarakat luas yang seharusnya diketahui rakyat khususnya para ahli waris korban Jepang.
Maka sekaranglah saatnya bagi Pemda Kalbar memberitahukan tentang kehadiran YM Dubes Kerajaan Jepang Takao Kawakami dan bantuan yang telah diterima Pemda dari JICA tersebut.
Saatnyalah Pemda Kalbar berkomunikasi dengan Pemerintah Jepang untuk turut bersama membangun Kalimantan Barat khususnya sumber daya manusia (SDM) baik dari kalangan ahli waris maupun yang bukan ahli waris korban Jepang untuk di didik di Negeri Sakura itu.
Teman saya sesama wartawan, Amak Syarifudin dari Surabaya pernah bertanya: “Mengapa korban Jepang yang jumlahnya puluhan ribu itu hanya disebut Perintis Kemerdekaan?” Amak belum tahu bahwa di Kalbar banyak penghianat sejarah. Yang dianggap Pahlawan hanyalah mereka yang melawan penjajah Belanda, terutama pada class kedua tahun 1949 yang menuntut dibubarkannya DIKB yang didirikan oleh Sultan Hamid. II.
Saat itu hanya ada dua Daerah Istimewa, Kalimantan Barat/ DIKB dan Yogyakarta/ DIY. Jika saja bermunculan Hamid.II. lainnya tentu Kalbar sudah jauh lebih maju.
Kita juga berharap dengan dikeluarkannya Perda Tentang Hari Berkabung Daerah 28 Juni, Pemda perlu memperjuangakan mereka yang dibunuh satu generasi ini di sebut Pahlawan bukan Perintis Kemerdekaan dan Makam Juang Mandor dijadikan Makam Pahlawan.
Kita kenang para syuhada Bangsa dan kita teruskan cita-citanya. Jangan ada dendam di antara kita dan Jepang, mari kita bersama membangun Kalbar. Hidupkan persaudaraan yang abadi antara Jepang dan Kalimantan Barat, semoga YM Duta Basar Kerajaan Jepang juga mau memperhatikan Kalimantan Barat.

Wassalam,
Yayasan Sultan Hamid.II.
Ketua Umum,
Max Jusuf Alkadrie Read More....

Thursday, July 12, 2007

LENYAPNYA SATU GENERASI KERAJAAN SIMPANG

OLEH GUSTI MULIA


Inilah sekelumit kisah “Lenyapnya Satu Generasi Kerajaan Simpang”, masa tiga jaman penjajahan – Belanda, Jepang dan KNIL. Kerajaan Simpang terletak di wilayah Simpang Hilir sekarang. Kisah bermula dari masa Penembahan Suryaningrat, hingga Gusti Matan dan Gusti Wadai.

Masa Kolonialisme Belanda

Gusti Panji bergelar Panembahan Suryaningrat adalah raja keempat dari Kerajaan Simpang. Belanda berusaha membujuk dan memaksa Panembahan untuk menandatangani Kontrak Pendek (Koerte Verkelaring), namun ditolak oleh Gusti Panji. Karena dianggap membangkang maka Panembahan itu ditangkap.
Karena tidak berhasil memaksa dan menawan Panembahan, maka Belanda memaksakan sendiri Korte Verkelaring itu, dan memaksa rakyat untuk membayar pajak (belasting). Pemaksaan inilah yang membangkitkan semangat rakyat untuk menantang penjajahan yang dipimpin oleh Patih Kampung Sepuncak yang bergelar Hulubalang I yang bernama Abdussamad atau dikenal dengan Ki Anjang Samad, Panglima Ropa, Panglima Ida, Gani, Enteki, Etol, Gecok dan Patih-patih, serta Demong-demong. Terjadilah peperangan di Kampung Belangkait. Setelah dua hari peperangan banyaklah korban baik di pihak Ki Anjang Samad maupun di pihak Belanda. Termasuk Ki Anjang Samad dan Patih Kembereh kemudian gugur, serta tertangkapnya lima Panglima. Mereka ditawan di Sukadana, dan empat di antaranya mati di dalam penjara, yaitu Panglima Ida, Gani, Etol, dan Panglima Gecok. Inilah korban pertama kerabat Kerajaan Simpang dalam menentang penjajah Belanda.
Perang Tumbang Titi yang dipimpin oleh Uti Usman di Hulu Ketapang terjadi hampir bersamaan dengan Perang Belangkait di Kerajaan Simpang.
Gusti Muhammad Shalehan, ayah dari ibuku Utin Tahara yang berdomisili di Riam Bumut, terlibat dalam perang Tumbang Titi tersebut. Oleh karena itu beliau ditangkap, dibuang, dan tidak dikembalikan lagi. Tidak diketahui di mana lokasi pembuangannya, dan beliau pun menjadi korban keganasan penjajah Belanda.
Gusti Hamzah dari Telok Melano bergerak melanjutkan Perang Belangkait tetapi tidak secara fisik berhadapan langsung dengan Belanda. Beliau mengubah cara lain dalam memberikan perlawanan, yaitu melalui sosial-politik, dalam meneruskan cita-cita perjuangan melalui organisasi Syarikat Islam yang dibekukan Belanda pada tahun 1919. Pada tahun 1926 atas perintah Gubernur Jenderal D. Fock diadakan penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota organisasi yang dianggap berbahaya, termasuklah Gusti Hamzah. Beliau dijebloskan ke penjara dan diasingkan ke Boven Digul. Beliau dipulangkan 11 tahun kemudian tetapi masih tetap ditahan di penjara Sukadana. Beliau adalah korban masa kependudukan penjajah Belanda di Kerajaan Simpang. Korban-korban penjajahan Belanda antara lain: Abdussamad, Patih Kembereh, Panglima Ida, Panglima Gani, Panglima Etol, Panglima Gecok, Gusti M. Salehan, dan Gusti Hamzah.

Masa Fasisme Jepang

Pada masa pemerintahan ayahku Gusti Mesir, yang menjadi Panembahan Kerajaan Simpang ke VI setelah menggantikan datukku Gusti Rum, keadaan perekonomian mengalami masa-masa yang cerah dengan sumber utama dari hasil hutan, kebun, dan karet.
Kemakmuran rakyat Simpang pun berakhir dengan datangnya fasisme Jepang pada tahun 1942. Rakyat mengalami penderitaan yang berat, mengalami kesulitan sandang dan pangan, sehingga rakyat memakan ubi dan sagu, berkain dan bercelanakan goni, serta berbaju kapuak (kulit kayu). Rakyat juga mengalami ketakutan dengan adanya teror yang dilakukan Jepang dan para kaki tangannya. Pelecehan terhadap ucapan “koni ciwak” diartikan, konicewak – celana goni baju kapuak, ada kopi gula tidak (menggambarkan keadaan pada masa itu).
Perekonomian lumpuh total, pasar menjadi sepi karena tidak adanya barang yang akan diperjual-belikan, tidak adanya beras, gula, tembakau, garam, minyak, dan bahan kebutuhan lainnya. Penduduk membuat garam dari batang nipah, gula dari kelapa dan enau, dan menggunakan minyak kelapa untuk penerangan.
Pada waktu raja-raja dipanggil ke Pontianak untuk sebuah pertemuan yang diadakan oleh Jepang, ayahku Gusti Mesir kemudian berangkat bersama Mas Raijin yang selalu diikutsertakan sebagai pembantunya untuk mempersiapkan semua keperluan selama bepergian. Dari Sukadana berangkat pulalah Tengku Betung (Tengku Idris). Setibanya di Pontianak semua raja-raja tersebut ditangkap oleh Jepang termasuk Gusti Mesir dan Mas Raijin.
Seminggu kemudian, Gusti Mesir dibebaskan atas perintah Tuan Siama - Kepala Maskapai Durian Sebatang. Kemudian Gusti Mesir meminta agar Mas Raijin iparnya dibebaskan. Sulit sekali untuk mencari Mas Raijin dari semua tawanan yang banyak itu yang disungkup dengan karung selipi dan hanya dilobangi sekedar untuk dapat melihat saja. Untunglah beliau akhirnya dapat ditemukan, karena ketika dalam barisan yang panjang, tawanan-tawanan yang disungkup itu sedang berjalan, maka tampaklah seorang di antaranya yang berjalan pincang. Itulah keberuntungan Mas Raijin. Karena kakinya pincang, selamatlah ia dari samurai Kempetai.
Beberapa hari sekembalinya ke Telok Melano, berkumpullah semua penggawa, kiyai-kiyai, para patih dan demong, serta para kerabat kerajaan untuk bermusyawarah di istana Panembahan yang dipimpin oleh Penggawa Gusti Hamzah. Pertemuan itu dimaksudkan untuk mencari jalan menyelamatkan panembahan. Ada yang menyarankan agar melawan Jepang dengan mengerahkan segala kemampuan yang ada. Ada juga yang mengusulkan supaya dilaporkan meninggal karena ditangkap buaya – sebab waktu itu buaya sedang mengganas dan beberapa penduduk sudah menjadi korbannya. Ada pula yang mengusulkan agar lari bersembunyi ke pedalaman. Semua usul dan saran itu dengan halus ditolak oleh Panembahan, karena menurut pertimbangan beliau usulan-usulan tersebut tidak akan membuahkan hasil yang baik, bahkan bakal mengorbankan rakyat sendiri. Beliau berkata, “Biarlah aku yang menjadi korban, asal jangan rakyat.”
Pertemuan tersebut melahirkan kekecewaan karena tidak dapat berbuat apa-apa, selain pasrah dengan takdir yang akan terjadi. Panembahan sudah mempertimbangkan segala kemungkinan yang terjadi dan tabah menghadapinya demi keselamatan rakyat dan keluarga kerajaan.
Menurut cerita ibuku, setelah ayahku kembali dari Pontianak pada waktu penangkapan pertama itu, ayahku berkata bahwa Jepang nanti pasti akan datang lagi untuk menangkapnya. Itulah sebabnya beliau pada waktu itu selalu dalam keadaan siap dan tidak melepaskan pakaian baik siang maupun malam, bahkan tidurpun ayahku masih mengenakan sepatu.
Dalam keadaan seperti itu, ada berita tentang pelarian dari Pontianak Kepala Staatwech (mata-mata) Belanda ke Melano. Maka datanglah Jepang dari Sukadana dan Ketapang untuk mencarinya. Panembahan diminta untuk mengerahkan rakyat membantu menangkapnya. Diadakanlah penyisiran di sekitar Melano kota dan Rantau Panjang selama beberapa hari siang dan malam. Akhirnya Kepala Staatwach tersebut dapat ditangkap di Rantau panjang dan langsung dibawa ke Ketapang.
Selang beberapa hari setelah ditangkapnya Staatwach itu, datanglah ‘motor cabang’ dengan dua orang Kempetai dari Pontianak ke istana Panembahan. Kempetai itu meminta Panembahan untuk dibawa (ditangkap). Di sekitar keraton banyak burung layang-layang, Kempetai itu pun memainkan samurainya memancung burung-burung tersebut, akan tetapi tidak ada satu ekor pun yang kena, mungkin hanya untuk menakut-nakuti saja. Keadaan Keraton pada saat itu sangat sepi karena hanya ada istri Panembahan dan istri Panembahan tua. Hanya isak tangis yang tersendat-sendat, karena apa yang dikatakan panembahan memang itulah yang terjadi – bahwa Jepang pasti akan datang menangkapnya. Turut di bawa juga Gusti Tawi (Manteri Tani) adik dari Panembahan yang rumahnya bersebelahan dengan Keraton. Mereka pun berjalan seiring berjalan menuju ‘motor cabang’. Seperti suasana Keraton yang sepi, daerah pasar pun juga sepi sehingga tidak banyak yang tahu akan peristiwa penangkapan itu.
Kemudian dari Telok Melano, motor cabang itu terus melaju ke hulu Sungai Mata-Mata mengambil Panembahan Tua Gusti Rum di peladangannya, dan mudik lagi ke peladangan Sungai Pinang mengambil Gusti Umar (abang Panembahan) yang menjabat sebagai Menteri Polisi. Tengku Ajong suami dari Utin Temah (adik Panembahan) juga ditangkap begitu pula dengan supir Panembahan yang bernama Dolah, dan satu orang lagi yang bernama Bujang Kerepek. Jadi, semua yang ditangkap di Telok Melano adalah: Gusti Rum, Gusti Mesir, Gusti Umar, Gusti Tawi, Tengku Ajung, Dolah, dan Bujang Kerepek. Sedangkan keluarga kerajaan yang berasal dari Sukadana ialah: Panembahan Tengku Idris (Tengku Betung), suami Utin Otek (kakak dari Panembahan Gusti Mesir).
Adapun Gusti Ja’far (anak dari Gusti Rum) yang telah berumur 18 tahun disembunyikan, karena Jepang mencari keturunan Gusti Rum ini dan kerabatnya yang berumur di atas 17 tahun dalam melaksanakan programnya Jepangisasi (menjepangkan bangsa Indonesia).
Seminggu kemudian setelah Panembahan Gusti Mesir ditangkap untuk kedua kalinya itu, Kempetai-kempetai Jepang datang lagi ke keraton dan langsung memeriksa semua bagian-bagian rumah, setiap kamar, lorongan, bahkan kamar mandi. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa dan mereka pun tidak menyatakan sesuatu apa pun.
Sejak itu hampir setiap minggu kompetai-kompetai Jepang datang untuk mencari ibuku Utin Taharah. Adik bungsuku yang baru saja berumur sebulan dan belum diberi nama, menjadi pelindung, perisai, dan penyelamat ibuku dari kebiadaban dan kebejadan Kempetai Jepang. Setiap Kempetai datang, ibuku segera mengendung adikku. Begitulah setiap kali yang dilakukan ibuku ketika datangnya Kempetai-kempetai Jepang.
Semakin seringnya Kempetai datang, semakin besar pula kekhawatiran dan ketakutan ditangkap Jepang. Tetapi, Alhamdulillah, Allah menyelamatkan ibuku melalui adik bungsuku sebagai pelindung.

Masa Kolonialisme Belanda (KNIL)

Di akhir masa fasisme Jepang dan dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia sudah terdengar di seluruh pelosok tanah air, maka timbullah gerakan balas dendam atas kebiadaban fasisme Jepang, dan gerakan membela kematian raja-raja. Gerakan bermula dari hulu pedalaman dengan bergabungnya suku Dayak dan Melayu, yang lebih dikenal dengan gerakan Kepala Burung.
Di Telok Melano, turunlah dari hulu pedalaman Simpang Dua yang dipimpin Gusti Lengat, anak Panembahan Gusti Panji Raja Simpang dengan Kepala Burung sekitar 30 orang. Mereka menyisir mencari pelarian Jepang sampai ke Sukadana tetapi tidak seorang Jepang pun ditemui.
Di Ketapang, gerakan bermula dari Riam Bumut dan Tumbang Titi dipimpin oleh Gusti Matan dan Gusti Wadai dengan kepala-kepala burung, mereka dapat menangkap seorang Jepang dan mereka sembelih. Kemudian Gusti Matan dan beberapa Kepala Burung itu ke Pontianak bergabung dengan gerakan dari daerah Kabupaten lain. Majang Desa dari Suku Dayak pada awal Oktober 1945 yang masuk ke Pontianak dengan membawa kepala Jepang yang dipotong saat pengusiran dari daerah pedalaman. Dengan tegas mereka menuntut agar kota Pontianak dibentuk dan dinobatkan sultan baru pengganti sultan yang dibunuh Jepang.
Atas dasar pertimbangan kekeluargaan, maka dinobatkanlah Syarif Taha Alkadrie, seorang tokoh republican sebagai Sultan Pontianak. Saat penobatannya sebagai Sultan Pontianak di halaman istana Kadriyah dikibarkanlah bendera merah putih yang dinaikkan oleh Gusti Matan dan Abdul Muthalin Rivai (Sejarah Perjuangan Kalimantan Barat, 1991:122).
Dengan berbekal pengalaman di Pontianak itu, Gusti Matan kembali ke Ketapang mengkoordinir kembali gerakannya dan menaikkan bendera merah putih. Selang beberapa lama kemudian, Belanda (KNIL) menyerang gerakan Gusti Matan dari dua jurusan darat dan sungai. Karena persenjataan tidak seimbang, tanpa terjadi peperangan, Gusti Matan menyerah, dan bendera merah putih diturunkan, diganti dengan bendera penjajah merah, putih, biru.
Gusti Matan dan Gusti Wadai, serta beberapa orang lainnya, ditangkap dan dibawa ke Pontianak yang akhirnya dibuang ke Nusakambangan. Gusti Matan meninggal di pembuangan, dan Gusti Wadai dibebaskan setelah Penyerahan Kedaulatan tahun 1949. Gusti Matan adalah paman dari ibuku Utin Tahara dan Gusti Wadai adalah cucu dari Gusti Matan.
Itulah korban terakhir dari keturunan Kerajaan Simpang ini, maka lenyaplah satu generasi Kerajaan Simpang selama tiga masa penjajahan Belanda, Jepang, dan Belanda (KNIL). Satu keluarga besar keturunan Kerajaan Simpang tidak dapat berziarah ke makam leluhurnya, dan semoga Allah menenpatkan para leluhur kami ditempat yang layak di sisi–Nya.


DRS. H. GUSTI MULIA
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 13 Juli 2007

----------------------------------

TANGGAPAN UNTUK ARTIKEL GUSTI MULIA
----------------------------------
Kapan Syarif Thaha Alkadrie dilantik sebagai Sultan Pontianak?

Tertarik saya membaca tulisan Bapak Gusti Muhamad Mulia tentang penobatan Syarif Thaha Alkadrie sebagai Sultan Pontianak. atas referensi dari buku Sejarah Perjuangan Kalimantan Barat, penuh dengan rekayasa sejarah oleh KNPI dan mereka yang mengaku pejuang 45 dan tepat apa yang dikatakan oleh seorang pakar sejarah Drs Soedarto : bahwa banyak penghianat sejarah di Kalbar, mengapa:
1. Sejarah perjuangan Rakyat Kalimantan Barat.
1. Buku tersebut diterbitkan pada era Orde Baru dan Kalimantan Barat dipimpin oleh Gubernur Parjoko. Beliau ini orang baik dan lurus makanya bisa dijadikan alat dalam menerbitkan buku tersebut.
2. Dalam buku tersebut telah terjadi pembantaian dan pengrusakan image Sultan Hamid.II dengan berbagai tudingan dan fitnah.
3. Untuk memperkuat pembentukan opini buku tersebut juga dikirimkan keberbagai Universitas terkemuka di Indonesia
4. Mohon dilihat SK Gubernur tentang Susunan Panitya Penerbitan Buku Sejarah Perjuangan Kalimantan Barat. Diantaranya terdapat Pengurus Angkatan 45 Kalimantan Barat.
2. Mereka yang mengaku Pejuang 45 rata-rata kelahiran tahun 1930 ikut merekayasa pembentukan opini tentang pengangkatan Sultan Syarif Thaha Alkadrie yang juga disebut sebagai Republikan. (Perlu pembuktian).Beliau ini orang baik dan jujur sangat tahu tatakrama dalam bertutur kata. Tokoh angkatan 45 juga mengatakan mereka pertama kali mendengarkan Kemerdekaan dari Radio Amerika, Sanfransisco.Setahu saya Voice Of America itu dipancarkan dari Washingtan DC bukan Sanfransisco. Satu lagi kebohongan sejarah, bahwa penaikan bendera Merah Putih pertama kali di Padang Sajo’ tanggal 17 Agustus 45? Photo tersebut tahun 1950 hasil jepretan senior saya Pak Marius AP yang baru kembali dari Holland, hebat.
3. Kami juga menemukan kebohongan atas pengangkatan Sultan Syarif ThahaAlkadrie :
3.1. Surat Pengangkatan Sultan Syarif Thaha atas hasil rapat dari Pontianak Zityryo Hyogikai 29 Hatigatu 2605 berarti tahun 1945 sedangkan dalam silsilah Kesultanan Pontianak yang disimpan dibelakang Singgasana tercantum Syarif Thaha Alkadrie sebagai Sultan ke VII 1944 sd 1945. Bukankah pada saat itu Jepang masih berkuasa (semua Raja dan Panambahan dibantai oleh Jepang). Adakah yang berani melawan Jepang pada saat mereka berkuasa, mustahil. Keputusan rapat Zityryo Hyogikai hanya ditanda tangani oleh Hasnoelkabri tanpa ada tanda tangan Wakil dari Tentara Jepang/Penguasa saat itu TuanTokoro,tuan Yamagata serta ,A.Asikin,Sy.Usman.I.,Sy.Usman.II,Sy.Hamid Alhinduan,Sy.Ibrahim Alkadrie,MT Oeripan,Sy.Maliun, Ahmad,dan Oerai Oemar.
Perlu kami tambahkan bahwa Syarif Ibrahim lebih tua dari Syarif Thaha dan sama sama dari garis Ibu. Ibunda Syarif Ibrahim/Ratu Tata Negara adik dari Ibundanya Syarif Thaha Alkadrie/Ratu Anom Negara

3.2. Sultan Hamid II dalam pledoinya mengatakan: “Atas kehendak rakyatlah saya dinobatkan sebagai Sultan ke VII ( Mengadili Menteri Memeriksa Perwira :I’ip D Yahya halaman 292.) Beliau dilantik di Istana Kadriah oleh Van Mook sebagai Gubernur Jendral di Indonesia. Perlu kita ingat walau RI sudah menyatakan Merdeka tapi belum ada penyerahan Kedaulatan oleh Kerajaan Belanda. Sultan Hamid II punya andil besar dalam hal ini yang menjadi keputusan KMB. Jika saja Sultan Hamid II berpihak kepada Belanda mungkin sampai sekarang kita belum merdeka. Pernakah hal ini diajarkan oleh Bapak kepada anak didik penerus Bangsa?.
3.3 Yang lebih penting untuk Bapak ketahui dan perlu adalah, bahwa Syarif Thaha Alkadrie bukan Pewaris Kerajaan. Mengapa? Garis lurus itu ada pada Sultan Hamid.II bukan pada Syarif Thaha Alkadrie yang dari Garis Ibu. Sama halnya dengan Bapak, tentu mengambil garis lurus /semenda, bukan?
4. Pertanyaan saya : “ Mengapa berita pelantikan Syarif Thaha ini baru muncul setelah wafatnya Sultan Hamid II dan tepatnya baru dimunculkan pada Tahun 2002 setelah dinobatkannya Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan ke VIII (maaf bukann ke IX, salah itu) Mohon juga Bapak lihat Nisannya Alm Syarif Thaha Alkadrie tidak tercantum nama beliau sebagai Sultan yang ada Pangeran . Sekalian ziarah kepada sang Republikan.
5.Sebagai akhir kata saya mohon kiranya Bapak dapat memberikan atau mencarikan Bukti atas pelantikan Syarif Thaha Alkadrie sebagai Sultan Pontianak baik berupa Photo, SK Pengangkatan dan Siapa yang melantik beliau saat itu demi kebenaran sejarah. Bukankah di Kalimantan Barat banyak Penghianat Sejarah,?.Semoga kita tidak termasuk sebagai penghianat sejarah yang kelak akan dibuktikan oleh generasi penerus bangsa dalam berbagai penelitian Mungkin lebih baik kita terlebih dahulu membuktikan kebenaran sejarah dari pada anak cucu atau cicit kita.Malu juga kita kepada Pak Drs Soedarto sang pakar sejarah. Maafkan saya Pak Guru, kali ini saya membantah Bapak yang pernah mengajar saya di SMPN.I.
Demikianlah penjelasan saya semoga bermanfaat untuk kita semuanya khususnya Generasi mendatang.
Wassalam,
Yayasan Sultan Hamid.II.
Ketua Umum,
Max Jusuf Alkadrie
Read More....

Thursday, July 5, 2007

Perlu Ada Political Will dari Pemerintah Soal Mandor


Andry
Borneo Tribune, Pontianak

Apapun alasannya terhadap tragedi Mandor (1942-1945), pemerintah Jepang harus meminta maaf kepada pemerintah Indonesia sebagai konsekuensi atas kekejaman dan kebiadaban yang pernah dilakukannya kepada anak bangsa Indonesia.

“Saya rasa Jepang memang perlu melakukan permintaan maaf. Hal ini bukan saja permasalahan daerah Kalbar, tetapi juga masalah negara. Pemerintah Indonesia perlu mendesak Jepang. Karena dalam hal ini, rakyat yang tidak berdosa, orang sipil, para raja dan tokoh serta masih banyak anak bangsa lainnya yang harus merasakan kekejaman dengan cara-cara sadis dan keji,” ungkap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalbar, Tobias Ranggie, beberapa waktu lalu.

Oleh karena itu, hal ini merupakan kejahatan kemanusiaan dan berkaitan juga dengan hak asasi manusia (HAM). Saya melihatnya sampai ke arah genocide. Ini merupakan kejahatan perang yang dilakukan Jepang kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu pemerintah Jepang harus bisa meminta maaf kepada pemerintah Indonesia, khususnya kepada para ahli waris yang menjadi korban pada tragedi memilukan tersebut.

Mengenai permintaan maaf yang harus dilakukan pemerintah Jepang kepada pemerintah Indonesia. Apakah sejauh ini persiapan ke arah itu telah dilakukan oleh pemprov. Sejauh ini Saya belum melihat pemerintah Kalbar melakukan hal ini. Pendokumentasian juga masih belum lengkap, data-data korban juga belum lengkap.

“Karena sejauh ini belum ada data-data lengkap mengenai siapa-siapa para korban yang dihabisi dengan keji oleh Jepang. Sehingga jika hal itu bisa dilakukan oleh pemprov, maka kita bisa mengetahui secara lengkap dan resmi apa yang pernah terjadi di Mandor beberapa tahun silam,” imbuhnya.

Pemerintah Indonesia, khususnya melalui pemerintah provinsi Kalbar harus segera melakukan pengumpulan bukti-bukti. Agar para korban keganasan Jepang bisa terdata dengan baik. Sebab yang menjadi korban tidak hanya para raja, sultan, tokoh dan lainnya. Tetapi juga ada rakyat kecil yang ikut melakukan perlawan terhadap kekecaman yang dilakukan oleh Jepang. “Nah hal ini yang perlu segera dilakukan oleh pemerintah agar bisa diketahui secara pasti dan resmi,” kata Ranggie.

Memang yang tergambar didalam dokumen akademis adalah banyak para korban dari raja dan tokoh-tokoh keraton. Karena memang para raja dan tokoh pada saat itu merupakan salah satu bagian korban yang paling banyak dan mudah untuk diketahui dan tercatat. Tetapi rakyat kecil juga banyak yang menjadi korban keganasan fasis Jepang.

Disinggung mengenai bagaimana agar kompilasi yang berimplikasi dengan tragedi Mandor bisa segera terwujud. Dengan tegas wakil rakyat yang terkenal vokal ini mengatakan, perlu dibentuk satu tim khusus yang mengkaji masalah tersebut. Tim ini harus mengikutsertakan ahli sejarah, bila perlu kita minta bantuan dari pusat. Bila memang perlu, tim itu harus pergi ke Jepang dalam rangka pengumpulan bukti-bukti sejarah.
“Tim ini harus bekerja keras, turun langsung ke lapangan melakukan wawancara kepada para saksi dan keluarga korban. Masyarakat juga kita himbau agar koperatif kepada tim khusus yang dibentuk,” ungkapnya.

Mengenai kehadiran SBY dalam waktu dekat, apa langkah yang harus dilakukan baik pemprov mupun tokoh beserta para ahli waris untuk menyampaikan langsung kepada presiden. Dengan tenang Bapak ini mengungkapkan, Saya fikir hal ini perlu dilakukan dan disampaikan melalui pemerintah provinsi Kalbar. Lebih baik jika hal ini juga disampaikan secara langsung oleh para tokoh masyarakat beserta para ahli waris korban langsung kepada SBY.
“Namun demikian hal ini harus teragenda dengan baik karena ini menyangkut permasalahan protokoler kepresidenan. Sebab jika tidak terkoordinasi dengan baik tentu hal ini sulit untuk bisa terwujud,” sarannya.
Dalam hal ini yang terpenting adalah ada political will dulu dari pemerintah provinsi Kalbar serta mendapat dukungan oleh masyarakat dan pihak ahli waris. “Sebab, jika hal itu berhasil dilakukan, maka Saya yakin pemerintah Jepang akan mau melakukan permintaan maaf kepada pemerintah Indonesia.”
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 5 Juli 2007
Foto: By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune
Read More....

Tuesday, July 3, 2007

Kisah Keluarga yang Dibantai ‘Saudara Tua’


A.Alexander Mering
Borneo Tribune, Pontianak

Dia kenyang makan asam-garam hidup. Usianya saja 86 tahun. Alis dan rambutnya sudah memutih semua, bahkan bagian depan nyaris ludes dikikis jaman. Tapi tidak ada satu kekuatan pun dapat merenggut ingatannya pada peristiwa yang terjadi 63 tahun silam. Meski sudah tampak ringkih saat melangkah, tapi semangatnya masih seperti api. Emosi sangat kentara ketika bercerita tentang kebengisan tentara Jepang di Kalimantan Barat.
“Dari orang Tionghoa yang menjadi korban Jepang, keluarga kami paling banyak,” ujarnya. Tak tanggung-tanggung, 8 anggota keluarga besarnya dibantai tentara Jepang masa itu.
Bulu kuduk saya bergidik mendengar ceritanya. Buru-buru saya menghunus kamera, siap menjepret. “Flash, flash, flas!”
Matanya yang sipit mengerjap-ngerjap sekejap, sebelum melanjutkan cerita. Sementara saya masih sempat menangkap kilat warna emas dari kepala ikat Pinggang kulit merk Dunhill yang dikenakannya.
***
Setelah Jepang berkuasa, Indonesia mengalami masa yang sangat pahit. Dengan dalih sebagai saudara Tua, Jepang menjajah negara ini lebih dari 3 tahun. Walau tak selama Belanda menancapkan kuku di tanah air, kebiadaban yang di lakukan Jepang melebihi dari sebuah rasa sakit.
Di Kalbar tercatat 21.037 orang dibunuh dengan sadis dari rencana target 50.000. Para kaum cerdik pandai Kalbar dibantai untuk kemudian men-Jepang-kan generasi muda, sebagaimana doktrin Jenderal Hideko Toyo. Diharapkan generasi berikutnya akan tunduk dan patuh di bawah bendera matahari terbit dengan kekuasaan Kaisar.
Lelaki di depan saya ini adalah bagian dari masa lalu tersebut. Hingga pertemuan kami kemarin, ia masih hidup dalam kenangan yang menyakitkan. Saat wawancara ia mengenalkan diri sebagai Lim Bak Djue. Saya menjabat tangannya yang kisut, namun masih kekar. Kuatir keliru menulis namanya, saya meminta dia menulisnya sendiri. Di buku catatan kerja tertera: Djuanda Rimbawidjaja.
Di rezim Orde Baru, penguasa Soeharto melarang nama-nama Tionghoa. Karena itu Lim Bak Djue juga bernama Djuanda Rimbawidjaja.
“Paman saya dua orang yang dibunuh Jepang, saudara saya 6 orang,” kenangnya.
Dia sendiri masih kecil saat kejadian. Karena itu ia luput dari pembantaian. Tapi ketika sudah agak besar, Lim Lan Hiang, sang ayah bercerita tentang hal itu. Kedua pamannya yang terbunuh itu adalah Lim Hak Sio dan Lim Kheng Tie. Sedangkan 6 saudaranya yang turut dibunuh ketika itu adalah Lim Bak Cui, Lim Bak Kim, Lim Bak Khim, Lim Bak Song, dr Lim Bak Chai dan Lim Bak Huat.
“Sebelumnya Jepang pernah memanggil mereka, tetapi dua hari kemudian dilepaskan.” Karenanya tak disangka kalau panggilan adalah akhir sama dengan akhir hidup mereka.
Ayah Lim Bak Djue adalah keturunan perantau dari daratan Tiongkok. Mereka datang ke Kalbar sekitar abad 18. Di kota yang terletak di antara pertemuan Sungai Landak dan Kapuas itu, Keluarga Lim Bak Djue mendirikan sebuah perusahaan dagang yang disebut NV. NV adalah sebuah akronim dalam bahasa Belanda yang bila diartikan sama dengan Perseroan Terbatas (PT) jaman sekarang. Sedangkan nama Lim Lan Hiang, mengambil dari nama ayah Lim Bak Djue. NV ini didirikan pada 10 Januari 1931 dengan modal 300 gulden dengan 1000 saham. Saham-saham tersebut dimiliki oleh keluarga besar, termasuk kedua pamannya yang menjadi korban itu.
Mengingat nasib yang menimpa kedua paman dan ke-6 saudaranya itu, hati Lim teriris kembali. Pagi itu, dengan sisa ketegaran, ia mencari Michael Yan Sriwidodo di Fraksi Partai Golkar DPRD Kalbar. Michael adalah wakil rakyat dari etnis Tionghoa Kalbar di DPRD Provinsi yang terpilih pada Pemilu 2004 lalu. Tapi yang di cari masih dalam perjalanan menuju kantor DPRD.
Beberapa menit lalu Lim Bak Djue datang ke ruangan fraksi Golkar. Ia menanti di ruangan ditemani Heryanto Halim, salah seorang familinya. Saat Michael nongol di mulut pintu, senyumnya langsung sumringah. Usai basa basi, Lim Bak Djue mengemukakan isi hatinya.
“Saya harap pak Michael mau memperjuangkan supaya tahun depan foto-foto dari keluarga Lim Lan Hiang yang menjadi Korban Jepang juga terpampang di Makam Juang Mandor,” harapnya. Tak cuma untuk paman dan saudaranya saja, Lim Bak Djue juga meminta supaya korban-korban lainnya juga mendapatkan perlakuan yang sama.
“Ya, ya..akan kita usahakan,” kata Michael. Dia meminta agar Lim Bak Djue menyiapkan foto-foto korban.
“Kepada Yayasan Bakti Suci saya juga akan mengusulkan untuk mengkoordinir serta memberitahukan para anggotanya supaya setiap tanggal 28 Juni para keluarga korban melakukan ziarah ke makam Mandor bersama-sama.” Saat bicara di ruangan itu, Lim Bak Djue terkadang seperti pidato. Emosinya berubah-ubah. Beberapa katanya bahkan ada yang tak saya fahami, karena diucapkan dengan dialek Tionghoa. Tapi dia adalah seorang lelaki dari masa silam, lelaki yang menyimpan duka sejarah. Di antara kisah luka peninggalan ‘Saudara Tua’.
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 4 Juli 2007
Foto: By AA Mering
Read More....

Pemerintah Jepang Harus Minta Maaf


Andry
Borneo Tribune, Pontianak

Pemerintah Jepang harus meminta maaf pada rakyat Kalimantan Barat, atas pembunuhan ribuan orang terbaik Kalbar. Pernyataan itu dikatakan Gusti Suryansyah menanggapi sikap pemerintah Jepang, yang hingga sekarang tak melakukannya.

“Saya setuju, bahwa pemerintah Jepang harus meminta maaf kepada bangsa Indonesia. Jepang hutang penghormatan kepada rakyat Kalimantan Barat. Sudah sepatutnya hal itu dilakukan oleh Jepang kepada pemerintah Indonesia,” kata Gusti Suryansyah, tokoh Landak bergelar Pangeran Ratu Landak, Sabtu (30/6).

Menurut Suryansyah, jika masyarakat Kalimantan Barat ingin pemerintah Jepang melakukan permintaan maaf kepada pemerintah Indonesia. Hal itu sudah selayaknya dan sepatutnya dilakukan Jepang. Mengingat 21.037 jiwa, nyawa anak manusia yang merupakan kaum cerdik pandai, para raja, sultan, tokoh agama, politik serta banyak lagi anak bangsa Kalbar lainnya.

Mereka semua harus menerima ajal dengan cara dibunuh secara massal dan tidak manusiawi. “Sebagai suatu negara, Jepang wajib meminta maaf kepada masyarakat Kalbar, melalui pemerintah Indonesia,” katanya tegas.

Agar hal itu bisa terwujud, perlu ada langkah sistematis dan progresif yang dilakukan pemerintah Kalimantan Barat. Caranya, dengan aksi secara militan. Yang harus dimulai pemerintah Kalbar, kepada pemerintah pusat. Melalui kompilasi atau penelitian ilmiah mengenai peristiwa berdarah tersebut. Memuat peristiwa Mandor sebagai mata pelajaran muatan lokal (mulok), mulai dari SD, SMP dan SMA. Segera menetapkan areal monumen dan peraturan daerah, sebagai pintu masuk. “Jika hal itu bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia, saya yakin hal itu bisa terwujud,” kata Suryansyah.

Disinggung mengenai sikap yang diambil banyak pihak menyangkut permasalahan ini, termasuk sikap pemerintah mengenai tragedi Mandor, terkesan lamban, ia memberikan pendapatnya. Sebenarnya pada 1970-an, ada sebuah organisasi yang menghimpun ahli waris para korban tragedi Mandor. Kala itu, mereka menginginkan suatu pengakuan dari pemerintah akan kekejaman Jepang. Pada 1977, pemerintah Kalbar melalui Gubernur Kadarusno, merespon keinginan masyarakat dengan mendirikan makam juang Mandor.

“Jika tidak keliru, saya pernah mendengar, di era kepemimpinan Presiden Soekarno, pernah ada pampasan perang yang diperoleh pemerintah Indonesia dari pemerintah Jepang,” kata Suryansyah. Tetapi, pampasan perang yang seyogianya diberikan dan dipergunakan sesuai dengan peruntukannya, malah dipergunakan untuk pembangunan jembatan Ampera di Palembang. Serta pembangunan gedung Sarinah, katanya.

Suryansyah berpesan kepada masyarakat Kalbar dan pemerintah Republik Indonesia, supaya bersama-sama membangun kehormatan Kalbar, melalui sikap menghormati jasa pahlawan yang telah memperjuangkan bangsa ini. Serta membesarkan Hari Berkabung Daerah (HBD).
Pemerintah Indonesia harus mengakui, pernah terjadi perjuangan masyarakat dan suku-suku bangsa di Kalbar, secara diam-diam untuk mengusir penjajah. “Sehingga, patut diberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh tersebut, sebagai seorang pahlawan,” kata Suryansyah.

Foto: Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune, tanggal 3 Juli 2007

Read More....

Monday, July 2, 2007

Blogspot Persitiwa Mandor Berkembang Bagaikan Virus


Tanto Yakobus
Borneo Tribune, Pontianak

Walau baru berumur tiga hari, blogspot tentang Peristiwa Mandor yang berlamat di http://www.peristiwamandor44.blogspot.com/ sudah mendapat sambutan luas.
Bahkan rekan dari komunitas blogspot di Jakarta yang beranggotakan sekitar 2.500 orang sudah mengakses web tersebut dan memuji kreativitas teman-teman di Borneo Tribune karena inisiatif mempublikasikan kisah kekejian Jepang di Mandor di dunia maya dalam bentuk blogspot.
Blogspot ini memang bentuk komunikasi yang murah meraiah selain menggunakan email atau chatting di internet. Dengan kapasitas yang lumayan besar, kita bisa menyimpan arsip atau mempublikasikannya ke dunia maya.
Sayang rasanya peristiwa-peristiwa penting berlalu begitu saja. Bila dikemas dalam blogspot, kita bisa berbagi dengan rekan, sahabat maupun khalayak ramai tentang peristiwa penting itu, termasuk tragedi kemanusiaan di mana hilang satu generasi di Kalbar oleh kekejaman Dai Nippon Jepang.
Bahkan dengan blogspot ini tak tertutup kemungkinan orang-orang Jepang di negerinya sana juga bisa melihat kekejaman nenek moyangnya terhadap bangsa kita, sebab blogspot ini otomatis masuk ke yahoo google. Orang cukup mengklik “Mandor” di google, maka akan muncul tulisan tentang Peristiwa Mandor yang termuat di blogspot.
Sambutan baik juga datang dari Gubernur Kalbar, H Usman Ja’far. Orang nomor satu di Kalbar itu sangat terkesan dengan kreativitas anak-anak di Borneo Tribune.
“Luar biasa, dengan mengakses blogspot tentang Peristiwa Mandor, kita jadi tahu dengan kisah maupun kesaksian anak cucu korban Jepang di Mandor. Kita dukung kreativitas seperti ini,” ucap Usman Ja’far sepulang dari upacara di Makam Juang Mandor 28 Juni lalu.
Sambutan antusias juga datang dari Ketua DPRD Provinsi Kalbar, Ir H Zulfadhli. Politisi partai Golkar itu mengatakan, blogspot sangat bermanfaat bagi masyarakat luas yang ingin mengetahui secara rinci tentang Peristiwa Mandor. “Saya yakin, banyak cerita yang tidak dimuat di suratkabar, tapi dimuat di blogspot tersebut. Apalagi blogspot itu dikelola secara profesional. Kita sangat mendukung kreativitas Borneo Tribune seperti itu,” katanya.
Bang Zul—demikian ia akrap disapa—faham betul dengan komunikasi dunia maya. Sebab Bang Zul sendiri punya web pribadi yang beralamat di http://www.bangzul.com/. Cuma bedanya, Bang Zul memuat peristiwa politik dan pengalamannya keliling Kalbar, sedangkan blogspot Persitiwa Mandor khusus memuat Peristiwa Mandor.
Bukan hanya kalangan umum, birokrat dan politisi yang menyambut baik blogspot ini. Kalangan akademisi juga menyambut baik. Gusti Suryansyah dari Fisipol dan Magister Sosial Untan misalnya. Beliau menyambut baik dengan adanya blogspot ini. Apalagi beliau adalah salah satu keluarga korban keganasan Jepang di Mandor.
Kami selaku pengelola juga menunggu cerita dari semua keluarga korban Jepang di Mandor untuk menjadi koleksi blogspot yang kita kelola ini agar kisah tragis ini tak terulang lagi. Sebaliknya jasa para pahlawan mendapat penghargaan yang semestinya.Silahkan kirim kesaksian Anda ke email: mandor44@gmail.com atau di kolom komentar pada blogspot tentang Mandor.

Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune, tanggal 2 Juli 2007
Read More....

Tugu Korban Agrasi Jepang, yang Dilupakan!

Pontianak, 02 Juli 2007

Membaca tulisan Sdri. Syarifah Djamilah 2 Juli 2007 di blogspot peristiwa Mandor, khususnya tentang memori seputar tugu peringatan yang dimaksud ,kami pernah menulis berita tersebut pada tahun 2006
(terlampir foto Tugu tersebut pada saat diresmikan pada tahun 1947) mungkin berguna bagi kita semua sebagai generasi penerus sebagai dokumentasi dalam mempelajari sejarah daerah Kalbar.
===========

Terima kasih pak XF Asali, ketelitian bapak sangat membantu kami dalam mengelola blogspot ini. Kami sadar betul, blogspot ini jauh dari sempurna, karenanya perlu keterlibatan banyak pihak untuk meluruskan baik tempat, peristiwa maupun data yang sesungguhnya. Kami berinisiatif membuat blogspot ini betul-betul ingin mendokumentasikan peristiwa Mandor agar tetap bisa dikenang dan dipelajari generasi selanjutnya. Sebab bila diarsipan biasanya hilang begitu saja. Kalau disimpan di blogspot, siapa pun bisa mengaksesnya baik di dalam maupun luar negeri yang masih ada hubungannya dengan peristiwa Mandor, setidak-tidaknya anak cucu korban.
Terima kasih, pengelola

===========
Pemprov Kalbar telah menyerukan menaikkan bendera setengah tiang pada tanggal 28 Juni 2006 untuk memperingati dan mengenangkan jasa-jasa dan pengorbanan 21.037 Nyawa korban tragedi Mandor yang dibunuh oleh Kempetai Jepang pada masa penjajahan tahun 1941-1945. Kami sebagai keluarga mantan anggota IKKAJ (Ikatan Keluarga Korban Agresi Jepang) Singkawang merasa bersyukur dan memohon Pemerintah Provinsi memperjuangkan terus ke Pemerintah Pusat di Jakarta demi keadilan, supaya tanggal 28 Juni ditetapkan sebagai Hari Berkabung Daerah serta makam Juang Mandor diperbaiki dan dapat di jadikan Taman Makam Pahlawan Mandor sebagai kenang-kenangan bagi rakyat Kalbar agar selalu memperingati jasa jasa dan pengorbanan para pahlawan kita dan tidak lupa sejarah.
Untuk menambah pengetahuan kita mengenai peristiwa tragedi penjajahan Jepang pada masa perang dunia ke-2 di Kalbar, beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan 1 lembar foto dokumentasi dari teman sekolah Sdr .Syarif Ahmad Mahmud Alkadrie (Keturunan Sultan Pontianak) yaitu foto:
Tugu Peringatan Korban Agresi Jepang ,yang menurut penuturannya diabadikan pada tanggal 12 Mei 1947, sewaktu peresmian langsung dilakukan oleh Gubernur Jenderal H.J. Van Mook yang khusus datang dari Batavia. Tugu itu terletak di bundaran pelabuhan Pontianak dengan latar belakang Kantor Pelayaran KPM (Konigkelijk Pakketsvaart Maatschappy), salah satu undangan yang tampak duduk di baris depan sebelah kiri dengan jubah putih (tanda panah) adalah Bruder Emmanuel Compiet diundang hadir selaku ketua Yayasan Broeders Van de Congregatie van de Onbevlekte Ontvangenis seluruh Indonesia (Sekarang Bruder Bruder Kongregasi MTB) Tempat ini sekarang sudah berubah menjadi Tugu Pancasila .
Sangat disayangkan tugu bersejarah ini dibongkar sampai rata dengan tanah oleh “penguasa“ saat itu pada awal Mei 1965. Kami tidak mengerti dan apa alasannnya. Menurut pendapat kami sejarah adalah sejarah, baik itu positip maupun negatip, jangan diubah apalagi direkayasa. Kebenaran adalah tetap kebenaran, biarlah masa yang akan mengujinya. Manusia tidak abadi, tetapi sejarah tetap kekal akan di catat dan di kenang serta diwariskan kepada generasi penerus, yang sadar akan jati diri.
Tulisan ini kami sampaikan agar kita jangan melupakan sejarah. Bukan mencari balas dendam! ada kata bijak Tionghoa kuno berbunyi:
“Chian She Puk Wang, Hou She Che She“, yang berarti Kejadian yang lalu tidak dilupakan, adalah guru dimasa yang akan datang.
Pontianak, 7 Juli 2006
Salam Sejahtera, X.F. ASALI.
Foto: Dokumentasi XF Asali
Read More....

Antara Saipan, Hirosima, Nagasaki dan Mandor

Kaisar Jepang Akihito dan Permaisuri Michico untuk pertama kalinya mengunjungi Monumen Marianas di Pulau Saipan tanggal 15 Juni 2005, guna memberikan penghormatan kepada para korban yang tewas dalam pertempuran antara Jepang dan Amerika Serikat tanggal 15 Juni 1944.
Pulau Saipan berhasil direbut Amerika Serikat tanggal 9 Juli 1944 bersama Pulau Tinian. Cukup banyak korban warga Jepang sekitar 55.000 orang dan pasukan Amerika Serikat 5.000 orang dan warga lokal 900 orang. Selain mengunjungi Monumen Marianas, Kaisar Akihito juga berkunjujng ke Jurang Banzai tempat ratusan warga sipil Jepang termasuk anak-anak yang melakukan bunuh diri dengan cara terjun ke jurang yang penuh dengan batu karang terjal. Pemerintah Jepang juga banyak membangun monumen juang di wilayah Asia antara lain di Cina dan Korea Selatan.
Bagaimana dengan Mandor?
Pertama kali kepedulian seorang putra Bangsa yang bernama Sultan Hamid II Alkadrie, tahun 1946 dibangunlah cungkup sepuluh buah yang lebih dikenal dengan cungkup sepuluh dan Tugu Korban Jepang, dilanjutkan dengan pembangunan Monumen Juang oleh Kadarusno Gubernur Kalimantan Barat. Kedua orang ini sangat peduli dengan para Syuhada Bangsa karena sering berkomunikasi. Komunikasi antara Seorang Gubernur dengan Warganya yang tinggal di Jakarta dan juga antara sang Komandan dengan anak buahnya. Sultan Hamid pernah menjdi komandannya Kadarusno dalam pasukan KNIL. Satu hal yang sangat disayangkan dan disesalkan oleh Kadarusno adalah diserahkannya barang bukti kekejaman tentara Jepang berupa Samurai.
Penulis dengar sendiri saat mendampingi Sultan Hamid II, berkunjung di kediaman beliau di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Mandor memang pantas untuk kita kenang sebagai bukti bahwa Kalbar punya andil dalam merebut kemerdekaan. Satu generasi para cendikiawan,tokoh masyarakat dan pemimpin yang terdiri dari para Sultan dan keluarganya, pedagang dan wartawan. Sultan Hamid II juga membangun Tugu Korban Jepang di depan pelabuhan Oevang Oeray yang sekarang berdiri Tugu Lambang Negara. Kita pun tidak tahu apa maunya H A Madjid Hasan mendirikan tugu itu atau mungkin ingin mengenang jasa Sultan Hamid II sebagai perancang Lambang Negara kita?
Monumen Juang Mandor perlu kita pelihara dan dijadikan objek wisata sejarah. Pemda Kalbar perlu memberikan anggaran yang cukup untuk memelihara asset sejarah dan mempercantik kawasan Monumen Juang Mandor. Jika kita melihat Jepang dengan mendirikan belasan Monumen Juang di kawasan Asia dan tiga diantaranya di Jepang sendiri.
Nagasaki dan Hirosima diperingati tiap tanggal 9 Agustus dan Pulau Saipan tiap tanggal 15 Juni. Mandor kita peringati tiap tanggal 28 Juni. Mari kita bersama Pemda Kalbar benahi Monumen Mandor. Antara Saipan, Hirosima, Nagasaki dan Mandor sama-sama bukti sejarah kejamnya Perang Dunia II.
Kita berharap Dubes Kerajaan Jepang dapat turut serta ke Mandor dalam memperingati Hari Berkabung Daerah tiap tanggal 28 Juni bersama Pejabat Daerah, ahli waris korban Jepang dan masyarakat Kalbar. Mari bergandengan tangan membangun Kalimantan Barat. Kita tahu pemerintah Jepang/JICA banyak membantu tapi sayang Pemda Kalbar tidak transparan dengan masyarakat Kalbar khususnya para ahli waris korban, maklumlah masa kepemimpinan orde baru.

Terima Kasih,
Syarifah Djamilah
Foto: By Dokumentasi Pribadi Syarifah Djamilah
Read More....