Saturday, June 30, 2007

“Mengenang Korban Agresi Jepang di Kalbar”


Kami adalah bagian dari keluarga yang menjadi korban agresi Jepang merasa bersyukur dan menghargai usaha dan upaya Pemerintah Daerah beserta wakil wakil rakyat Kalimantan Barat yang akhirnya menetapkan tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah untuk memperingati tragedi pembantaian terhadap 21.037 jiwa rakyat Kalbar oleh rezim tentara Jepang selama tahun 1942-1945.

Gubernur juga menginstruksikan agar masyarakat Kalbar menaikkan bendera Merah Putih setengah tiang pada tanggal 28 Juni sebagai wujud menghormati serta menghargai para pejuang kita yang telah menjadi korban keganasan tentara Jepang.

Menyinggung keganasan tentara Jepang di Kalbar, penulis teringat 5 tahun yang lalu pada tanggal 1 Juli 2002 pernah menulis satu artikel dengan judul : “SEPOTONG MEMORI, BUKAN DENDAM”. Intinya memaparkan keganasan tentara Jepang menindas serta membunuh rakyat Kalbar pada masa tahun 1942 – 1945. Tulisan ini mendapat tanggapan simpatik dari seorang anggota dari I.K.K.A.J. (Ikatan Keluarga Korban Agresi Jepang) di Singkawang dengan menghadiahkan 1 buah buku dalam bahasa Mandarin dengan judul buku: “KEADAAN NAN YANG SEHABIS PERANG”, yang dibukukan pada tahun 1947 oleh wartawan-wartawan Singapura dan Pontianak yang berwawancara langsung dengan tokoh-tokoh masyarakat Kalbar dan saksi hidup pada tahun 1946.

Dalam buku ini dihalaman 9 terdapat satu artikel yang berjudul : “SELEMBAR TRAGEDI BERDARAH HOA CHIAU DI WEST BORNEO”, ditulis oleh wartawan bernama She Heung yang berwawancara langsung dengan seorang saksi hidup yang lolos dari maut bernama Liauw A Ciu yaitu pengusaha keramik di Singkawang.

Untuk diketahui masyarakat Kalbar, terutama pendatang-pendatang baru dan generasi muda, bagaimana tentara Jepang semena-mena menindas rakyat Kalbar diluar perikemanusiaan.
Disini kami menterjemahkan secara bebas cerita nyata dari Bpk. Liauw A Ciu yang mengalami sendiri kejadian pada waktu itu, sebagai berikut:

Saya ditangkap pada tanggal 12 bulan 8 Imlek subuh pagi di rumah. Sebab apa saya ditangkap tidak diketahui. Tanggal 13 dibawa ke Pontianak, dalam perjalanan saya ada niat untuk melarikan diri dengan cara meloncat dari lory/ truk. Sebab sejak saat ditangkap, sudah ada perasaan atau firasat tidak ada harapan pulang dengan hidup. Niat saya ini tidak mendapat dukungan dari teman-teman dalam truk. Pada umumnya mereka tidak berani dan sebagian besar menganggap dirinya tidak ada berbuat kesalahan yang besar dan yakin tidak akan terjadi hal yang sampai menyebabkan mereka kehilangan nyawanya.

Pada waktu 3 hari di kamp tahanan di Pontianak, saya ada usaha dengan teman-teman sekamar memberontak. Karena situasi saat itu masih mungkin, kami masih bebas bergerak. Tetapi semua teman-teman sekamar tidak setuju akan pikiran saya untuk mencoba melakukan hal yang menurut mereka berbahaya.

Pada tanggal 14 dan 15, kami lihat banyak “Thiat Lian Ci” (Narapidana) berbaris berangkat pergi kerja berjalan melalui pintu di ruangan kami dengan kepala tertunduk. Saya menangkap sorot mata mereka mengintip ke arah kami. Pada saat itu, saya perkirakan mereka pergi menggali liang kuburan untuk kami. Hal ini saya bicarakan dengan teman-teman sekamar bahwa hari maut kita akan segera tiba. Tetapi sebagian besar sesama tahanan ragu-ragu dan tidak percaya.

Pada tanggal 15 adalah hari raya “Chung Chiu Chiat” (Festival Kue Bulan). Kompetai membawa sehelai kertas blanko dan menyuruh saya menandatanganinya, segera saya lakukan. Malam itu nampak remang-remang, hujan gerimis sekitar pukul 10 malam, mendadak di seluruh pelosok dalam ruang tahanan kamp bergerak serentak diikuti dengan berkerumunan. Dalam hati saya berbisik, malaikat elmaut akan tiba. Pada saat itu lampu telah dinyalakan terang benderang seluruh kamp. Ratusan kepala bergerak-gerak disekililing. Setiap orang hanya memakai singlet dengan celana pendek dan kepala ditutupi kain, 2 tangan di ikat ke belakang. Setiap orang memiliki nomor. Sewaktu saya masuk kamp diberikan nomor 15 dan pada waktu akan dinaikkan ke truk maut nomor saya menjadi 101. Semua antri ke barisan dan dipanggil satu per satu hingga semua selesai waktu sudah jauh malam. Saya perkirakan ada sepuluhan truk yang pelan-pelan mulai bergerak jalan sampai menimbulkan suara yang bergemuruh. Truk maut yang saya naiki kebetulan yang paling akhir/belakang. Dalam 1 truk berdesakan puluhan orang tanpa suara apapun selain gemuruh mesin truk. Saya dapat merasakan perjalanan truk yang kami naiki terus berjalan tanpa menyeberangi sungai Kapuas, karena masa itu belum ada jembatan Kapuas, maka kalau menyeberang tentu akan terasa menaiki ferry/pelampong.

Truk arahnya menuju ke lapangan Sungai Durian,saya terus berusaha melepaskan tali yang terikat kebelakang pinggang pada tangan saya dan akhirnya berhasil. Semua truk yang kami naiki ditutupi kain terpal seluruhnya dan 3 tentara Jepang duduk di atas terpal tersebut mengawasi kami. Kami sama sekali tidak bisa berdiri dan berjalan. Mendadak truk yang kami naiki berhenti. Diperkirakan ada truk di depan truk kami mogok/rusak, sehingga truk kami tidak bisa maju. Pelan-pelan saya coba angkat kain terpal yang menutupi diatas kepala, rasanya agak kendor. Tetapi saya masih belum berani mengambil resiko. Saya coba berusaha mengetahui keadaan disekitar truk kami. Merasa sudah yakin kalau tentara Jepang tidak berada diatas truk, segera saya membuka kain terpal dan meluncur keluar dari samping truk, remang-remang (bulan purnama dan gerimis) saya lihat seorang tentara Jepang berdiri di depan truk dengan arah membelakangi saya. Di bawah sinar bulan yang remang-remang, saya harus mengambil keputusan kearah mana saya akan lari, tentunya masuk ke semak-semak disamping jalan besar. Dalam pikiran saya daripada di eksekusi lebih baik saya ambil resiko ini, maka saya berlari terus kearah hutan menjauhi jalan raya, onak dan cape tak di hiraukan, akhirnya sampai disebuah rumah yang beratap daun rumbia, hari sudah pagi. Rumah seorang nenek tua yang menyelamatkan jiwa saya yang kemudian mengakui saya sebagai anak angkatnya.

Soal truk-truk maut itu selanjutnya saya sama sekali tidak tahu. Tetapi ada satu hal yang harus saya tegaskan bahwa saya pernah bersumpah dimuka teman-teman setahanan, seandainya saya Liauw A Ciu berhasil melarikan diri, saya akan berusaha semaksimal mungkin membalaskan dendam atas pengorbanan mereka yang telah "hilang" tak berbekas .Satu hal yang pasti ialah mereka ditangkap tentara Jepang, sama sekali tidak ada harapan hidup kembali ke rumah.

Wartawan She mewawancarai Bpk. Liauw 1 jam lebih dan amat terharu sampai hampir menetaskan air mata karena mendengar cerita nyata yang tulus dan spontanitas. Bapak Liauw menambahkan lagi bahwa ratusan kerangka tulang belulang manusia yang tidak diragukan, terutama disekitar lapangan terbang Sungai Durian, kita harus menggali kembali dan memberikan tempat peristirahatan terhormat sebagai pejuang rakyat Kalbar serta membuktikan kepada kita semua bagaimana ganasnya dan tanpa perikemanusiaan tentara Jepang bertindak semasa perang dunia ke-2 di Kalbar.

Akhir-akhir ini beredar isu-isu dikalangan masyarakat bahwa tahanan yang ditangkap tentara Jepang berada di Kuching, ada yang berada di pulau, ada juga yang berada di pegunungan. Ini semua berita bohong yang sengaja ditiupkan oleh orang Jepang. Kita jangan percaya dan terperangkap. Wartawan She mendengar kalimat terakhir ini membuktikan bahwa Bapak Liauw yakin benar apa yang dituturkan adalah kenyataan. Karena masih ada keluarga korban yang masih berharap bahwa tahanan-tahanan itu akan kembali tidak begitu lama lagi.

Demikian tulisan dan terjemahan kami. Sebagai informasi, penulis masih mengenal keturunan almarhum Bpk Liauw yang berada di Pontianak. Sebagai penutup, kami berharap jangan melupakan sejarah. Seperti kata bijak Kuno China: “Chian She Puk Wang, How She Ce She”, yang secara harfiah artinya: Kejadian yang lalu tidak dilupakan adalah guru bagi masa depan .
Salam Sejahtera.
X F. Asali, Jl. Sisingamangaraja, Pontianak
Foto: By Lukas B. Wijanarko/Borneo Tribune
Read More....

Friday, June 29, 2007

Peristiwa Mandor sebagai Media Pembelajaran


Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Mandor

Peristiwa Mandor seharusnya menjadi media pembelajaran bagi generasi muda dan pembentuk nilai-nilai luhur dalam memahami sejarah. Bila tidak, peristiwa Mandor, hanya ritual yang dilakukan setahun sekali. Setelah upacara selesai, Mandor, sepi lagi.

Puluhan wajah belia terlihat serius. Mereka menyimak setiap kalimat yang keluar dari orang di depannya. Tiga orang tua, sedang bercerita tentang sejarah dan tragedi Mandor. Ketiganya, Aswandi, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Untan. Dia menjadi moderator. Paulus Alep Kopin, saksi peristiwa Mandor. Sudarto, pemerhati sejarah Kalbar. Siang itu, Kamis (28/6), mereka berdiskusi dengan sekitar 60 siswa dan guru, dari berbagai SD-SMA se-Pontianak.
“Sejarah itu data, fakta dan interpretasi. Kemampuan kita memotret sejarah, akan memberikan interpretasi terhadap fakta,” kata Aswandi, memulai diskusi.

Ia bercerita, ketika anak-anak Amerika tidak bisa mengerjakan ilmu eksakta dan ilmu alam lainnya, pemerintah tidak langsung memberikan penambahan terhadap ilmu tersebut. Tapi, pemerintah malah memberikan pelajaran ilmu sejarah. Hasilnya, anak-anak itu bisa mengerjakan berbagai ilmu yang diberikan.
Kenapa bisa demikian? Karena sejarah membuat sang anak menjadi bangga dan tahu jati dirinya. Hal itulah yang membuat mereka makin bersemangat mempelajari ilmu lainnya. Demikian, kata sang dekan dari FKIP ini.

Paulus Alep Kopin, 88 tahun warga Anjungan menuturkan, ketika Jepang datang, pasukan Jepang sering mengunjungi pasar Anjungan. Jepang membutuhkan tenaga pemuda desa, untuk mengerjakan berbagai proyek pembangunan pangkalan militernya.
Ia seorang romusha. Tenaga kerja paksa zaman Jepang. Tak ada upah. Makan pun sulit. Jepang mencari pemuda ke berbagai kampung, untuk dipekerjakan pada berbagai proyek. Kalau pemuda tidak mau ikut kerja paksa, ia akan dicari ke rumah, dan keluarganya bakal terancam. Alep pernah kerja paksa di Mempawah. Di sana, ia membabat hutan bakau demi, keperluan perang Jepang.

Semua serba susah. Sanking sulitnya bahan makanan dan sandang, orang harus berjalan puluhan kilometer, menukar hasil kerajinan dan bumi untuk beras.
Namun, sering kali apa yang dibawa, dirampas Jepang hitam –istilah bagi penduduk Kalbar-- yang menjadi kaki tangan dan bekerja bagi Jepang. Akibatnya, beras tak dapat, barang bawaan pun, dirampas.

Ketika itu, ia sering mendengar perbincangan orang di Anjungan, Jepang mulai menangkap orang terkenal, kaya, pejabat pemerintah, pengusaha, dokter, dan keluarga kerajaan dari berbagai daerah di Kalbar.
Saat berada di pasar Anjungan, ia biasa melihat tentara Jepang berkeliaran di sana. Dari sepatu yang dikenakan, ia melihat sepatu bala tentara Jepang, sering terlihat bercak darah.

Menurutnya, ketika Jepang mendapat laporan orang yang dianggap berbahaya bagi kekuasaannya, mereka tidak mengecek dulu sejauhmana kebenaran berita itu. Tapi, tentara Dai Nippon langsung menculik dan menghukumnya. Ia sering melihat lalu lalang truk menuju Mandor. Yang ketika itu masih berupa hutan.
Dia pernah kerja paksa di Mandor. Setiap ada pesawat terbang lewat, ia berlari dan sembunyi. Ia berharap pada generasi muda yang hadir, untuk selalu memperkuat persatuan dan kesatuan. “Bila tidak, kita akan mudah dijajah, oleh siapa pun,” kata Alep.
Murid yang hadir dalam perbincangan, seolah tak mau melewatkan setiap kata dan kalimat yang terucap, terlewat begitu saja. Mereka dengan serius mendengarkan para saksi sejarah ini.

Pembicara kedua, Sudarto. Ia pernah menjadi guru di SMA Paulus selama 30 tahun. Ia pernah meneliti berbagai sejarah di Kalbar. Dari apa yang dipaparkan, ia tahu setiap detail peristiwa dan sejarah di Kalbar.
Menurutnya, terungkapnya peristiwa Mandor, tidak bisa dipisahkan dengan era pemerintahan Gubernur Kadarusno. Ia gubernur Kalbar kelima, tahun 1972-1977. Ia bekas tentara KNIL Belanda. Saat masih menjadi kopral, ia anak buah Sultan Hamid II. Yang ketika itu menjadi perwira militer dan mendapat pendidikan ketentaraan di Belanda.

Saat menjadi gubernur, ia memerintahkan anak buahnya meneliti keberadaan makam yang terletak di Mandor, sekitar 89 arah timur kota Pontianak. Dari penelusuran yang dilakukan, ditemukan makam kerangka berserakan di berbagai area di Mandor.
Kadarusno memerintahkan tulang belulang itu dikumpulkan dan dikuburkan kembali dalam 10 makam besar itu. “Saat ini, yang ada di sepuluh pemakaman massal itu, tak lebih dari 800 orang,” kata Sudarto.

Lalu, di mana mayat lainnya?
“Sungai Kapuas,” kata Sudarto. Sungai Kapuas dan Landak, ketika itu menjadi jalur bagi pengangkutan tahanan dari Pontianak ke Mandor. Para tahanan diculik di daerahnya dan dibawa ke Pontianak. Setelah itu, baru dibawa ke Mandor. Dalam perjalanan ada yang sakit. Mereka langsung dilempar ke sungai. Orang yang tidak sakit pun, bisa saja di lempar ke sungai. Sungai menjadi kuburan termurah dan efisien bagi para tahanan. “Karena, tak mungkin Jepang menguburkan satu persatu tahanan. Biayanya akan sangat besar,” kata Sudarto.

Pembunuhan para korban peristiwa Mandor, tidak sekaligus. Namun, bertahap. Pembunuhan itu berawal sejak April 1943, dan berakhir sekitar Juli 1944. Alasan pembunuhan dilakukan pada April 1943, ketika itu di Banjarmasin sudah mulai terjadi pemberontakan melawan Jepang. Ada dua orang dari Banjarmasin dikirim ke Kalbar. Tugasnya, memberitahu permasalahan yang sedang terjadi di Banjarmasin, kepada para pemimpin di Kalbar. Keduanya seorang dokter. Rubini dan Makaliwe.

Dua orang dokter ini, sering bertemu dengan para pemimpin Kalbar di Gedung Medan Sepakat, Jalan Jenderal Urip, Pontianak. Dulunya, gedung itu sering menjadi tempat berkumpul para pejabat, pengusaha, aktivis kemerdekaan, dokter, dan para pembesar kerajaan di Kalbar. Mereka terdiri dari beragam etnis. Sekarang ini, keberadaan gedung ditempati satu organisasi kemasyarakatan.
Dalam berbagai pertemuan itulah, mereka mencari jalan dan berdiskusi untuk melawan Jepang. Caranya, melalui gerakan massa rakyat. Mereka beranggapan, penyebab berbagai kesulitan hidup, akibat penjajahan Jepang. Maka, negeri matahari terbit itu, mesti memperbaiki kondisi di masyarakat.

Saat itu, sulit menemukan keberadaan senjata. Jepang tidak percaya memberikan senjata, meskipun kepada warga Indonesia yang menjadi tentara dan bekerja untuknya.
“Namun, negeri ini memang sarang penghianat,” kata Sudarto.

Para penghianat yang merupakan warga Indonesia sendiri, menambahi berita itu dengan berbagai bumbu dan cerita. Seolah-olah, para pemimpin itu, akan melakukan perlawanan bersenjata pada Jepang. Tentara pendudukan Jepang langsung merespon dengan berbagai penangkapan.
Ada dua hal yang menjadi kekhawatiran Jepang, saat itu. Pertama, pasukan Jepang di berbagai medan pertempuran, mulai terpukul mundur. Bahkan, dalam berbagai pertempuran di lautan Pasifik, Jepang mulai kalah dan terjepit. Misalnya, di Filipina dan berbagai medan pertempuran lainnya. Kedua, orang yang dibunuh, punya massa dan menjadi pemimpin bagi warganya. Bila mereka memerintahkan sesuatu pada rakyatnya, Jepang sangat khawatir, bakal menjadi perlawanan bagi pemerintahan pendudukan Jepang.
Penculikan selalu terjadi pada tengah malam. Setelah diculik, para pemimpin itu disungkup. Kepalanya ditutup dengan karung goni. Para pemimpin itu dibawa ke kantor Kepolisian Residen atau benteng Belanda.

Sekarang ini, bekas benteng itu telah berubah menjadi Pasar Nusa Indah. Ironis memang. Ketika kita berteriak untuk mengabadikan 28 Juni, sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD), melalui berbagai cara atau Perda. Di sisi lain, kita membongkar berbagai monumen sejarah yang berhubungan dengan hal itu. Begitu pun dengan bangunan penjara yang sekarang berubah menjadi Rumah Sakit Antonius.
Pemerintah Pusat mesti memperhatikan peristiwa Mandor. Dari peristiwa ini, ada hal bisa dilihat mengenai perjuangan rakyat Kalbar. “Meski tidak mengalami perjuangan fisik atau revolusi, tapi Kalbar berperan mempersiapkan kemerdekaan di Indonesia,” kata Sudarto.

Munculnya jumlah angka korban Mandor sebanyak 21.037 orang, karena berita di harian Akcaya. Angka ini masih menjadi kontroversi hingga sekarang. Bahkan, seorang komandan Jepang yang dihukum mati di Kalbar, Yamamoto, juga mengaku tidak tahu.
Menurut Sudarto, hal yang bisa dilakukan sekarang ini, untuk mengetahui jumlah sebenarnya tentang jumlah korban peristiwa Mandor, harus meneliti berbagai dokumen pengadilan perang di Jepang. Sudah ada kebijakan dari pemerintah Jepang, untuk mengakses berbagai dokumen pengadilan itu. Dokumen itu, tentu menggunakan huruf Kanji. “Karenanya, mulai sekarang kita mesti belajar hufuf kanji, bila ingin mengakses berbagai dokumen mengenai peristiwa Mandor,” kata Sudarto.

Pada diskusi itu juga dilakukan acara tanya jawab. Mereka yang mengikuti diskusi, terlihat antusias. Berbagai cerita dari sang narasumber dicatat pada sebuah buku.
Salah satunya, Chamsiah. Ia guru SD 25 Pontianak Kota. Terhadap kegiatan itu, ia memberikan pendapatnya, “Kegiatan seperti ini penting untuk mengenang masa lalu. Rencananya, peristiwa Mandor, akan dimasukkan dalam muatan lokal sekolah.”
Begitu juga dengan Afriyanti, siswa kelas 2/2, SMP 8 Pontianak. Menurutnya, kegiatan seperti ini menarik. Banyak informasi bisa diperoleh. “Kita juga ingin tahu, bagaimana peristiwa itu selanjutnya,” kata Afriyanti.

Ada satu kegelisahan diungkapkan Sudarto tentang peristiwa Mandor. Ia berharap, peristiwa Mandor jangan hanya seremoni dengan mengunjungi makam juang Mandor, setahun sekali. “Tapi, harus dijadikan sebagai media pembelajaran,” kata Sudarto.
Karenanya, di Mandor bisa dibangun berbagai kegiatan yang mendukung sebagai media pembelajaran. Seperti, area camping bagi anak sekolah dan dilengkapi berbagai film dan foto-foto tentang peristiwa Mandor. Dengan mengetahui peristiwa Mandor, anak sekolah bisa mengetahui sejarah daerah dan bangsanya. Sebab, sejarah merupakan ilmu dasar. “Sebelum belajar ilmu lain, belajarlah sejarah,” kata Sudarto.

Foto: By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 30 Juni 2007
-------------------------
Komentar Pembaca
-------------------------
Dear Tanto,
Saya baca posting Anda soal peristiwa Mandor ini. Sangat menarik. Apalagi lihat response yang muncul. Mungkin Anda bisa menambah riset ini dengan membaca karya Mary Somers Heidhues, seorang ahli overseas Chinese, dalam karyanya berjudul The Makam Juang Mandor Monument: Remembering and Distorting the History of the Chinese of West KalimantanDia meneliti cukup lama pembantaian ini sekaligus mengkritik manipulasi sejarah yang dilakukan oleh pihak Indonesia dalam kasus Mandor. Tentu saja, dia juga mengungkapkan ketidakbecusan militer Jepang dalam menghadapi kasak-kusuk yang tak jelas dari Banjarmasin. Dia juga meneliti jumlah korban.Kalau saya tak salah ingat, karya ini ada dalam buku Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting dengan editor Tim Lindsey dan Helen Pausacker. Saya sangat terkesan dengan ketelitian Mary Somers Heidhues. Terima kasih.
Salam,
Andreas Harsono, Jakarta
Read More....

Ketika Kenal Kata Papa, Papa pun Pergi


Tanto Yakobus
Borneo Tribune, Pontianak

Kurang dari 24 jam, setelah blogspot yang merekam peristiwa Mandor pada zaman penjajahan Jepang dan kondisi sekarang ini, respon pembaca Borneo Tribune dan kenalan saya lumayan bagus. Rupanya, setelah membaca berita box Borneo Tribune soal peristiwa Mandor dapat diakses di Mancanegara, Jumat (29/6) pagi kemarin, tak sedikit yang langsung membuka internet--mengakses menelusuri web http://www.peristiwamandor44.blogspot.com/, yang saya rampungkan 12 jam sebelumnya.
Blog tersebut memuat banyak peristiwa miris yang dilakukan Jepang terhadap satu generasi di Mandor. Cerita miris itu coba kami telusuri dari keluarga atau anak cucu korban yang masih hidup.
Salah satu anak korban yang saya temui usai peringatan hari berkabung daerah (HBD) di Mandor dua hari lalu adalah, Soewito Limin. Pendiri lembaga pendidikan Bina Mulia ini punya cerita memilukan menjelang pembantaian Jepang di Mandor.
Saat diwawancarai saya, Nur Iskandar dan Munawar serta Gumai dari MTA TV (TV Muslim London) yang siarannya ditayangkan ke kurang lebih 200 negara, Soewito Limin awalnya tampak terharu dengan peringatan HBD yang mendapat sambutan hangat keluarga korban, pemerintah dan warga masyarakat Kalbar.
Namun ketika beliau mengingat kejadian masa lalu, Soewito Limin sempat termanggu.
“Waktu itu umur saya dua tahun kurang satu bulan. Dan baru bisa menyebut papa…papa….”
Suara Soewito Limin hilang. Bulir-bulir bening keluar dari matanya. Ia pun menyeka air matanya dan menarik napas dalam-dalam.
Bebrapa saat Soewito menghentikan bicaranya. Ia terdiam, tatapannya menerawang ke depan dengan pandangan kosong.
Lalu ia melanjutkan ceritanya, “Baru malam itulah saya bisa menyebutkan nama papa. Saat papa pulang kerja, saya buru-buru menghampirinya dan memanggil papa…papa. Hanya beberapa jam datang serdadu Jepang menangkap dan membawa papa keluar. Mulai saat itu papa tidak pulang lagi,” ceritanya dengan mulut gemetar.
“Bagi saya pribadi permintaan maaf Jepang itu tidak cukup, tapi bagaimana Jepang bisa membantu pendidikan anak-anak Kalbar ini supaya bisa maju dan sejajar dengan mereka,” katanya.
Tapi lanjutnya, jangankan memperhatikan pendidikan terutama anak cucu korban keganasan Jepang, minta maaf saja sulit mereka lakukan.
Katanya, peristiwa itu betul-betul cambuk. “Kemudian bagi masyarakat Kalbar, saya juga mendirikan sekolah Bina Mulia. Mengapa Bina Mulia? Kita ingin membina anak-anak kita dengan pendidikan yang lebih baik,” katanya lagi.
Sementara itu, Andreas Acui Simanjaya yang menemani kami ke makam Juang Mandor mengatakan, terkesan dengan apa yang dialami Bapak Soewito Limin. Beliau masih ingat benar bahwa malam sebelum ayahnya ditangkap Jepang, beliau masih balita saat itu, baru belajar bicara dan pada malam itu baru pertama kali bisa memanggil papa .... papa ... itu kata-kata yang baru bisa diucapkannya malam itu yang pasti membuat seluruh anggota keluarga terbawa dalam keceriaan karena seorang anak mulai bisa bicara dan memanggil ayahnya.
Menurut Acui, dirinya sendiri sangat memahami bagaimana rasa bangga dan bahagia itu timbul sebagai seorang ayah ketika putra pertamanya, Chrisdion Simanjaya (7 tahun) belajar bicara dan kata pertama yang bisa di ucapkan adalah papa ...
Bagi anak-anak yang kehilangan seorang ayah yang juga berarti kehilangan satu masa manis yang seharusnya dialami oleh seorang anak yang memiliki orang tua yang lengkapadalah suatu kejadian yang sangat menyakiti hati dan sepanjang kehidupan anak para korban Jepang, dan itu terasa sampai kini.Jika seorang ayah dalam kehidupan kita direnggut begitu saja tanpa ada penjelasan dan sebab, apalagi kelak diketahui ternyata sang ayah mengalami perlakuan tidak manusiawi hingga dikuburkan tanpa nisan di Mandor, ini kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan terhadap seorang anak yang membutuhkan ayah dalam hidupnya. (bersambung)

Foto: By Andreas Acui Simanjaya
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune, tanggal 29 Juni 2007
Read More....

Yang Terlupakan


Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Dalam setiap hajatan dan seremoni, selalu ada kemeriahan. Ada kesedihan tertahan. Ada proses berulang. Dan, ada sesuatu yang terlupakan. Salah satunya, dalam peringatan Hari Berkabung Daerah (HBD) Peristiwa Mandor. Ketika orang berduyun-duyun memperingati peristiwa itu, mereka melupakan sosok-sosok yang terlibat di dalamnya.

Ia terlihat semangat ketika bercerita. Kalimatnya bergelora. Ada ekspresi. Ada penumpahan. Ia seolah menemukan ruang untuk berbagi. Dengan ceritanya, ia menarik saya pada waktu. Yang seakan ingin direngkuhnya kembali. Dalam perbincangan itu, sesekali ia menyisipkan bahasa Jepang.
Rambutnya telah memutih. Ia kelahiran Singkawang, 1 September 1928. Tak terlihat ringkih pada tubuhnya. Namanya, Kasilan. Ayahnya, dari Jawa. Yang dijadikan serdadu Belanda, untuk menumpas pergolakan di Mempawah. Ayahnya tinggi besar. Karenanya, ia ditempatkan dalam kesatuan Marsose. Satu pasukan elit jaman penjajahan Belanda.
Ketika Jepang masuk ke Kalbar, Kasilan direkrut sebagai tentara Heiho. Ini merupakan satuan tentara yang dibentuk Jepang, untuk membantu dalam peperangan melawan sekutu. Pada perkembangannya, pasukan Heiho dikirim ke berbagai front peperangan di pasifik, Pilipina, Myanmar, Indochina dan lainnya.
Ketika itu umurnya masih 16 tahun. Supaya diterima sebagai serdadu Jepang, orang tuanya memberikan saran. Supaya umurnya ditambah setahun. “Supaya bisa diterima,” katanya.
Setelah diterima, ia bertugas di Kompi Merah Kuning Pasukan Jibakutai. Ini pasukan khusus dari angkatan darat, yang dilatih untuk berani mati. Pasukan berani mati di udara, bernama Kamikaze. Dalam berbagai pertempuran, pasukan ini sangat ditakuti.
Kasilan masuk regu I, Si Buntai. Komandannya bernama Kamiguci Hidewo. Di atasnya lagi, ada Zamada Heso dan Watanabe Kinjiro.
Ia pernah bertugas di Sungai Tebelian. Ketika itu, Jepang mengerahkan penduduk untuk membuat bandara. Sekarang ini, bandara itu bernama Bandara Supadio Pontianak. Landasan bandara terbuat dari batu-batu yang diambil di Batu Ampar. Batu itu dimuat di perahu. Sesampai di dekat Sungai Tebelian, batu itu diluncurkan dalam sebuah parit yang sengaja dibuat, untuk memudahkan pengangkutan batu. Maka, nama parit itu disebut dengan Parit Jepang.
Jepang membagi pekerja menjadi puluhan kelompok. Setiap kelompok ada sepuluh orang. Dalam satu hari, Jepang memberi makan tiap kelompok dengan sekilo beras. Masyarakat serba kekurangan. Beras sulit sekali. Beras hanya dimakan para pegawai pemerintahan yang ketika itu, sebagian besar ada di Jalan Sidas, Pontianak.
Masyarakat makan apa saja. Ada ubi makan ubi. Pokoknya apa saja. Ia makan dengan sumpit. “Ini yang membuat makan tidak kenyang,” kata Kasilan.
Semasa menjadi tentara Heiho, ia pernah ditugaskan dalam berbagai macam front. Ia pernah menjaga daerah dari serbuan tentara sekutu. Selama berbulan-bulan, ia harus hidup berbulan-bulan di lubang pertahanan. Karenanya, kakinya mengalami pembengkakan dan meradang. Penyakit itu susah sembuh. Oleh tentara Jepang, ia diminta mencabut kuku-kukunya. Akibat penyakitnya itu, ia tidak bisa berjalan sempurna. Alias pincang.
Semasa penjajahan Jepang, rakyat dikelabui dengan berbagai macam cara. Salah satunya, Jepang berbicara kepada masyarakat yang ada di sekitar Landak, Mandor, Ngabang dan sekitarnya, supaya menyerahkan intan berliannya kepada pemerintah Jepang. Alasannya, pesawat-pesawat sekutu tidak mempan ditembak dengan senjata biasa. Harus dengan intan supaya bisa tembus dan mengenai badan pesawat.
Akhirnya, masyarakat menyerahkan persediaan intan mereka pada Jepang. Ratusan kilo jumlahnya. Kasilan melihat sendiri intan yang dikumpulkan itu.
Menurutnya, ketika Jepang menjajah ke Indonesia, mereka juga menjadikan rakyat yang dikuasai sebagai tentaranya. Tak heran, dalam kesatuan tentara Dai Nippon, banyak terdapat tentara dari Manchuria, Korea, Shantung dan lainnya.
“Para kucing kurap inilah, yang selalu membuat kekacauan,” kata Kasilan. Yang dimaksud kucing kurap adalah balatentara Dai Nippon dari Manchuria, Korea, Shantung dan lainnya. Kalau mereka datang ke suatu perkampungan, mereka main tangkap perempuan dan memerkosanya.
Perilaku tentara pendudukan ini, membuat marah masyarakat Dayak. Inilah yang membuat perlawanan di wilayah pedalaman, kata Kasilan.
Semasa bekerja sebagai tentara Heiho, ia mendapat gaji sebesar 22,5 zen. Pada kenyataannya, gaji itu tidak pernah dibayarkan. karena itulah, melalui persatuan eks mantan Heiho seluruh Indonesia, mereka mengajukan kompensasi pada pemerintah Jepang.
Di Indonesia, ada sekitar 600 ribu mantan eks tentara Heiho. Di Kalbar, jumlahnya ada 6 ribu orang. Persatuan eks mantan Heiho, melalui pemimpinnya, Tasrib Raharjo, pernah ke Jepang, untuk melakukan negosiasi terhadap uang kompensasi. Pemerintah Jepang sudah menyetujui.
Namun, pemerintah Jepang tidak mau menyalurkan uang kompensasi itu secara langsung ke organisasi mantan Heiho ini. Alasannya, ini menyangkut satu pemerintah Indonesia dan Jepang. Mantan Heiho inginnya, uang itu langsung diserahkan kepada mereka. “Alasannya, supaya uang itu tidak dikorupsi pemerintah,” kata Kasilan.
Hal sama terjadi pada mantan perempuan yang dijadikan budak seks tentara Jepang, atau Jugun Ianfu. Perjuangan panjang mereka, seolah tak ada ujung dan tak ada akhir. Sementara, waktu memberi jarak pada kehidupan mereka. Banyak dari mereka telah menemui ajal, sebelum perjuangan itu mencapai keberhasilan.
Menurut Kasilan, uang gaji itu, bila dibayarkan kepada setiap anggota sebesar Rp 100 juta. Hitungannya, gaji selama tiga tahun menjadi serdadu, ditambah bunga selama 50 tahun.
Sejak tahun 1990, mantan pasukan Heiho memperjuangkan, supaya mendapat kompensasi gaji mereka. Namun, Pemerintah Pusat dan Daerah, tidak punya kepedulian dalam hal ini. “Apalagi pada zaman pemerintahan sebelum presiden SBY,” kata Kasilan.
Sekarang ini, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), melalui Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, sedang berupaya menyelesaikan masalah ini.
Pemerintah daerah Kalbar, juga tidak punya perhatian terhadap masalah ini. begitu juga dengan DPRD-nya. Ia mencontohkan Sulawesi. Di sana, DPRD punya kepedulian terhadap masalah eks Heiho. Ada satu partai di DPRD yang begitu peduli, sehingga mereka mendapat perhatian dan bisa menjalani hidup dengan baik.
Kini, Kasilan hidup di Takong, Kecamatan Tohok, Kabupaten Landak. Ia hidup dengan kesederhanaan. Ia menggantungkan hidup dari gaji pensiun semasa ia menjadi TNI. Ia pensiun dengan pangkat Peltu, Pembantu Letnan Satu.Sebelum meninggalkan tempat itu, aku menatap dalam pada wajah yang telah menua itu. Ada rasa menggumpal. Orang harus melihat pada nasibnya. Nasib orang-orang yang terlupakan.

Foto: By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune, tanggal 29 Juni 2007
Read More....

Permohonan Maaf Jepang Urus Bersama SBY



Nur Iskandar dan Tanto Yakobus
Borneo Tribune, Mandor

Luar biasa pemandangan di Taman Makam Juang Mandor, Kamis (28/6) kemarin. Ribuan orang memenuhi lapangan terbuka untuk berziarah. Bendera setengah tiang berkibar sepanjang jalan menandai Hari Berkabung Daerah di mana 21.037 jiwa tewas dibantai Dai Nippon Jepang secara bengis dan sadis.
Kendaraan roda empat—mulai dari milik pribadi hingga bus-bus carteran penuh di halaman parkir. Deret parkir itu sampai keluar ke jalur jalan raya Mandor. Ditaksir 3.000-an massa memenuhi pekuburan massal yang dikehendaki pula oleh keluarga korban menjadi Taman Makam Nasional.
Upacara yang berlangsung sejak pukul 09.15 itu berlangsung khidmat. Beberapa keluarga korban tak sanggup menahan air mata ketika terompet ditiup tim koor. Lagu kejuangan menggedar-gedor perasaan mereka. Terutama keluarga korban yang masih sempat menyaksikan orang tua atau keluarga mereka manakala diculik atau diciduk Nippon lantas disungkup dan dipenggal.
Salah seorang yang terisak menangis adalah Soewito Limin yang juga Ketua Umum Yayasan Budi Mulia. Isak tangis itu masih tersisa ketika pimpinan perusahaan Papa Sari ini diwawancarai. “Sehari sebelum papa diciduk saya sempat bilang kepadanya papa...” katanya. Soewito tak lagi sanggup mengurai kata-katanya. Bulir air matanya menetes membasahi pipi. Suaranya berat tercekat. Peristiwa itu benarbenar membuat luka di hati.
“Mamalah yang mengasuh saya sampai besar. Umur saya ketika itu 2 tahun 1 bulan,” ujar ayah empat anak yang semuanya lulusan luar negeri (AS dan Taiwan).
Hal senada dikemukakan Ketua ICMI Korwil Kalbar Drs H Ilham Sanusi. “Saya anak korban Jepang. Ayah saya ditangkap saat itu 44 tahun. Beliau adalah pegawai Duane atau Bea dan Cukai.”
Ilham yang kini Ketua Kadin UKM dengan mata berkaca-kaca mengenang cerita ibunya. “Setelah ayah ditangkap yang kembali hanya baju kerja, sepeda rally dan jam tangan. Siapa yang tak sedih,” ujarnya.
Ilham Sanusi menilai peringatan HBD kali ini meningkat dari tahun-tahun yang lalu. Penilaian serupa diungkapkan Soewito Limin, Panembahan Landak Gusti Suryansyah, Rektor Untan Chairil Effendi, Kadis Diknas Ngatman, Dekan FKIP Untan Aswandi, mantan anggota DPRD Kalbar Andreas Acui Simanjaya, Pemimpin Radio Divasi Zulfidar Zaedar Mochtar dan keluarga korban dari Tanjung Hulu Nurjamilah yang sempat diwawancarai di lokasi upacara. Namun kesemuanya berpandangan peningkatan harus terus dilakukan pada tahun-tahun mendatang, misalnya dengan lebih menyosialisasikan pemasangan bendera setengah tiang, pemuatan pelajaran di sekolah, serta mengundang menteri, pihak Kedubes Jepang, bahkan Presiden SBY agar masalah “genocida” ini bisa ditangani secara profesional dan proporsional.
Kalau dapat perhatian Pusat barulah pampasan Jepang yang diperuntukkan bagi pendidikan atau rumah sakit, atau demi kepentingan rakyat banyak di Kalbar dapat diajukan.
Prihal tersebut Gubernur Usman Ja’far merespon positif. Katanya, memang dari masa gubernur-gubernur terdahulu pun aspirasi ini sudah disampaikan kepada Pusat. “Kebijakan luar negeri memang tidak diotonomikan. Saya hanya bisa melaporkan aspirasi keluarga korban agar ada permohonan maaf Jepang itu ke Pemerintah Pusat,” ujarnya.
Usman mengatakan sejak Perda HBD ditetapkan, Pemprov dan Pemkab Landak akan memagar lokasi Taman Makam Juang Mandor. “Ini prioritas pertama. Anggarannya dimasukkan dalam APBD.”
Berkenaan dengan rencana kedatangan Presiden SBY pada 9 Juli mendatang, berbagai aspirasi berkembang. “Bagus jika Presiden SBY dapat berkunjung ke Mandor. Beliau jadi bisa memperjuangkan secara langsung kepada Pemerintah Jepang,” ungkap mantan Kadis PU Kalbar, Ir H Said Dja’far. Hal senada dikemukakan penjaga makam, A Samad. “Tiga bulan yang lalu sudah datang menteri Meutia Hatta. Beliau merasa terenyuh dengan kondisi makam di sini. Apalagi terlihat aksi PETI. Beliau putri Bung Hatta memang menghargai sejarah,” ujarnya seraya berharap SBY pun dapat hadir memperjuangkan hak-hak Mandor.





Foto: By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune

Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 29 Juni 2007

Read More....

Pejabat Daerah dan Anak Cucu Korban Ziarahi Mandor


Budi Rahman
Borneo Tribune, Mandor

Memori kelam kebiadan bala tentara Dai Nippon terhadap putra-putri terbaik Kalbar kembali diperingati, Kamis (28/6) kemarin. Sejumlah pejabat daerah dan ahli waris istana dan dan anak cucu korban menghadiri upacara peringatan Hari Berkabung Daerah (HBD) di Makam Juang Mandor.
Upacara berlangsung khidmat dan penuh penghayatan di bawah sengatan matahari. Gubernur Kalbar H Usman Ja’far bertindak sebagai inspektur upacara.
Wajah Gubernur dan beberapa pejabat daerah lainnya seperti Wagub, Kapolda, Danrem, Danlanal, Danlanud, bersama jajaran Muspida nampak memerah. Keringat bercucuran tapi upacara tetap berjalan serius.
Pembesar-pembesar istana di Kalbar yang sanak keluarganya turut jadi korban tragedi Mandor juga nampak larut dalam kisah kelam masa lalu. Sultan Pontianak Syarif Abubakar Alkadrie bersama Panembahan Mempawah Gusti Mardan Adiwijaya, Pemangku Kraton Ismayana Landak Gusti Suryansyah serta Panembahan Sintang dan Sekadau nampak hadir dalam peringatan HBD ini. Keluarga istana dari masing-masing kerajaan pada periode 1942-1944 ini diyakini menjadi korban keganasan Jepang serta terkubur secara massal di Komplek Makam Juang Mandor.
Gubernur Usman Ja’far dalam upacara peringatan HBD kemarin memimpin prosesi penghormatan dan mengheningkan cipta bagi arwah para syuhada yang kini terbaring di areal perbukitan kawasan Mandor. Pembawa acara membacakan nama-nama korban Tragedi Mandor, namun tidak semua korban dibacakan. Hanya perwakilan nama-nama tokoh yang memiliki strata sosial dan kedudukan cukup penting di masyarakat yang sempat dibacakan.
Dari nama-nama yang dibacakan terdapat tokoh dari berbagai etnis dan profesi. Ada sosok Sultan, Pengajar, Pedagang, Dokter bahkan wartawan. Usai pembacaan doa dalam upacara kemarin Gubernur memimpin peletakan karangan bunga di monumen makam dan diikuti pejabat serta ahli waris istana lainnya. Usai melakukan peletakan karangan bunga, gubernur beserta rombongan melakukan tabur bunga ke sepuluh kuburan massal yang ada di Komplek Makam Juang Mandor.
Sebagaimana dilansir oleh media pada masa transisi penjajahan, Jepang memang telah menyusun rencana genosida untuk memberangus semangat perlawanan rakyat Kalbar kala itu. Borneo Shinbun, koran yang terbit pada masa itu mengungkap rencana tentara negeri samurai itu untuk membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang Jepang. Tanggal 28 Juni diyakini sebagai hari pengeksekusian ribuan tokoh-tokoh penting masyarakat pada masa itu.
Kalbar kehilangan satu generasi terbaiknya, 21.037 nyawa menjadi tumbal keganasan dan kebiadaban tentara fasis negeri Matahari Terbit. Pada tanggal ini pula peresmian Makam Juang Mandor oleh Gubernur Kalbar, Kadarusno pada tahun 1977 dilakukan.
Tak terkira kerugian yang dialami oleh bangsa Indonesia di bawah pendudukan Jepang. Moril maupun materil bangsa Indonesia, khususnya Kalbar dirampas oleh tentara-tentara Jepang yang dikenal bengis dan biadab itu. Meski hanya 3 tahun Jepang bercokol di Indonesia namun keberingasan mereka mampu menyengsarakan kehidupan rakyat Indonesia yang berulang kali berpindah tangan dijajah para imperialis.
Peringatan HBD yang kini sudah memiliki payung hukum di Kalbar secara umum berlangsung semarak. Beberapa dinas, instansi pemerintah dan swasta nampak mengibarkan bendera setengah tiang sesuai surat edaran dari Gubernur Kalbar. Namun untuk rumah-rumah warga belum nampak banyak yang mengibarkan bendera tanda berkabung tersebut.
Usai mengikuti peringatan HBD, Gubernur Usman Ja’far mengakui masih banyak hal yang perlu dibenahi untuk mendukung peringatan HBD tersebut. Payung hukum yang sudah dibuat dalam bentuk Perda Hari Bekabung Daerah nantinya bisa dijadikan dasar pijakan bagi penataan kawasan makam yang kondisinya cukup memprihatinkan. Pada kesempatan ini Gubernur berpesan agar peringatan ini tidak dijadikan sebagai pembangkit luka masa lalu, namun hendaknya dijadikan media mengenang jasa para pahlawan.
Anggota DPRD Kalbar, Awang Sofian Rozali yang turut dalam acara peringatan ini merasa prihatin dengan kondisi dan penataan situs bersejarah ini. “Fasilitas yang tersedia sangat minim,” keluhnya mengomentari kondisi WC yang jorok. “Hendaknya Pemprov berkoordinasi dengan Pemkab Landak untuk menata kawasan ini,” harap Ketua Fraksi Golkar ini saat mengayunkan langkahnya ke arah kuburan nomor 2 di areal Makam Juang Mandor.
Anggota Komisi B DPRD ini melihat sebenarnya Makam Juang Mandor ini bisa dijadikan sebagai kawasan wisata ziarah jika ditata dengan baik. Ia merasa prihatin dengan kondisi yang ada di sekitar makam para syuhada ini. Bukit-bukit tampak gundul gersang. Bahkan tak jauh dari lokasi makam, antara makan I dan makam 2 terdapat hamparan pasir luas dengan pohon dan tumbuhan yang merangas, genangan air tampak mengisi lubang-lubang bekas aktivitas penambangan emas liar (PETI). Ironis memang. “Sebenarnya akan sangat bagus kalau kawasan ini dihijaukan dengan pepohonan mulai langka di Kalbar ini,” usulnya.
Memori kelam atas kebiadaban dan kebangsatan Jepang ternyata juga menyisa pada salah satu pelaku sejarah tersebut. Kasilan seorang legiun veteran, anggota Heiho yang juga seorang Zibakutai (tentara berani mati) pada masanya sempat menuturkan tragedi kemanusiaan biadab di Abad 21 itu. “Suasana sepi waktu itu. orang kerjapun tak berani keluar. Sebab kalo keluar takut diangkut,” kenang kakek yang rambutnya sudah uban semua ini. “Jepang pakai truk DPO, Departement van Orlo, sisa perang dunia ke-2 untuk mengangkut ke sini,” ujarnya merujuk kendaraan yang digunakan untuk mengangkut para korban ke killing field di Mandor.
Menurut kisah Kasilan tentara Jepang sangat licik dan biadab terhadap rakyat. “Jepang membohongi warga dengan bikin isu Amerika mau menyerang. Mereka minta semua emas, intan berlian yang ada diserahkan untuk dibikin peluru menembak pesawat Amerika,” ujar pejuang yang hingga hari ini masih gigih menuntut ganti rugi atas haknya sebagai ex-Heiho kepada pemerintah Jepang.
Dalam peristiwa pembantaian di Mandor Jepang sangat licik dan jahat. Menurut Kasilan, untuk membuat liang-liang kubur para korban Jepang mengerahkan warga dari Sungai Durian untuk menggalinya. Mereka tidak diberi tahu untuk apa lubang tersebut digali. Setelah lubang-lubang itu menganga lebar para warga penggali liang itu menjadi penghuni pertama kuburan yang mereka gali sebelum disesaki oleh korban-korban berikutnya yang sudah dijemput masing-masing.
Tragedi Mandor memang teramat pilu untuk dikenang. Mengingat kebiadaban para tentara “penyembah matahari” terhadap para martir yang meregang nyawa demi Nusa dan Bangsa ini hati kita pasti tersayat. Mestinya generasi emas yang ada di Kalbar pada masanya itu dapat mewariskan sikap dan teladan patriot bagi generasi saat ini. Seperti tertulis di Monumen Makam Juang. Sudah seharusnya memang Peristiwa Mandor tak hanya dikenang, tapi bagaimana semangat melawan segala bentuk penjajahan harus terus dikobarkan. Termasuk keterbelakangan dan kebodohan yang masih menghinggapi akal sebagian besar warga Kalbar ini.


Foto: By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune

Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 29 Juni 2007
Read More....

Arti Monumen Mandor Bagi Perjuangan Bangsa Indonesia


Oleh: Basrin Nourbustan

Mandor, sebuah kota kecil, ibukota Kecamatan Mandor, Kabupaten Pontianak (sekarang Kabupaten Landak-red). Terletak sekitar 89 km sebelah Timur Kota Pontianak, ibukota Provinsi Kalimantan Barat.
Kota kecil tersebut mempunyai arti penting dan mengandung kenangan yang dalam di hati sanubari setiap pendudukan Kalimantan Barat. Karena di kota itulah 33 tahun yang lalu, atau tepatnya tanggal 28 Juni 1944, tentara pendudukan Jepang dalam Perang Dunia II melakukan pembunuhan missal terhadap pemimpin politik, pemuka masyarakat serta kaum cerdik pandair dan raja-raja di Kalimantan Barat.
Kini di kota kecil itu telah berdiri dengan megah sebuah monument. Monumen sejarah bangsa yang akan selalui mengisahkan betapa kekejaman bangsa asing sipenjajah, tetapi sebaliknya monument itu menggambarkan betapa berani dan nekadnya perlawanan rakyat terhadap penjajahnya. Untuk pembangunan monument yang menjadi idaman rakyat Kalimantan Barat sejak lama itu, pmerintah daerah dengan persetujuan DPRD provinsi mengeluarkan anggaran belanja tahun 1977/1978 sebesar Rp48 juta. Untuk pembiayaan pintu gerbang, jalan, monument, plaza serta rumah petugas, pemugaran makam missal serta bangunan penyerta lainnya.
Peresmian monument Mandor dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat, Kadarusno, hari Selasa tanggal 28 Juni 1977 bersamaan dengan ziarah missal secara tradisional yang diikuti para ahli waris korban, pejabat pemerintahan serta masyarakat umum.

Kisah relief
Monumen Mandor dilengkapi dengan lukisan relief memanjang yang melukiskan kisah kejadian sebenarnya antara tahun 1942 hingga tahun 1945 di Kalimantan Barat. Bahagian pertama melukiskan kedatangan Angkatan Laut Jepang ke Kalimantan Barat seraya merampas harta milik penduduk terutama perhiasan emas dan berlian dan melakukan perkosaan terhadap kaum perempuan terutama gadis-gadis.
Karena tidak senang melihat tingkah laku tentara Jepang itu, maka pemuka masyarakat dan cerdik pandai bersama raja-raja mengadakan usaha perlawanan. Dimulai dengan rapat-rapat tersembunyi. Bahagian ketiga lukisan itu menggambarkan usaha perlawanan berhasil diketahui oleh pihak tentara Jepang yang dilanjutkan dengan penangkapan-penangkapan. Bahagian berikutnya menggambarkan pemeriksaan serta penyiksaan-penyiksaan dan pembunuhan. Klimak dari lukisan itu menggambarkan perlawana rakyat terhadap tentara Jepang di bawah pimpinan Panglima Pang suma, seorang Panglima adapt Dayak di Meliau, kabupaten Sanggau. Panglima Pang suma berhasil membunuh beberapa perwira Jepang. “Relief ini melukiskan bahwa cacingpun akan melawan bila terus-menerus diinjak-injak,” komentar seorang pengunjung pada hari pembukaan monument tersebut.
Dua versi
Mengenai jumlah korban yang terbunuh dan terkubur secara massal di Mandor itu sampai dewasa ini terdapat dua versi. Versi pertama bersumber dari orang-orang yang menyaksikan pelaksanaan hukuman mati terhadap Yamamoto, Komandan Kompeitai jepang di Kalimantan Barat tahun 1942-1945.
Yamamoto oleh Pengadilan Militer Sekutu dinyatakan bersalah sebagai penjahat perang. Ia dijatuhi hukuman mati di depan regu tembak di lapangan terbuka, yang menjadi lapangan sepak bola Khatulistiwa (saat ini markas Poltabes Pontianak).
Pasukan sekutu yang mengambil alih kekuasaan dari Jepang di Kalimantan Barat dipimpin oleh Jenderal Sir Thomas Albert Blamey GBE, KCB,CMG,DSO, ED; pemimpin tertinggi tentara Australia. Karena pelaksanaan hukuman mati itu berlangsung di tempat terbuka, maka masyarakat umum turut menyaksikannya. Di antara orang-orang yang menyaksikannya terdapat Sultan Hamid II, guru-guru dan murid-murid sekolah.
Menurut keterangan orang-orang yang menyaksikan saat Yamamoto akan ditembak mati, Pengadilan Sekutu memenuhi permintaan Yamamoto untuk mengemukakan sesuatu beberapa menit sebelum hukuman dilaksanakan. Bekas komandan Kompeitan itu mengemukakan, bahwa dia merasa ikhlas menerima hukuman itu, karena merasa seimbang dengan korban yang dibunuh atas tanggungjawabnya sejumlah 50.000 orang.
Mayat Yamamoto kemudian dikubur dekat komplek Kantor Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat sekarang (di Jl Sutan Syahrir, Kota Baru). Sekitar tahun 1971, seorang penggali parit menemukan mayat tersebut dalam keadaan sebagian masih utuh. Selanjutnya memindahkan kuburannya ke tempat lainnya. Menurut keterangan, mayat Yamamoto oleh pihak kedutaan Besar Jepang di Jakarta telah diangkut ke negerinya.
Versi ini kemungkinan benar, sebab berdasarkan pengakuan dari orang yang langsung bertanggungjawab atas pembunuhan itu, yaitu Yamamoto. Tetapi sebaliknya mungkin juga tidak benar, sebab Yamamoto mengucapkannya pada saat dia akan ditembak mati. Sehingga besrakemungkinan factor perasaannya sangat mempengaruhi, terutama sikap kepahlawanan terhadap negerinya, sehingga ingin menyatakan, bahwa kematiannya sendiri berbanding dengan kematian penduduk daerah itu sebanyak 50.000 orang.
Sedangkan versi lain bersumber dari keterangan Kiyotada Takahashi, seorang wartawan Jepang yang berkunjung ke Kalimantan Barat tanggal 21 sampai 24 Maret 1977. Dia datang bersama 20 orang temannya yang umumnya pernah bertugas di Kalimantan Barat tahun 1942-1945.
Dia menjelaskan jumlah korban ketika Jepang menduduki Kalimantan Barat seluruhnya 21.037 orang. Dokumen mengenai itu telah diserahkannya kepada sebuah museum di Jepang.
Untuk menemukan angka yang pasti mengenai jumlah korban tersebut, Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat dewasa ini mempersiapkan sebuah tim. Kemungkinan tim tersebut akan dikirim ke Jepang mengunjungi museum yang disebutkan oleh Kiyotada Takahashi itu.
Komplotan besar
Surat kabar “Borneo sinbun” yang terbit Sabtoe 1 sitigatu 2604 menurunkan berita utama berjudul “Komplotan Besar yang mendoerhaka oentoek melawan Nippon soedah dibongkar sampai ke akar-akarnya”. Kepala-kepala komplotan serta lain-lainnya ditembak mati. Keamanan di Borneo-Barat tenang kembali dengan sempoerna. (Pengoemoeman Pasoekan di daerah ini pada tanggal 1 sitigatu 19 Syowa).
Surat kabar yang terbit tiap Selasa, Kamis, dan Sabtu itu dipimpin oleh R. Koakimoto, kini merupakan sumber yang paling penting sebagai bahan penelitian kejadian tahun 1942-1945.
Pada halaman depan yang memuat berita utama itu, dimuat foto beberapa pemimpin yang disebutkannya sebagai komplotan besar melawan Jepang. Antara lain Foto Pangeran Adipati (pewaris kesultanan Pontianak), Panangian, J.E Pattiasina, Noto Sudjono, C.W Octavianus Lucas, Raden Nalaprana, Ong Tjoe ie, Ng Ngiap Soen, Kai Liang Kie dan Ny. Amaliah Rubini (istri Dr Rubini).
Penangkapan pertama berlangsung tanggal 23 Zyugatu 1943 dan kedua tanggal 24 Irigatu 1944. Kedua kali penangkapan itu berlangsung waktu subuh. Mereka yang ditangkap itu langsung disungkup kepalanya dengan selipi (kantong yang dibuat dari daun nipah atau daun pandan). Sebagian dibunuh di Pontianak tetapi sebagian besar di Mandor, Kabupaten Pontianak (sekarang Kabupaten Landak).
Di antara korban terdapat Sultan Pontianak bersama 60 orang keluarganya, 11 orang panembahan (raja) dari kerajaan-kerajaan kecl di seluruh Kalimantan Barat, lima orang dokter, pemimpin politik serta pemuka masyarakat.
Dokter Rubini dan istrinya, Ny. Amaliah Rubini termasuk korban yang dibawa ke Mandor. Beliau adalah mertua Mayjen Wiyogo, Gubernur AKABRI udara di Magelang sekarang (1977). Seorang korban lainnya adalah paman dari Sunardi DM, Sekjen PWI Pusat sekarang (1977).
Menurut Borneo sinbun, pemimpin pergerakan itu 48 orang. (Daftar nama sama seperti yang selalu dipublikasikan media massa saat ini).
Nissinkai
Ketika Balatentara Dai Nippon memasuki Kalimanta Barat, di daerah itu telah berdiri 13 perkumpulan yang cukup berpengaruh. Pemimpin militer Jepang memerintahkan organisasi tersebut dibubarkan dna dilarang. Ketiga belas organisasi tadi dikatakan di bawah pengaruh Parindra.
Perintah pemimpin militer tersebut menimbulkan kegelisahan dalam mayarakat. Dalam pada itu muncullah kelompok lain yang menawarkan persatuan, untuk menjaga kerukunan dan menghilangkan perselisihan antarbekas anggota ke 13 organisasi tadi. Borneo sinbun tidak mengungkapkan lebih lanjut ketiga belas organisasi yang dimaksudkan itu. Tetapi mengatakan kemudian muncullah sebuah organisasi baru yang berpura-pura memihak. Organisasi itu diberi nama “Nissinkai” yang pembentukannya diusahakan oleh Pangeran Agung, Sekretaris Sultan Pontianak. Dr Rubini, Ng Ngiap Soen, Pattiasina. Mereka memilih Noto Soedjono sebagai pemimpinnya. Maksud organisasi itu tetap yakti melawan Jepang. Mereka melalui operator radio sering mengikuti siaran radio Amerika dan Inggris.
Pada perkembangan berikutnya dalam “Nissinkai” bergabung pula pewaris Kesultanan Pontianak Pengeran Adipati dan para panembahan seluruh Kalimantan Barat, kaum cerdik pandai dan pemuka masyarakat.

Hubungan dengan Banjarmasin
Besar kemungkinan gerakan “Nissinkai” di Kalimantan Barat yang berpusat di Pontianak itu mempunyai hubungan dengan gerakan yang ada di Kalimantan Selatan yang berpusat di Banjarmasin. Hal itu ditandai oleh datangnya utusan Banjarmasin ke Pontianak dalam tahun 1944. Utusan itu terdiri dari Dr Susilo dan Makaliwe. Mengenai Makaliwe ini pun tidak jelas. Ada keterangan yang mengatakan beliau adalah dr Makaliwe yang namanya diabadikan dengan nama jalan di daerah Grogol, Jakarta.
Setibanya di Pontianak, kedua utusan Banjarmasin itu mendapat keterangan, bahwa di Banjarmasin telah terjadi penangkapan-penangkapan oleh Jepang. Berita itu disampaikan kepada pimpinan “Nissinkai”. Organisasi ini kemudian segera membentuk pasukan yang diberi nama Pasukan Suka Rela atau pasukan Penyerbuan Bersenjata. Mereka merencanakan penyerbuan ke markas Keibitai, merebut senjata dan melancarkan gerakan serentak di seluruh Kalimantan Barat pada permulaan Zyunigatu tahun 18 Syowa, sebagai hasil rapat di gedung “Medan Sepakat”, (sekarang Jl Jendral Urip, gedung PPM) Pontianak dua hari sebelumnya yang dihadiri 69 orang. Tetapi saying, sebelum gerakan dilancarkan, mereka telah ditangkap oleh dinas rahasia Jepang. Mereka semuanya, termasuk kedua orang utusan dari Banjarmasin tersebut diangkut oleh Kompeitai dan dibunuh tanggal 28 Juni 1944.

Mengabadikan semangat perjuangan
Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat Kadarusno yang memimpin pemugaran makam-makam pahlawan di daerha itu, ketika meresmikan monument perjuangan Mandor, mengatakan usaha ini bukanlah berarti memuja makam-makam atau menanamkan dan mengabadikan rasa dendam terhadap bangsa Jepang, tetapi usaha ini bermaksud mengabadikan sejarah perjuangan bangsa yang mengandung patriotisme dan semangat kepahlawanan serta mengabadikan pengorbanan yang pernha diberikan oleh pejuang-penjuang itu.
Mandor kini tidak lagi dianggap sebagai tempat angker, tetapi sebaliknya merupakan salah satu tempat atau obyek pariwisata. Turis dari dalam dan luar negeri semakin sering berkunjung ke sana, termasuk turis dari Jepang. Monumen perjuangan Mandor kiri berperanan pula menilai keadaan dimasa yang lalu dan menjadi pula monument pangkal tolak hubungan baru antara rakyat Indonesia di Kalimantan Barat dengan rakyat Jepang yang juga mengalami kesangsaraan semasa Perang Dunia II yang amat dahsyat itu.
(tulisan pernah dimuat pada rubric Spektrum/Karangan Khas pada 26 Juli 1977: di Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA. Penulis dahulu merupakan wartawan yang juga Kepala LKBN ANTARA Biro Pontianak).
Foto: By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune
Read More....

Peristiwa Mandor Rampas Sebagian Besar Kehidupan Istri dan Anak Korban


Setelah melakukan ziarah di kompleks Makam Juang Mandor, kami buru buru pulang karena Nur Iskandar dan Tanto Yakobus (Borneo Tribune) serta rekan rekan dari MTA TV Internasional mempunyai janji untuk melakukan wawancara dengan Bapak Ilham Sanusi dan Bapak Soewito Limin yang sudah lebih dulu meluncur pulang dari kompleks Makam Juang Mandor ini dan menunggu di Sungai Pinyuh.

Rombongan pamit Bapak Samad sang juru kunci sambil menanti yang Nur Iskandar minta di doakan agar perjuangan yang di lakukannya bersama rekan rekan pers lainnya untuk mengangkat Peristiwa Mandor ini berhasil sehingga kelak bisa di alokasikan dana dari APBN untuk perawatann Kompleks Makam juang Mandor ini, saya berusaha menjelaskan dengan singkat bagaimana menanam bibit bunga bangkai yang sengaja saya bawakan dari Pontianak untuk menambah koleksi tanaman langka milik Pak Samad, sengaja saya bawakan pada tanggal 28 Juni ini agar kelak mudah di ingat berapa usia tanaman ini kalau kelak berbunga.

Perjalanan pulang di lakukan dengan kecepatan yang cukup tinggi namun masih dalam batas aman dan jauh dari ugal ugalan, prinsip saya kalau menyetir mobil adalah jika bisa melaju dengan cepat tidak ada salahnya asal jangan nekad dan tanpa perhitungan, bisa fatal akibatnya, lagipula saya juga mesti ekstra hati hati karena yang saya bawa di dalam mobil ini adalah insan insan pers yang masih muda yang energik serta concern dengan kemajuan Bangsa yang menurut hemat saya mereka mempunyai potensi yang besar untuk memajukan Kalbar.

Sebenarnya saya ingin menunjukkan banyak hal lain selain Makam Juang Mandor ini kepada rekan dari MTA TV Internasional (TV Muslim London yang hasil liputannya menjangkau 22 negara) antara lain koleksi kantong semar dan anggrek alam yang terawat dengan sangat baik oleh Pak Samad juru kunci Makam Mandor, selain itu juga di jalan Galang saya sangat tergoda untuk berhenti sejenak untuk menikmati segarnya buah nenas yang di jaja kan sepanjang jalan Galang, ini salah satu daya tarik bagi orang yang baru melewati jalan Galang, penjualnya sudah siap dengan pisau untuk mengupaskan nenas yang berdaging kuning keemasan, rasanya manis khas nenas pasti sangat mengiurkan, apalagi jika di bubuhi garam yang juga sudah di siapkan oleh penjual nenas, namun semua keinginan saya tahan demi suksesnya wawancara dengan narasumber di atas yang merupakan anak dari korban pembantaian di Mandor, dalam skala perioritas tentulah wawancara ini lebih penting, sepanjang jalan saya dengan penuh semangat menceritakan enaknya buah durian di daerah Anjungan jika musim buah durian tiba, maksudnya supaya kru dari MTA TV ini mau kembali lagi ke Kalimantan Barat pada saat musim durian di bulan Agustus nanti.

Akhirnya kami sampai di warung Mak Etek di sungai Pinyuh untuk berjumpa dengan Bapak Ilham Sanusi dan Bapak Soewito Limin.

Wawancarapun di lakukan rekan dari Borneo Tribune dan MTA TV sementara saya menyimak kata kata yang meluncur dari mulut Bapak Ilham Sanusi dan Bapak Soewito Limin sambil mengamati air muka keduanya dan sesekali mengambil foto dengan kamera digital.

Bapak Ilham Sanusi dengan lantang mengatakan bahwa saya tidak sependapat dengan kata Gubernur dalam Pidatonya yang menyatakan bahwa jangan ada dendam dalam peringatan ini, siapa yang tidak dendam jika Ayah kita di tangkap dan di bunuh tanpa kesalahan yang jelas, jelas ini suatu kejadian yang menyakitkan dan menimbulkan dendam, Bapak Ilham Sanusi mengatakan bahkan sampai saat inipun saya tidak mau pakai produk buatan Jepang, semua mobil saya buatan eropa, ungkapnya dengan mimik serius.

Bapak Soewito Limin menuturkan bahwa beliau masih ingat benar bahwa malam sebelum ayahnya di tangkap Jepang, beliau masih balita saat itu, baru belajar bicara dan pada malam itu baru pertama kali bisa memanggil Papa .... Papa ... itu kata-kata yang baru bisa diucapkannya malam itu yang pasti membuat seluruh anggota keluarga terbawa dalam keceriaan karena seorang anak mulai bisa bicara dan memanggil Ayahnya, Saya baru malam itu bisa memanggil Papa .. Papa ... kemudian besoknya Ayah saya sudah di tangkap Jepang dan hilang sejak hari itu sampai kini ... kata katanya terhenti karena seluruh tengorokannya kaku menahan tangis akibat kesedihan yang mengumpal yang tersimpan dalam dada seorang anak yang merindukan ayahnya, kesedihan dan kerinduan seorang anak yang tersimpan hampir 60 tahun ini meledak juga akhirnya, tanpa suara bulir bulir air mata mengalir keluar, suaranya yang mendadak parau menandakan pergulatan batin di dalam hatinya, kenangan manis di masa lalu, kerinduan yang tidak pernah terjawab, pencarian seorang anak untuk menemukan kembali sesosok figur ayang yang terenggut begitu saja dari kehidupannya.

Saya sendiri sulit untuk bisa ceria dan tidak meneteskan air mata dalam suasana seperti ini ..

saya sendiri sangat memahami bagaimana rasa bangga dan bahagia itu timbul sebagai seorang ayah ketika putra pertamaku, Chrisdion Simanjaya (7 tahun) belajar bicara dan kata pertama yang bisa di ucapkan adalah Papa ...

Bagi anak anak yang kehilangan seorang ayah yang juga berarti kehilangan satu masa manis yang seharusnya di alami oleh seorang anak yang memiliki orang tua yang lengkap
adalah suatu kejadian yang sangat menyakiti hati dan sepanjang kehidupan anak para korban Jepang sampai kini, siapa yang tidak dendam jika seorang Ayah dalam kehidupan kita di rengutkan begitu saja tanpa ada penjelasan dan sebab, apalagi kelak di ketahui ternyata sang Ayah mengalami perlakuan yang tidak manusiawi hingga di kuburkan tanpa nisan di Mandor, ini kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan terhadap seorang anak yang membutuhkan Ayah dalam hidupnya.

Singkat kata dari 21.000 orang lebih pemimpin, tokoh masyarakat, kaum cerdik pandai, pengusaha, guru, kepala desa, kepala adat yang pada saat itu merupakan lokomotif kemajuan di Kalimantan Barat yang di bunuh atau menjadi korban kejahatan Perang yang di lakukan oleh Pasukan Jepang, kekejaman pasukan Jepang yang berusaha memusnahkan satu generasi terbaik Kalimantan Barat secara langsung berakibat pada hancurnya hati, harapan, cita cita dan kehidupan para istri dan anak anak para korban, mereka dipaksa kehilangan masa depan,kehilangan nafkah lahir batin, kehilangan bagian terpenting dari kehidupan seorang anak yaitu memiliki seorang AYAH !

Salam hangat,
Andreas Acui Simanjaya.


Foto: Andreas Acui Simanjaya (tengah) dan Nur Iskandar tengah wawancara Legium Veteran
Read More....

Thursday, June 28, 2007

Perjalanan ke Makam Juang Mandor 28 Juni 2007


Saya beruntung berteman dengan para jurnalis senior yang semuanya masih berusia muda namun punya idealisme yang di barengi dengan kemampuan untuk menambah wawasannya setiap saat.

Sudah menjadi agenda tetap saya untuk mengunjungi Kompleks Makam Juang Mandor pada saat ada upacara resmi untuk memperingati peristiwa Mandor yang memakan korban lebih dari 21.000 SDM terbaik Kalbar pada masa itu, diluar jadwal tetap ini sebenarnya hampir setiap bulan minimal 1 kali saya mengunjungi Kompleks Makam Juang Mandor ini antara lain karena hobby saya yang sama dengan Bapak Samad (Juru Kunci Makam Mandor) yaitu mengenai Anggrek spesies, kantong semar dan ekplorasi plasma nuftah lainnya yang menjadi kekayaan alam Kalimantan Barat. Alasan lain adalah mengantarkan tamu yang ingin tahu tentang Kalimantan Barat, hal lainnya lagi adalah membawa anak anak saya untuk menambah wawasan tentang Makam Juang mandor maupun tentang anggrek dan kantong semar.

Kali ini Rombongan kami terdiri dari :

1. Andreas Acui Simanjaya (penulis).
2. Nur Iskandar (Borneo Tribune)
3. Tanto Yakobus (Borneo Tribune)
4. Munawar (London Muslim TV)
5. Gumai (London Muslin TV)

Kebetulan pada hari ini (28/6/07) kami mempunyai tujuan yang sama untuk mengunjungi Makam Juang Mandor yang terletak di Kecamatan Mandor Kabupaten Landak, kunjungan ini penting buat kami karena beberapa alasan antara lain :
1. ada nilai dan hubungan historis antara upacara yang di adakan hari ini dengan sebagian perjuangan yang kami lakukan bersama sama untuk mengangkat eksistensi dan aktualitas seputar peristiwa Mandor agar dapat di akui sebagai dari sejarah perjuangan Rakyat Kalbar.
2. ingin tahu bagaimana antusias masyarakat untuk hadir dan apa yang terjadi dibandingkan dengan tahun tahun yang lalu sebelum kami secara bersama melalui pers secara konsisten mengangkat issue Peristiwa Mandor dan Makam Juang Mandor ini.
3. Untuk mengetahui apa langkah lanjutan yang harus kami lakukan ke depannya untuk mempertajam visi dan fokus dalam memposisikan peristiwa Mandor dan Makam Juang Mandor ini.
4. Liputan jurnalistik untuk keperluan rekan rekan yang kebetulan profesinya adalah wartawan Borneo Tribune dan London Muslim TV.
5. mengali ide ide dan wawasan baru dengan diskusi yang terjadi sepanjang perjalanan pergi dan pulang.

Hasilnya banyak sekali yang kami dapatkan dari perjalanan ini, terutama ikatan silahturahmi yang terjalin semakin erat dan berkembangnya wawasan masing masing karena diskusi yang berkembang, selain itu juga ada banyak kejadian tak terduga yang sudah pasti akan menjadi kenangan dan kesimpulan tentang peristiwa Mandor dan kaitannya dengan fakta aktual yang terjadi pada saat ini, dan yang paling penting adalah apa langkah selanjutnya karena perjuangan untuk ini belum selesai.
Cerita mengenai perjalanan ini akan saya kirimkan dalam beberapa bagian tulisan, semoga bisa memberikan manfaat dan semakin memperjelas eksistensi MakamJuang Mandor dan segala aspeknya.

Salam Hangat

Ir. Andreas Acui Simanjaya
Foto: Tanto Yakobus (Andreas Acui Simanjaya dua dari kanan)
Read More....

Kisah Mandor Dapat Diakses Dunia Internasional


Tanto Yakobus
Borneo Tribune, Pontianak

Andreas Acui Simanjaya terheran-heran ketika mengakses internet dan membuka situs http://www.peristiwamandor44.blogspot.com/. “Padahal baru siang tadi kita di Mandor, berita dan fotonya sudah ada di internet,” kata Acui lewat SMS tadi malam.
Memang dalam perjalanan pulang dari ziarah sekaligus peringatan hari berkabung daerah di Mandor, muncul ide dari Nur Iskandar, Pemred Borneo Tribune—ingin mengabadikan peristiwa Mandor di dunia maya. Sambil menuju mobil dia bisik-bisik dengan saya, “Bisa ndak kita masukkan peristiwa hari ini dan tulisan-tulisan sebelumnya tentang Mandor ke blogspot?”
“Bisa sekali,”
“Kalau begitu, nanti sepulang dari Mandor Tanto buatkan blogspotnya. Kita arsip semua tulisan baik internal kita maupun para peneliti dan penulis luar tentang Mandor,” kata Nuris lagi.
Saya pun mengiyakan. Pulang dari Mandor kira-kira pukul 10.30. WIB, menempuh perjalanan dan singah-singah di jalan, sekitar pukul 13.45 tiba di rumah bang Acui di Pontianak.
Dan saya sampai di rumah sekitar pukul 14.20. Setelah cukup istirahat, sekitar pukul 15 saya berangkat ke kantor. Rehat sejenak, saya mulai membuka komputer. Hanya butuh waktu 15 menit saya menyelesaikan account di blogspot. Setelah jadi, saya mulai posting berita dan foto hari berkabung di Mandor. Pukul 18.00, blogspot sudah bisa diakses.
Kembali ke cerita ziarah ke Mandor, sepanjang perjalanan, menuju Kota Pontianak, saya, Nur Iskandar, Andreas Acui Simanjaya dan dua tamu dari MTA TV Internasional, Munawar dan Gumai membicarakan blogspot tersebut.
“Bila blogspot itu betul-betul dikelola dengan baik, ia akan menjadi referensi bagi para peneliti maupun keluarga korban kekejaman Jepang di Mandor yang kini sudah tersebar di mana-mana,” kata Acui.
Acui tambah semangat bercerita, maklum jerih payahnya bersama rekan-rekan pers memperjuangkan peristiwa Mandor, mulai dari memperbaiki kondisi makam, mengiring ke Perda, menjadikan Perda hingga ditetapkannya tanggal 28 Juni sebagai hari berkabung daerah (HBD).
“Dipilihnya tanggal 28 Juni, sesuai dengan publikasi yang pernah dilakukan koran Jepang, Borneo Shinbun, bahwa puncak pembantaian satu generasi di Kalbar ini terjadi pada tanggal 28 Juni 1942-1945,” jelas Acui yang merujuk pada koran Borneo Shinbun.
Rasa puas juga diungkapkan oleh Kadis Pendidikan Nasional Provinsi Kalbar, Drs H Ngatman. Menurutnya, peristiwa Mandor sudah selayaknya masuk kurikulum sekolah, apalagi Blogspot.“Saya akan mengajak para peneliti dan penulis bagaimana supaya peristiwa Mandor ini masuk dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), jadi bukan masuk di muatan lokal lagi, tapi masuk kurikulum nasional,” katanya di sela-sela peringatan hari berkabung daerah di Mandor, pagi kemarin. Ngatman mengapresiasi sekali upaya Borneo Tribune membangun blogspot Mandor sehingga dapat diakses siapa saja di mancanegara.


Foto: Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune

Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune, tanggal 29 Juni 2007
Read More....

Bantu Pendidikan Anak Cucu Korban Agresi Jepang


Hairul Mikrad
Borneo Tribune, Pontianak


Ditetapkannya 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) disertai menaikkan bendera setengah tiang dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) disambut baik kalangan Kesultanan Pontianak. Anak-cucu korban keganasan Dai Nippon Jepang juga perlu mendapatkan perhatian serius.

Peristiwa tahun 1944 lalu masih terkenang di pikiran Pangeran Bendahara Kesultanan Pontianak, Syarif Joesoef Alkadrie. Saat itu dirinya baru berusia 6 tahun. Pagi yang cerah seusai salat subuh berubah ketakutan.
Kerabat Keraton Kesultanan Pontianak, baik anak-anak, orangtua, pria wanita dikumpulkan tentara Jepang di depan Keraton Kadriah. Laki-laki cendekia dibariskan di tiang besar. Tentara Jepang dengan beringas masuk ke Keraton menjemput Sultan Muhammad Alkadrie.
Sultan kala itu sudah berusia 75 tahun dan masih berdiri tegap. “Waktu itu Jepang masuk ke dalam Keraton mengambil Sultan. Jepang mau menyungkup kepala Sultan tetapi Sultan menolak dengan tetap berjalan menuju lapangan keraton sambil memutar-mutar sarung dengan dua belah tangannya dan saat itu Sultan mengucapkan kata ‘Assalam’,” kenangnya.
Menurut Pangeran Bendahara ini, seluruh lelaki dewasa diangkut Jepang dengan perahu menyusuri Sungai Kapuas ke depan Makorem. “Anak Sultan Pangeran Mas Perdana Putra berhasil kabur ke Sungai Ambawang. Namun sekitar dua minggu beliau menyerahkan diri karena dijanjikan Jepang, bila menyerah ayahnya-Sultan Muhamad- akan dibebaskan. Tetapi itu tinggalkan janji saja dan itu taktik Jepang menangkap Pangeran Mas,” ucap Syarif Joesoef
Kenangan itu masih terpatri di ingatan Syarif Joesoef dan beliau sangat berterimakasih Pemprov dan DPRD Kalbar memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap tragedi pembunuhan massal itu.
“Ditetapkannya Perda Hari Berkabung Daerah ini, saya sebagai anak korban kebengisan Jepang sangat berterimakasih. Perda yang diikuti dengan menaikkan bendera setengah tiang merupakan bentuk nyata dari eksekutif dan legislatif,” ucapnya.
Dengannya Perda tersebut, kata Syarif Joesoef berarti dirubahnya penyebutan ‘makam juang’ menjadi ‘makam pahlawan’. “Kita harapkan pemerintah Jepang meminta maaf kepada anak cucu korban keganasan mereka dan memberikan perhatian. Bantuan itu seperti pendidikan. Di Untan-kan ada Fakultas Kedokteran barangkali Jepang bisa bantu peralatan dan tenaga ahli. Ini lebih penting untuk generasi muda untuk membangun Kalbar,” ucapnya.
Selain itu juga, kata Ketua Umum Majelis Musyawarag Istana Kadriah ini, ada wacana pemerintah Jepang meminta maaf kepada masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Kalbar. Kedua, bendera setengah tiang ini akan mengingatkan generasi penerus ada kejadian sejarah keganasan Jepang yang menghabiskan satu generasi cerdik-cendikia di Kalbar. “Ini saran saya bagaimana jalan yang menuju jembatan Kapuas II diberi nama 28 Juni,” sarannya.
Sultan Keraton Kadriah Pontianak, Syarif Abu Bakar Alkadrie menyatakan menyambut baik dengan ditetapkannya 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah dan dinaikkannya bendera setengah tiang untuk memperingati keganasan agresi Jepang. “Kami dari Keraton Kadriah Pontianak sangat mendukung dengan ditetapkannya Hari Berkabung Daerah ini,” ucap Sultan ketika ditemui disela-sela melihat stand pada Indonesian Product Expo.Sultan menyarankan agar para pejuang, cendekia yang menjadi korban keganasan Jepang. “Kita sarankan agar para pejuang diangkat menjadi pahlawan nasional serta anak cucu korban agresi Jepang tersebut itu diberi bantuan pendidikan sehingga mereka bisa mendapatkan pendidikan layak dan tinggi,” saran Sultan.


Foto: Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune

Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune, tanggal 28 Juni 2007
Read More....

Ziarah ke Makam Juang Mandor (bagian 6)


Ir.H. Said Djafar
Putra H.Djafar H.Rasyid salah seorang korban pembunuhan fasisme Jepang
Kembali masyarakat Kalbar khususnya keluarga korban fasisme Jepang berserta pejabat pemda setiap tanggal 28 Juni berkunjung ke Mandor dalam rangka berziarah ke tempat terkuburnya para tokoh masyarakat, kaum bangsawan, para sultan dan raja serta para cerdik cendikiawan di Kalbar yang jumlahnya sekitar 21.037 orang dibunuh dengan sadis dari target jumlah 50.000 orang.
Satu generasi intelektual yang hilang menyebabkan Kalbar tertinggal dalam kencah revolusi kemerdekaan dan pembangunan. Rencana target 50.000 orang yang akan dihabisi untuk menjadikan Kalbar sesuai dengan doktrin Jenderal Hideko Toyo untuk men—Jepang—kan generasi mudanya agar tunduk dan patuh di bawah bendera matahari terbit dengan kekuasaan Kaisar Sang Mahaputra Matahari seperti yang dilaksanakanya di Korea di mana penduduk di atas umur 12 tahun dibunuh.
Sekiranya kerakusan dan kebiadaban itu terjadi kitapun tak tahu sejarah perjalanan Kalbar sampai sekarang ini apakah akan lebih baik atau lebih buruk dari sekarang yang dirasakan.Yang jelas kiranya tidak terjadi pembunuhan yang biadap atas para intelektual itu dengan istilah populernya sekarang pelanggaran HAM berat tentu Kalbar akan jauh lebih maju dari sekarang.
Yang menyedihkan sekarang peristiwa yang biadab itu tak banyak masyarakat Indonesia yang tahu termasuk para pejabatnya. Menteri HAM Bapak Asbalah M Saad ketika berkunjung di Kalbar dalam kapasitasnya sebagai menteri pada pertemuan di Kantor Gubernur ketika saya menanyakan apakah kasus yang tak berperikemanusiaan itu termasuk pelanggaran HAM berat atau bukan dan sampai sekarang Pemerintah Jepang tidak pernah minta maaf, Beliau terkaget-kaget mendengar tentang peristiwa pembunuhan yang biadab itu yang selama ini belum pernah diketahuinya serta minta dilengkapi data-datanya dan diantarkan ke Jakarta untuk dipelajari dan dibahas.
Alhamdulilah sampai sekarang permintaan itu tak pernah digubris oleh Pemda sebagai pengayom masyarakat. Kita harapkan perlu ada perjuangan memperjuangkan hak-hak Kalbar yang harus diterima tentunya bukan sebagai pengganti nyawa tapi agar pengorbanan mereka masih ada yang ditinggalkan untuk kepentingan pembangunan Kalbar seperti membangun rumah sakit, pendidikan, infrastruktur pertanian dan lainnya. Kalbar hanya pernah mendengar adanya penggantian berupa pampasan perang oleh Pemerintah Jepang pada Pemerintah Indonesia yang diutarakan dalam sebuah buku yang ditulis ibu Ratna Dewi Soekarno yang diperkuat Menteri Luar Negeri pada waktu itu Mr.Achmad Subardjo Djoyo Adisurjo, tapi sebagai utusan Pemerintah Indonesia dalam perundingan mengenai pampasan perang dengan Jepang dari tabel perundingan Kalbar justru tidak termasuk karena tidak ada tuntutan rakyat Kalbar.
Jadi suatu bukti peristiwa yang tragis yang menimpa Kalbar jangankan orang Pusat di Jakarta yang tidak atau pura-pura tidak tahu, bahkan Pemerintah Daerah Kalbar-pun seakan-akan tidak tahu akan kejadian tersebut karena tidak memperjuangkannya yang ada hanyalah rakyat khususnya pewaris para korban yang menerima deritanya.
Masih beruntung Kalbar pernah punya Gubernur yang bernama Kadarusno yang telah memugar makam Mandor tahun 1976 dan menetapkan tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD). Bendera saat itu sudah dipasang setengah tiang. Upacara khusus berikut ziarah dilakukan ke makam JOANG MANDOR melalui persetujuan DPRD serta Gubernur Bp. Soedjiman yang telah memberikan piagam penghargaan yang disampaikan pada ahli waris.Memperingati detik-detik apel ziarah kali ini kita menjadi renungan mudah-mudahan Gubernur yang akan datang yang terpilih punya perhatian dan memperjuangkan hak-hak Kalbar berupa pampasan perang yang pernah diterima Indonesia dari Jepang serta permintaan maaf Pemerintah Jepang pada rakyat Kalbar. Ini menindaklanjuti telah diterbitkannya Perda HBD itu sendiri. Semoga para arwah korban diterima di sisi-Nya. Amien! (Penulis adalah Mantan Kadis PU Kalbar—kini menetap di Jakarta).

Foto: By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune

Read More....

Pasang Bendera Setengah Tiang (bagian 5)

Nur Iskandar
Borneo Tribune, Pontianak

Rekomendasi seminar nasional Mandor yang “jatuh” ke DPRD Kalbar tahun 2005 direspon positif Ketua Dewan Kalbar, Ir H Zulfadhli. Sosok muda-energik yang juga jadi pembicara di even seminar nasional menyoal Mandor di Rektorat Untan tersebut mendukung ditetapkannya tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD). Tak hanya HBD, juga masyarakat maupun lembaga diimbaunya memasang bendera setengah tiang.
Pemasangan bendera setengah tiang adalah pertanda negara turut berduka atas gugurnya bunga kusuma bangsa. 21.037 jiwa korban Dai Nippon Jepang bukanlah angka yang kecil. Terlebih para korban mempunyai sanak keluarga yang juga butuh penghormatan dan penghargaan atas duka-cita sanak sedulur mereka yang terus mereka rasakan selama ini.
Pangdam VI Tanjungpura juga menyetujui HBD dan pemasangan bendera setengah tiang seperti disampaikannya secara langsung kepada Danrem 121 ABW yang ketika itu dijabat Kol Inf Wisnu Bawatenaya. Di hadapan para keluarga korban Jepang yang beraudiensi kepadanya antara lain Dr Mardan Adijaya, Drs Gusti Suryansyah, M.Si dan sejumlah pejabat Pemprov Kalbar, Pangdam mengizinkan bagi warga memasang bendera setengah tiang. “Unsur edukasi atas nilai sejarah tersebut sangat besar,” ungkap Bawatenaya mengutip Pangdam ketika itu. Danrem yang tutur katanya halus dan lembut itu pun mengupas panjang lebar soal idiologi Pancasila, harmonis dalam etnis, Bhinneka Tunggal Ika serta nilai-nilai historis setiap daerah perlu dihidup-suburkan di era baru ini.
Danrem memberikan contoh dengan memasang bendera setengah tiang pada 28 Juni. Pemasangan bendera setengah tiang adalah bukti pengakuan adanya perjuangan di Kalbar saat melawan Jepang.
28 Juni itu sendiri adalah hari di mana Gubernur Kalbar, Kadarusno menetapkan Hari Berkabung Daerah itu buat pertama-kali sesuai isi pidatonya ketika melihat tulang-belulang yang berserakan ditemukan di lubang-lubang penanaman massal di Mandor.
Menurut jurnalis senior di Kalbar, HA Halim Ramli dia sendiri melihat secara langsung penyusunan kembali tulang belulang di Mandor kala itu. “Saya melihat dan meliput saat itu. Kliping tulisan saya masih lengkap,” ujar Halim yang juga tampil sebagai pembicara dalam seminar Mandor di Untan tahun 2005.
Soal pemasangan bendera setengah tiang di tahun 2006 memang masih direspon sekolah atau lembaga pemerintah sedikit kendati Gubernur Usman Ja’far sudah menyebarkan surat seruan. Sejumlah instansi selain Korem dan Kantor Walikota Pontianak yang memasang bendera setengah tiang juga rumah dinas Gubernur, Kantor Gubernur dan Polda Kalbar. “Kami orang kecil juga pasang bendera setengah tiang. Kakek saya juga dibunuh Jepang,” kata Hermanto warga Tionghoa yang rumahnya di Jalan Nusa Indah. Di tahun 2007 kali ini mestinya imbauan pemasangan bendera setengah tiang sudah digembar-gemborkan. Siap sejak dini jauh lebih baik daripada lagi-lagi dadakan.

Foto: By AA Mering
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 26 Juni 2007
Read More....

Wujudkan “Makam Pahlawan” Mandor (bagian 4)


Nur Iskandar
Borneo Tribune, Pontianak

30 Juli 2005 satu team berangkat ke Makam Juang Mandor. Tujuan keberangkatan untuk mengecek sekali lagi kondisi sebenarnya daerah “paling” bersejarah tersebut dalam “genocida” di Kalbar.
Genocida atau pembunuhan besar-besaran yang dilakukan Dai Nippon Jepang itu dalam kurun waktu 1942-1945. Jumlah korban ada beberapa pendapat, namun yang umum dipakai adalah 21.037 jiwa.
Mereka yang berangkat ketika itu adalah mereka yang punya kepedulian secara akademis maupun pers seperti Turiman dan istri, Andreas Acui Simanjaya, Andi Muzammil (kini almarhum), Stefanus Akim, Asriyadi Alexander Mering dan Leo Prima. Selain mendokumentasikan gambar-gambar terbaru, juga dibuatkan film dokumenternya. Film dokumenter itu masih terarsip hingga sekarang sebagai bagian dari rangkaian sejarah dulu dan sekarang.
Hasil dari ekspedisi sederhana itu sudah dipresentasikan dalam berbagai diskusi di berbagai kelompok masyarakat Kota Pontianak pada khususnya dan Kalbar pada umumnya sehingga akhirnya tampil dalam seminar nasional Agustus 2005 melalui kegiatan HUT RI bersama Pemprov Kalbar.
Demi melihat satu makam yang nyaris tergerus penambangan emas tanpa izin di kawasan Mandor, peserta seminar nasional terhenyak. Secara psikologis peserta koor setuju agar Makam Juang Mandor diberikan perhatian ekstra serius. Salah satu cara yang strategis adalah meningkatkan status “makam juang” menjadi Makam Pahlawan.
Ide tersebut bukan tak masuk akal. Pertama, para tokoh yang tewas adalah pejuang-pejuang bangsa. Betapa tidak diragukan kejuangan Raja Pontianak, Sultan Muhammad, Pangeran Agung, Ade Muhammad Ari (Panembahan Sanggau, Syarief Umar Alqadrie (Demang Siantan dan Sungai Kakap, Raden Abdul Bahry Daru Perdana (Panembahan Sintang), Gusti Abdul Hamid (Panembahan Ngabang), Muhammad Taufik (Pangeran Mempawah), Sawon Wongso Atmodjo (Kepala Jaksa Pontianak), dan lain-lain yang tentu saja tidak cukup dituliskan satu per satu melainkan hanya cukup dalam bentuk buku ensiklopedi para korban Mandor.
Tokoh pers Kalbar yang juga budayawan, HA Halim Ramli ketika menjadi pembicara dalam seminar nasional dua tahun lalu itu bahkan menyatakan bahwa di Petikah, Kabupaten Kapuas Hulu juga ada perjuangan dalam melawan praktik romusha yang dilakukan Jepang. Hanya saja perjuangan di Petikah Kabupaten Kapuas Hulu itu tak tercatat oleh sejarah nasional. Boro-boro bisa masuk kurikulum pendidikan nasional sehingga aklamasi nasional perlunya Makam Pahlawan di Mandor. Oleh karena itu bagi kita semua patut memperjuangkan Mandor dalam segala aspeknya menjadi Makam Pahlawan karena kita bisa membuktikannya. Dengan peningkatan status dari taman makam juang ke Taman Makam Pahlawan praktis alokasi dana Pusat untuk perawatan makam pun akan meningkat-tidak semata-mata ke Kabupaten Landak atau Pemprov Kalbar. Dengan demikian aspek positif “wisata” sejarah dengan segala manfaatnya bagi generasi muda juga dapat dijamin akan terus dipelihara secara sistematis dan sistemik. (Bersambung).


Foto: By Lukas B Wijanarko
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 24 Juni 2007
Read More....

HBD Implikasi dari Seminar Nasional Mandor (bagian 3)


Nur Iskandar
Borneo Tribune, Pontianak

Darah pejuang yang membasahi persada khatulistiwa ibarat bunga kusuma bangsa. 21.037 jiwa lintas etnis dan agama dikubur secara massal di sebuah wilayah yang kini dikenal dengan Taman Makam Juang Mandor—sekitar 80 km dari Kota Pontianak.
Tak semua warga Kalbar, apalagi nasional yang mengetahui kisah detil Mandor di tahun 1942-1945. Berbagai upaya pun dilakukan.
Bagaimana sejarah lahirnya Hari Berkabung Daerah? Mulanya adalah perjuangan tiada putus dari generasi-generasi terdahulu, baik di lingkungan keluarga korban, DHD 1945, akademisi, tokoh masyarakat dan insan pers yang intens memperhatikan potensi-potensi pembangunan daerah.
Selaku jurnalis saya memandang perjuangan itu sifatnya proses yang sinambung. Siapa saja patut membunyikannya. Sampailah pada saat rapat evaluasi panitia HUT Kemerdekaan RI di tahun 2005. Ketika itu Gubernur Usman Ja’far bertanya kepada anggota “kabinetnya”, “Apalagi yang mau diusulkan sebagai bagian dari kegiatan HUT RI di Kalbar?”
Usul demi usul bermunculan, hingga akhirnya saya pun mengacungkan jari. Sesungguhnya jika dihitung-hitung, saya bukanlah anggota kabinet Usman Ja’far, tapi saya merasa perlu urun rembug sebagai warga Kalbar.
Piawainya Usman Ja’far, dia membolehkan anggota “luar” kabinet berbicara dalam rapat yang saat itu dihelat di rumah dinasnya “Pendopo”. Saya pun angkat suara.
Saya mengatakan apa yang sudah pernah saya dengar dari para pejuang terdahulu agar Mandor mendapatkan perhatian serius. Demikian karena situs kejuangan ini semakin merana. Ada penambangan liar di sana sementara nilai historisnya luar biasa. Ia menyangkut pejuang-pejuang dari hampir seluruh wilayah di Kalbar. Oleh karena itu jika dikelola secara profesional ini adalah simbol harmonis dalam etnis.
Usul seminar nasional pun dilancarkan. Gubernur pun setuju. Asisten Setda yang saat itu dijabat Drs Kamaruzaman, MM menjadi leading sektornya. Tak pelak seminar nasional pun digelar di Rektorat Untan dengan rekomendasi Hari Berkabung Daerah serta menjadikan Mandor sebagai Taman Makam Pahlawan, bukan lagi Taman Makam Juang.Cukup banyak rekomendasi yang dihimpun dalam seminar Agustus dua tahun lalu itu yang draftya sebagian kini dibahas untuk naskah Raperda HBD. (bersambung)


Foto: By Lukas B Wijanarko
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 24 Juni 2007
Read More....

Dibawa Pergi dan Tak Kembali (bagian 2)


Andry
Boreno Tribune, Pontianak

Sebelumnya, Lim Bak Chai ditawari oleh Jepang untuk menjadi seorang Kepala Rumah Sakit di Kota Pontianak kala itu. Namun karena Jepang telah menculik dan membunuh sepupunya maka ia menolak akan tawaran tersebut.

Lambat laun Jepang mengetahui alasan penolakan tersebut karena Lim Bak Chai adalah bersepupu dengan Lim Bak Khim, maka ia pun menemui haribaannya dengan merasakan kebiadaban Jepang.
Kebiadaban Jepang seolah tak bisa berhenti guna memangsa kaum cerdik pandai, kaya dan berkedudukan dalam strata sosial di Republik ini. Satu demi satu pejuang kesuma bangsa gugur demi tumpah darahnya. Kembali darah seorang patriot bangsa keturunan Tionghoa membasahi Bumi Khatulistiwa sebagai pejuang.
Lim Bak Hwap alias Lim Teng Guan (34), merupakan salah seorang Kepala Sekolah yang sederajat dengan SD kala itu. Dia juga merupakan kakak kandung dari Lim Bak Khim yang mengalami nasib yang sama. Mereka merupakan keluarga besar N.V Lim Lan Hiang, yang kala itu telah memiliki saham sebesar 10.000 Golden. (N.V seperti CV saat ini).
Bapak yang kala itu telah berhasil menyandang gelar sarjana di bidang ekonomi ini ternyata juga piawai bermain tennis lapangan. Selain itu ia kerap dikenal sebagai seorang yang berani mengungkapkan gagasan-gagasannya demi kemajuan bangsa Indonesia. Sehingga hal itu membuat ia merupakan salah seorang yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Jepang. Demi keselamatan keluarganya, Lim Bak Hwap memilih tinggal di daerah Parit Baru, agar terhindar dari incaran Jepang.
Namun karena hasrat dan kerinduan yang mendalam akan sanak saudaranya yang berdomisili di Parit Darat atau Pasar Tengah saat ini, akhirnya ia memutuskan untuk mengunjungi saudaranya itu dengan membawa anak-anaknya, salah satunya bernama Lim Kiam Ciu atau Alexander Marsudi Halim yang berbagi kisah dengan Tribune saat itu masih berumur 9 hari.
Akhirnya maut pun menjemput seorang kesuma bangsa. Minggu, 18 Agustus 1944 sekitar pukul 09.00 WIB. Ketika itu berada di rumah keluarganya di Parit Darat atau Pasar Tengah.
Ketika itu, Lim Kiam Cuan (6) yang merupakan abang kandung dari Lim Kiam Ciu atau Alexander Marsudi Halim, sedang asik bermain bola di depan halaman rumah. Tiba-tiba ada beberapa orang serdadu Jepang yang kebetulan melintas. Karena terkejut melihat serdadu Jepang yang menuju ke arahnya dengan tanpa memberikan penghormatan bocah tersebut lantas berlari menuju rumah dan segera bersembunyi.
Melihat kenyataan itu serdadu Jepang menjadi curiga lantas mengejar bocah mungil itu. Tanpa banyak basa-basi serdadu Jepang langsung masuk ke dalam rumah hendak menangkap. Ternyata setelah berada di dalam rumah itu, serdadu Jepang menemukan si bocah yang sedang bersembunyi seraya ketakutan di balik Ayahnya, yang kala itu sedang menggendong seorang bayi yang masih berusia 9 hari. ( bayi yang berusia 9 hari itu adalah Lim Kiam Ciu atau Alexander Marsudi Halim).
Setelah menemukan si bocah yang bersembunyi di balik Ayahnya, tiba-tiba serdadu Jepang menjadi curiga dengan Ayah si bocah. Lantas serdadu kejam itu langsung mengamati secara seksama sembari melihat foto-foto daftar orang yang mereka cari. Ternyata Ayah bocah tersebut merupakan salah seorang yang selama ini mereka cari. Akhirnya Lim Bak Hwap ditangkap oleh Jepang dengan cara kepalanya di sungkup dengan sarung bantal yang mereka ambil di rumah tersebut. Kemudian setelah itu kesuma bangsa yang telah mengharumkan nama Republik ini langsung digelandang keluar rumah lantas dibawa pergi oleh serdadu-serdadu biadab nan kejam. Hingga kini ia pun tak pernah kembali lagi ke dalam pangkuan keluarga serta murid yang selalu merindukan akan sosok seorang pejuang pendidikan. (Bersambung)

Foto: By Lukas B Wijanarko
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 23 Juni 2007
Read More....

Dai Nippon Bengis dan Biadab (bagian 1)


Andry
Borneo Tribune, Pontianak

Apapun premisnya, segala bentuk imperialisme di muka bumi ini adalah kejam. Penjajah adalah kaum penindas dan menghegemoni segala bentuk kebebasan, baik secara personal maupun dalam bentuk negara berdaulat sekalipun.

Makam Juang Mandor merupakan saksi bisu atas perjuangan rakyat Kalimantan Barat. Pembantaian yang dilakukan Dai Nippon amat bengis dan biadab. Menurut data Surat Kabar Jepang Borneo Shinbun dalam kurun waktu 1942-1945 rakyat Kalbar yang “dipenggal” mencapai 21.037 jiwa. Korban yang tewas itu sebagian besar adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, pimpinan/sultan, pangeran serta cerdik-cendikia yang multi etnis. Para korban tersebut merupakan catatan sejarah yang tidak boleh dilupakan.
Dampak yang dirasakan masyarakat Kalbar telah kehilangan ribuan orang yang mereka cintai serta membawa dampak duka yang mendalam. Di sisi lain hilangnya para pemimpin dan kaum cerdik pandai memerlukan waktu lama untuk menciptakan generasi baru dalam mengisi pembangunan di Kalbar.

Salah seorang tokoh keturunan Tionghoa yang tak luput menjadi korban keganasan Jepang kala itu adalah Lie Bak Khim (33). Dia adalah seorang pejabat setingkat Lurah di wilayah pasar Seroja kala itu. Sebelum hari naas menemuinya, Lie Bak Khim telah mendengar informasi bahwa akan ada rencana dari pihak Jepang untuk membinasakan setiap orang yang diklasifikasikan sebagai kaum pintar, cerdik pandai, kaya dan memiliki kedudukan. Kabar itu diterima dari salah seorang sepupunya yang waktu itu sebagai seorang dokter, bernama Lim Bak Chai, melalui sepucuk surat.

Lim Bak Chai menyuruh Lie Bak Khim untuk segera berangkat meninggalkan Kota Pontianak menuju ke Semarang, ke tempat salah seorang teman Lim Bak Chai untuk berlindung sementara waktu. Saran itu pun lantas dituruti oleh Lie Bak Khim. Ibarat pepatah mengatakan ‘untung tak bisa diraih malang tak bisa ditolak’ begitulah yang di alami oleh Lie Bak Khim. Siang hari ketika ia sedang mengemasi barang-barang yang hendak dibawa berangkat ke Semarang pada malam harinya tiba-tiba datang beberapa serdadu Jepang dan membawanya secara paksa dari rumahnya. Sesaat sebelum ditangkap, ia menyempatkan diri untuk menelan surat yang dikirimkan oleh sepupunya. Dengan harapan agar sepupunya tidak terlibat dan menjadi korban berikutnya. Lie Bak Khiem tahu bahwa Dai Nippon amat kejam dan bengis. Beberapa orang sebelum dirinya telah menjadi korban dengan kepala disungkup untuk kemudian tak pernah kembali lagi. (Bersambung)

Foto: By Lukas B Wijanarko
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 22 Juni 2007
Read More....

Peranan Sejarah Kebangkitan Bangsa dan Peristiwa Mandor


Oleh M Natsir*)

Berbicara tentang kebangkitan tidak pernah lepas dari ingatan tentang organisasi Budi Utomo yang didirikan oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dan dr. Sutomo sebuah gagasan besar yang melahirkan suatu pemikiran revolusioner, bahwa bangsa Indonesia harus bangkit dan mempunyai kesadaran untuk membangun sebuah kehidupan yang lebih baik. Ide besar yang dikemukakan sebenarnya ingin membangun sebuah kehidupan yang lebih baik. Ide dasar yang dikemukakan sebenarnya ingin membangun jati diri mozaik bangsa yang harus diperhitungkan oleh bangsa-bangsa di dunia. Tidak hanya organisasi Budi Utomo akan tetapi organisasi yang lainnya juga ikut berperan dalam memperjuangkan bangsa Indonesia. Organisasi yang dikenal dengan tokoh-tokoh nasionalisme Indonesia di antaranya, Soewardi, Tjipto, Soekarno, Muhammad Hatta dan banyak lagi yang menorehkan tinta emas di dalam lembaran sejarah Indonesia.
Tujuan dari para tokoh nasional adalah untuk memperjuangkan bangsa Indonesia agar dapat bebas dan merdeka dan terlepas dari belenggu penjajah. Kalimantan Barat juga mempunyai organisasi yang bernama Young Sambas yang lahir pada tanggal 17 Juni 1972 yang dipimpin oleh H Ahmad Mesir Areani Hardigaluh-Abdullah Siddik dan Munzir Imran. Perkumpulan ini hanya bergerak dalam pendidikan dan kepanduan , yang hampir tidak jauh berbeda dengan organisasi Young Java, Young Sumatra, Bond Young Ambon, dan Young Celebes, akan tetapi menjelang lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, maka organisasi lokal yang berhaluan Propinsilistik dengan sendirinya membubarkan diri (Machrus Effendy, Sejarah Perjuangan Kalimantan Barat 1982, halaman 38). Jika dilihat dari organisasi yang bersifat kedaerahan, akan tetapi secara keseluruhan adalah bagian bagian dari organisasi yang ikut berperan dalam menentukan percaturan politik di tanah air. Kalbar ikut serta sebagai salah satu Provinsi di Indonesia mempunyai andil dan berperan membangun jati diri bangsa melalui putra-putri yang terbaik, daro lintasan sejarah bahwa kerajaan yang ada, di Kalbar juga melahirkan nama-nama yang cukup diperhitungkan baik tingkat nasional maupun dunia. Di Kalbar dari para ulama tingkat dunia yang cukup terkenal diantaranya. Syech Ahmad Hatib Sambas, Gusti Jamiril Adijaya dari Mempawah, H Ismail Abdul Karim (Ismail Mundu) Mupti Kerajaan Kubu, Abdul Kadir Pahlawan Nasional dari Sintang, Sultan Muhammad II pencipta lambang negara dari kesultanan Pontianak.
Politik adu domba (devide at impera) penjajah tetap saja memperhitungkan bahwa salah satu daerah yang harus ditaklukkan adalah Kalbar. Juah sebelum bangsa Indonesia merdeka dan sejak zaman penjajahan Belanda bahwa Kalbar cukup terkenal dengan mempunyai sumber daya alam yang cukup kaya, terbukti dengan jalur sutra pada abad 17 perebutan intan kobi di Sukadana Kabupaten Ketapang. Sumber daya manusia yang cukup potensial yang lahir dari berbagai kalangan masyarakat juga menjadi salah satu sasaran yang harus ditaklukkan sehingga sebuah peristiwa memilukan yang dikenal dengan peristiwa Mandor pada tahun 1944 menghabiskan sebagian generasi terbaik Kalbar.

Masuknya Jepang di Kalbar
Pasukan Jepang yang pertama kali mendarat di Pemangkat pada tahun 1942. Kedatangan bangsa Jepang ke Kalbar sebagai sebuah strategi untuk menaklukkan bangsa Indonesia dan mencari perhatian guna menarik simpatik masyarakat dengan politik dan semboyannya adalah Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia, Nippon Pemimpin Asia. Gerakan yang dijalankan adalah sebuah tipu muslihat agar rakyat dapat berlindung dan terlepas dari penjajahan sebelumnya. Kedatangan Jepang hanya menambah kesengsaraan. Kaum imprealisme tidak akan bertindak yang menguntungkan bagi wilayah yang dijajah. Perilaku yang tidak bersahabat, tekanan kehidupan yang semakin sengsara membangkitkan sebuah kesadaran kolektif semua elemen anak bangsa, secara diam-diam mengadakan kesepakatan untuk mengadakan perlawanan, agar tidak secara terus menerus menjadi perahan penjajah. Maka bangkitlah para pemuda mengadakan pemberontakan dan perlawanan dan menyatakan ingin merdeka dan terlepas dari kaum penjajah.
Rakyat Kalbar melakukan pemberontakan di berbagai tempat. Para pemuda-pemudi yang sebelumnya dilatih oleh Jepang berbalik melawan Jepang. Pada tanggal 14 April 1943, Syuutizityo mengadakan rapat pertama. Rapat tersebut dihadiri oleh 12 penambahan serta pejabat tinggi setempat. Alasan diadakannya rapat adalah untuk membahas masalah keamanan ternyata hal tersebut adalah sebuah tipu muslihat Jepang. Pada tanggal 23 April 1943, raja-raja di tangkap dan di tahan di markas Kompetai. Penangkapan secara besar-besaran terjadi pada tanggal 24 Mei 1944, saat berlangsungnya konferensi Nissikai di Pontianak, tepatnya di gedung Medan Sepakat di Landraagweg no 12 (Jalan Jenderal Urip Pontianak sekarang). Para tokoh-tokoh yang dianggap berbahaya bagi Jepang banyak ditangkap dengan mendatangi rumah masing-masing. Para korban tragedi Mandor terdiri atas pemuka masyarakat, tokoh pemuda, tokoh pergerakan, cendikiawan, dokter, hartawan dan usahawan yang berada di Kalbar yang jumlahnya tidak terhitung. Karena pembantaian tersebut sejak kedatangan Jepang sampai berakhirnya pada tahun 1944. Seluruh wilayah Kalbar menjadi target pembantaian karena Jepang memahami bahwa pada saat itu wilayah Kalbar kekuasaan masih dipegang oleh raja-raja. Banyak pembantaian yang dilakukan Jepang dilokasi yang berlainan tempat. Sehingga pada zaman tersebut sangat sulit untuk membawa ke luar lokasi di karenakan kendaraan yang tidak begitu banyak, transportasi melalui perairan maupun darat dengan medan yang begitu sulit pasukan Jepang dengan jalan pintas mengeksekusi secepat mungkin untuk mengejar target berikutnya.
Peristiwa 28 Juni 1944 adalah sebuah tonggak sejarah yang harus dikenang sepanjang masa oleh masyarakat Kalbar maupun bangsa Indonesia pada umumnya. Tersebut nama-nama yang tidak mampu untuk dicatat secara keseluruhan, akan tetapi hanya sebagian nama-nama yang tercatat pada pemberitaan Borneo Shimbun, Juli 1944. para korban yang menjadi target banyak diciduk di malam hari oleh para balatentara, ada yang dibunuh ditempat dan ada juga yang dibawa pada suatu lokasi yang tidak diketahui oleh masyarakat umum. Tangan terikat dan mata tertutup karung goni, para korban dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi, ada yang dipancung dengan samurai, disiksa dan bahkan dihabisi didepan anak istri.
Pergerakan pemuda yang dilakukan tidak hanya di kota akan tetapi di daerah pedalaman seperti daerah Ngabang Kabupaten Landak pada tanggal 8 Juli 1945 di Sengah Temila dilakukan pengibaran bendera merah putih. Upacara di Sengah Temila dipusatkan di Sepatah yang dipimpin oleh Bardan Nadi dan Gusti Muhammad Saleh Aliudin. Tujuh hari sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pada 8 Agustus 1945, dilakukan upacara pengibaran bendera merah putih di Darit Menyuke. Pengibaran bendera merah putih di Darit Menyuke dipimpin oleh Kimas Akil Abdurchman dan penggereknya Hamdan Budjang dan Gusti Muhammad Saleh Tahir. Para pemuda dengan resiko yang besar gagah berani, mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kebangkitan yang telah dilakukan oleh para pemuda dahulu untuk melepaskan diri dari belenggu kaum penjajah namun kini di daerah modern dan globalisasi, kesadaran rasa kebangkitan dan nilai-nilai patriotisme semangat tersebut akan menjadi tugas dan tanggungjawab semua elemen bangsa dan khususnya bagi generasi muda Kalbar untuk menentukan jati diri bangsa dan khususnya bagi generasi muda Kalbar untuk menentukan jati diri bangsa agar dapat sejajar dengan peradaban dunia. Masa kini bangsa Indonesia dihadapkan pada era globalisasi dengan bentuk penjajahan modern, sains dan teknologi menjadi senjata pamungkas para kaum borjuis dengan pola penjajahan bentuk baru. Rasa nasionalisme kesadaran dan semangat kebersamaan harus dibangun jika kesadaran dan kebersamaan harus dibangun jika kesadaran dan kebersamaan tidak diprioritaskan maka juga akan melahirkan penjajah bagi bangsa sendiri.
Masa depan bangsa ada ditangan pemuda, pemuda adalah generasi cemerlang. Semangat yang perlu ditanamkan adalah kesadaran diri baik dengan diri sendiri maupun lingkungan. Melalui pendidikan baik yang formal maupun non formal pendidikan yang didapat melalui sebuah proses yang benar. Tentunya akan melahirkan pemuda yang bermental kuat dan mempunyai pola fikir yang maju dan dimbangi dengan emosional, disiplin, percaya diri dan berakhlak yang baik. Kesemuanya itu mewarnai kehidupan dan memang harus dilatih sejak dini. Perlunya kesadaran dengan nilai-nilai kebersamaan dan merajut kembali, menata kehidupan bersama dan menatap masa depan dan membangun masyarakat yang madani menjadi tujuan utama.
Kebangkitan para pemuda yang timbul dari sebuah kesadaran dan anti kolonial, yang melahirkan kesadaran kolektif dan solidaritas yang melambangkan identitas nasional berdasarkan kesadaran historis. Wawasan pembangunan berpedoman berdasarkan kesepakatan bangsa. Pemerataan pendidikan mental dan spritual dan nilai moral yang harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan secara komprehensif, penanaman nilai-nilai budaya melalui kearifan lokal dapat ditingkatkan, sehingga tidak menjelma sebagai hanya rasa kesatuan akan tetapi rasa kebersamaan dan solidaritas di dalam kehidupan bersama.
Berbagai perspektif dan paradigma yang dikemukakan, hal yang mendasar dan patut untuk tetap dipertahankan adalah rasa nasionalisme. Menjunjung tinggi nilai-nilai di dalam kehidupan dan tidak mudah untuk melupakan jasa-jasa pahlawan bangsa. Kebangkitan dan kesadaran sebagai anak bangsa merupakan sebuah perjuangan untuk menjunjung tinggi rasa penghormatan yang patut diberikan. Pada tanggal 28 Juni 2007, saat yang tepat pemerintah Kalimantan Barat menjadikan hari tersebut menjadi Hari Berkabung Daerah guna mengenang peritiwa Mandor dan menyatakan hormat setinggi-tingginya kepada para syuhada yang telah mendarma baktikan seluruh kehidupannya. Wawasan perjuangan menjadi pergulatan batin untuk menentukan jati diri bangsa, bukan akan menjadi sebuah primordial masa silam dan terjebak pada masa kejayaan akan tetapi pergulatan itu untuk menentukan secara arif akan kemajuan peradaban untuk kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

*) Penulis adalah peneliti budaya pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak dan staf edukasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untan

Foto: By Lukas B Wijanarko
Versi cetak diterbitkan di Borneo Tribune, tanggal 28 Juni 2007
Read More....