Andry
Borneo Tribune, Pontianak
Apapun alasannya terhadap tragedi Mandor (1942-1945), pemerintah Jepang harus meminta maaf kepada pemerintah Indonesia sebagai konsekuensi atas kekejaman dan kebiadaban yang pernah dilakukannya kepada anak bangsa Indonesia.
“Saya rasa Jepang memang perlu melakukan permintaan maaf. Hal ini bukan saja permasalahan daerah Kalbar, tetapi juga masalah negara. Pemerintah Indonesia perlu mendesak Jepang. Karena dalam hal ini, rakyat yang tidak berdosa, orang sipil, para raja dan tokoh serta masih banyak anak bangsa lainnya yang harus merasakan kekejaman dengan cara-cara sadis dan keji,” ungkap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalbar, Tobias Ranggie, beberapa waktu lalu.
Oleh karena itu, hal ini merupakan kejahatan kemanusiaan dan berkaitan juga dengan hak asasi manusia (HAM). Saya melihatnya sampai ke arah genocide. Ini merupakan kejahatan perang yang dilakukan Jepang kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu pemerintah Jepang harus bisa meminta maaf kepada pemerintah Indonesia, khususnya kepada para ahli waris yang menjadi korban pada tragedi memilukan tersebut.
Mengenai permintaan maaf yang harus dilakukan pemerintah Jepang kepada pemerintah Indonesia. Apakah sejauh ini persiapan ke arah itu telah dilakukan oleh pemprov. Sejauh ini Saya belum melihat pemerintah Kalbar melakukan hal ini. Pendokumentasian juga masih belum lengkap, data-data korban juga belum lengkap.
“Karena sejauh ini belum ada data-data lengkap mengenai siapa-siapa para korban yang dihabisi dengan keji oleh Jepang. Sehingga jika hal itu bisa dilakukan oleh pemprov, maka kita bisa mengetahui secara lengkap dan resmi apa yang pernah terjadi di Mandor beberapa tahun silam,” imbuhnya.
Pemerintah Indonesia, khususnya melalui pemerintah provinsi Kalbar harus segera melakukan pengumpulan bukti-bukti. Agar para korban keganasan Jepang bisa terdata dengan baik. Sebab yang menjadi korban tidak hanya para raja, sultan, tokoh dan lainnya. Tetapi juga ada rakyat kecil yang ikut melakukan perlawan terhadap kekecaman yang dilakukan oleh Jepang. “Nah hal ini yang perlu segera dilakukan oleh pemerintah agar bisa diketahui secara pasti dan resmi,” kata Ranggie.
Memang yang tergambar didalam dokumen akademis adalah banyak para korban dari raja dan tokoh-tokoh keraton. Karena memang para raja dan tokoh pada saat itu merupakan salah satu bagian korban yang paling banyak dan mudah untuk diketahui dan tercatat. Tetapi rakyat kecil juga banyak yang menjadi korban keganasan fasis Jepang.
Disinggung mengenai bagaimana agar kompilasi yang berimplikasi dengan tragedi Mandor bisa segera terwujud. Dengan tegas wakil rakyat yang terkenal vokal ini mengatakan, perlu dibentuk satu tim khusus yang mengkaji masalah tersebut. Tim ini harus mengikutsertakan ahli sejarah, bila perlu kita minta bantuan dari pusat. Bila memang perlu, tim itu harus pergi ke Jepang dalam rangka pengumpulan bukti-bukti sejarah.
“Tim ini harus bekerja keras, turun langsung ke lapangan melakukan wawancara kepada para saksi dan keluarga korban. Masyarakat juga kita himbau agar koperatif kepada tim khusus yang dibentuk,” ungkapnya.
Mengenai kehadiran SBY dalam waktu dekat, apa langkah yang harus dilakukan baik pemprov mupun tokoh beserta para ahli waris untuk menyampaikan langsung kepada presiden. Dengan tenang Bapak ini mengungkapkan, Saya fikir hal ini perlu dilakukan dan disampaikan melalui pemerintah provinsi Kalbar. Lebih baik jika hal ini juga disampaikan secara langsung oleh para tokoh masyarakat beserta para ahli waris korban langsung kepada SBY.
“Namun demikian hal ini harus teragenda dengan baik karena ini menyangkut permasalahan protokoler kepresidenan. Sebab jika tidak terkoordinasi dengan baik tentu hal ini sulit untuk bisa terwujud,” sarannya.
Dalam hal ini yang terpenting adalah ada political will dulu dari pemerintah provinsi Kalbar serta mendapat dukungan oleh masyarakat dan pihak ahli waris. “Sebab, jika hal itu berhasil dilakukan, maka Saya yakin pemerintah Jepang akan mau melakukan permintaan maaf kepada pemerintah Indonesia.”
Borneo Tribune, Pontianak
Apapun alasannya terhadap tragedi Mandor (1942-1945), pemerintah Jepang harus meminta maaf kepada pemerintah Indonesia sebagai konsekuensi atas kekejaman dan kebiadaban yang pernah dilakukannya kepada anak bangsa Indonesia.
“Saya rasa Jepang memang perlu melakukan permintaan maaf. Hal ini bukan saja permasalahan daerah Kalbar, tetapi juga masalah negara. Pemerintah Indonesia perlu mendesak Jepang. Karena dalam hal ini, rakyat yang tidak berdosa, orang sipil, para raja dan tokoh serta masih banyak anak bangsa lainnya yang harus merasakan kekejaman dengan cara-cara sadis dan keji,” ungkap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalbar, Tobias Ranggie, beberapa waktu lalu.
Oleh karena itu, hal ini merupakan kejahatan kemanusiaan dan berkaitan juga dengan hak asasi manusia (HAM). Saya melihatnya sampai ke arah genocide. Ini merupakan kejahatan perang yang dilakukan Jepang kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu pemerintah Jepang harus bisa meminta maaf kepada pemerintah Indonesia, khususnya kepada para ahli waris yang menjadi korban pada tragedi memilukan tersebut.
Mengenai permintaan maaf yang harus dilakukan pemerintah Jepang kepada pemerintah Indonesia. Apakah sejauh ini persiapan ke arah itu telah dilakukan oleh pemprov. Sejauh ini Saya belum melihat pemerintah Kalbar melakukan hal ini. Pendokumentasian juga masih belum lengkap, data-data korban juga belum lengkap.
“Karena sejauh ini belum ada data-data lengkap mengenai siapa-siapa para korban yang dihabisi dengan keji oleh Jepang. Sehingga jika hal itu bisa dilakukan oleh pemprov, maka kita bisa mengetahui secara lengkap dan resmi apa yang pernah terjadi di Mandor beberapa tahun silam,” imbuhnya.
Pemerintah Indonesia, khususnya melalui pemerintah provinsi Kalbar harus segera melakukan pengumpulan bukti-bukti. Agar para korban keganasan Jepang bisa terdata dengan baik. Sebab yang menjadi korban tidak hanya para raja, sultan, tokoh dan lainnya. Tetapi juga ada rakyat kecil yang ikut melakukan perlawan terhadap kekecaman yang dilakukan oleh Jepang. “Nah hal ini yang perlu segera dilakukan oleh pemerintah agar bisa diketahui secara pasti dan resmi,” kata Ranggie.
Memang yang tergambar didalam dokumen akademis adalah banyak para korban dari raja dan tokoh-tokoh keraton. Karena memang para raja dan tokoh pada saat itu merupakan salah satu bagian korban yang paling banyak dan mudah untuk diketahui dan tercatat. Tetapi rakyat kecil juga banyak yang menjadi korban keganasan fasis Jepang.
Disinggung mengenai bagaimana agar kompilasi yang berimplikasi dengan tragedi Mandor bisa segera terwujud. Dengan tegas wakil rakyat yang terkenal vokal ini mengatakan, perlu dibentuk satu tim khusus yang mengkaji masalah tersebut. Tim ini harus mengikutsertakan ahli sejarah, bila perlu kita minta bantuan dari pusat. Bila memang perlu, tim itu harus pergi ke Jepang dalam rangka pengumpulan bukti-bukti sejarah.
“Tim ini harus bekerja keras, turun langsung ke lapangan melakukan wawancara kepada para saksi dan keluarga korban. Masyarakat juga kita himbau agar koperatif kepada tim khusus yang dibentuk,” ungkapnya.
Mengenai kehadiran SBY dalam waktu dekat, apa langkah yang harus dilakukan baik pemprov mupun tokoh beserta para ahli waris untuk menyampaikan langsung kepada presiden. Dengan tenang Bapak ini mengungkapkan, Saya fikir hal ini perlu dilakukan dan disampaikan melalui pemerintah provinsi Kalbar. Lebih baik jika hal ini juga disampaikan secara langsung oleh para tokoh masyarakat beserta para ahli waris korban langsung kepada SBY.
“Namun demikian hal ini harus teragenda dengan baik karena ini menyangkut permasalahan protokoler kepresidenan. Sebab jika tidak terkoordinasi dengan baik tentu hal ini sulit untuk bisa terwujud,” sarannya.
Dalam hal ini yang terpenting adalah ada political will dulu dari pemerintah provinsi Kalbar serta mendapat dukungan oleh masyarakat dan pihak ahli waris. “Sebab, jika hal itu berhasil dilakukan, maka Saya yakin pemerintah Jepang akan mau melakukan permintaan maaf kepada pemerintah Indonesia.”
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 5 Juli 2007
Foto: By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune
No comments:
Post a Comment