Kami adalah bagian dari keluarga yang menjadi korban agresi Jepang merasa bersyukur dan menghargai usaha dan upaya Pemerintah Daerah beserta wakil wakil rakyat Kalimantan Barat yang akhirnya menetapkan tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah untuk memperingati tragedi pembantaian terhadap 21.037 jiwa rakyat Kalbar oleh rezim tentara Jepang selama tahun 1942-1945.
Gubernur juga menginstruksikan agar masyarakat Kalbar menaikkan bendera Merah Putih setengah tiang pada tanggal 28 Juni sebagai wujud menghormati serta menghargai para pejuang kita yang telah menjadi korban keganasan tentara Jepang.
Menyinggung keganasan tentara Jepang di Kalbar, penulis teringat 5 tahun yang lalu pada tanggal 1 Juli 2002 pernah menulis satu artikel dengan judul : “SEPOTONG MEMORI, BUKAN DENDAM”. Intinya memaparkan keganasan tentara Jepang menindas serta membunuh rakyat Kalbar pada masa tahun 1942 – 1945. Tulisan ini mendapat tanggapan simpatik dari seorang anggota dari I.K.K.A.J. (Ikatan Keluarga Korban Agresi Jepang) di Singkawang dengan menghadiahkan 1 buah buku dalam bahasa Mandarin dengan judul buku: “KEADAAN NAN YANG SEHABIS PERANG”, yang dibukukan pada tahun 1947 oleh wartawan-wartawan Singapura dan Pontianak yang berwawancara langsung dengan tokoh-tokoh masyarakat Kalbar dan saksi hidup pada tahun 1946.
Dalam buku ini dihalaman 9 terdapat satu artikel yang berjudul : “SELEMBAR TRAGEDI BERDARAH HOA CHIAU DI WEST BORNEO”, ditulis oleh wartawan bernama She Heung yang berwawancara langsung dengan seorang saksi hidup yang lolos dari maut bernama Liauw A Ciu yaitu pengusaha keramik di Singkawang.
Untuk diketahui masyarakat Kalbar, terutama pendatang-pendatang baru dan generasi muda, bagaimana tentara Jepang semena-mena menindas rakyat Kalbar diluar perikemanusiaan.
Disini kami menterjemahkan secara bebas cerita nyata dari Bpk. Liauw A Ciu yang mengalami sendiri kejadian pada waktu itu, sebagai berikut:
Saya ditangkap pada tanggal 12 bulan 8 Imlek subuh pagi di rumah. Sebab apa saya ditangkap tidak diketahui. Tanggal 13 dibawa ke Pontianak, dalam perjalanan saya ada niat untuk melarikan diri dengan cara meloncat dari lory/ truk. Sebab sejak saat ditangkap, sudah ada perasaan atau firasat tidak ada harapan pulang dengan hidup. Niat saya ini tidak mendapat dukungan dari teman-teman dalam truk. Pada umumnya mereka tidak berani dan sebagian besar menganggap dirinya tidak ada berbuat kesalahan yang besar dan yakin tidak akan terjadi hal yang sampai menyebabkan mereka kehilangan nyawanya.
Pada waktu 3 hari di kamp tahanan di Pontianak, saya ada usaha dengan teman-teman sekamar memberontak. Karena situasi saat itu masih mungkin, kami masih bebas bergerak. Tetapi semua teman-teman sekamar tidak setuju akan pikiran saya untuk mencoba melakukan hal yang menurut mereka berbahaya.
Pada tanggal 14 dan 15, kami lihat banyak “Thiat Lian Ci” (Narapidana) berbaris berangkat pergi kerja berjalan melalui pintu di ruangan kami dengan kepala tertunduk. Saya menangkap sorot mata mereka mengintip ke arah kami. Pada saat itu, saya perkirakan mereka pergi menggali liang kuburan untuk kami. Hal ini saya bicarakan dengan teman-teman sekamar bahwa hari maut kita akan segera tiba. Tetapi sebagian besar sesama tahanan ragu-ragu dan tidak percaya.
Pada tanggal 15 adalah hari raya “Chung Chiu Chiat” (Festival Kue Bulan). Kompetai membawa sehelai kertas blanko dan menyuruh saya menandatanganinya, segera saya lakukan. Malam itu nampak remang-remang, hujan gerimis sekitar pukul 10 malam, mendadak di seluruh pelosok dalam ruang tahanan kamp bergerak serentak diikuti dengan berkerumunan. Dalam hati saya berbisik, malaikat elmaut akan tiba. Pada saat itu lampu telah dinyalakan terang benderang seluruh kamp. Ratusan kepala bergerak-gerak disekililing. Setiap orang hanya memakai singlet dengan celana pendek dan kepala ditutupi kain, 2 tangan di ikat ke belakang. Setiap orang memiliki nomor. Sewaktu saya masuk kamp diberikan nomor 15 dan pada waktu akan dinaikkan ke truk maut nomor saya menjadi 101. Semua antri ke barisan dan dipanggil satu per satu hingga semua selesai waktu sudah jauh malam. Saya perkirakan ada sepuluhan truk yang pelan-pelan mulai bergerak jalan sampai menimbulkan suara yang bergemuruh. Truk maut yang saya naiki kebetulan yang paling akhir/belakang. Dalam 1 truk berdesakan puluhan orang tanpa suara apapun selain gemuruh mesin truk. Saya dapat merasakan perjalanan truk yang kami naiki terus berjalan tanpa menyeberangi sungai Kapuas, karena masa itu belum ada jembatan Kapuas, maka kalau menyeberang tentu akan terasa menaiki ferry/pelampong.
Truk arahnya menuju ke lapangan Sungai Durian,saya terus berusaha melepaskan tali yang terikat kebelakang pinggang pada tangan saya dan akhirnya berhasil. Semua truk yang kami naiki ditutupi kain terpal seluruhnya dan 3 tentara Jepang duduk di atas terpal tersebut mengawasi kami. Kami sama sekali tidak bisa berdiri dan berjalan. Mendadak truk yang kami naiki berhenti. Diperkirakan ada truk di depan truk kami mogok/rusak, sehingga truk kami tidak bisa maju. Pelan-pelan saya coba angkat kain terpal yang menutupi diatas kepala, rasanya agak kendor. Tetapi saya masih belum berani mengambil resiko. Saya coba berusaha mengetahui keadaan disekitar truk kami. Merasa sudah yakin kalau tentara Jepang tidak berada diatas truk, segera saya membuka kain terpal dan meluncur keluar dari samping truk, remang-remang (bulan purnama dan gerimis) saya lihat seorang tentara Jepang berdiri di depan truk dengan arah membelakangi saya. Di bawah sinar bulan yang remang-remang, saya harus mengambil keputusan kearah mana saya akan lari, tentunya masuk ke semak-semak disamping jalan besar. Dalam pikiran saya daripada di eksekusi lebih baik saya ambil resiko ini, maka saya berlari terus kearah hutan menjauhi jalan raya, onak dan cape tak di hiraukan, akhirnya sampai disebuah rumah yang beratap daun rumbia, hari sudah pagi. Rumah seorang nenek tua yang menyelamatkan jiwa saya yang kemudian mengakui saya sebagai anak angkatnya.
Soal truk-truk maut itu selanjutnya saya sama sekali tidak tahu. Tetapi ada satu hal yang harus saya tegaskan bahwa saya pernah bersumpah dimuka teman-teman setahanan, seandainya saya Liauw A Ciu berhasil melarikan diri, saya akan berusaha semaksimal mungkin membalaskan dendam atas pengorbanan mereka yang telah "hilang" tak berbekas .Satu hal yang pasti ialah mereka ditangkap tentara Jepang, sama sekali tidak ada harapan hidup kembali ke rumah.
Wartawan She mewawancarai Bpk. Liauw 1 jam lebih dan amat terharu sampai hampir menetaskan air mata karena mendengar cerita nyata yang tulus dan spontanitas. Bapak Liauw menambahkan lagi bahwa ratusan kerangka tulang belulang manusia yang tidak diragukan, terutama disekitar lapangan terbang Sungai Durian, kita harus menggali kembali dan memberikan tempat peristirahatan terhormat sebagai pejuang rakyat Kalbar serta membuktikan kepada kita semua bagaimana ganasnya dan tanpa perikemanusiaan tentara Jepang bertindak semasa perang dunia ke-2 di Kalbar.
Akhir-akhir ini beredar isu-isu dikalangan masyarakat bahwa tahanan yang ditangkap tentara Jepang berada di Kuching, ada yang berada di pulau, ada juga yang berada di pegunungan. Ini semua berita bohong yang sengaja ditiupkan oleh orang Jepang. Kita jangan percaya dan terperangkap. Wartawan She mendengar kalimat terakhir ini membuktikan bahwa Bapak Liauw yakin benar apa yang dituturkan adalah kenyataan. Karena masih ada keluarga korban yang masih berharap bahwa tahanan-tahanan itu akan kembali tidak begitu lama lagi.
Demikian tulisan dan terjemahan kami. Sebagai informasi, penulis masih mengenal keturunan almarhum Bpk Liauw yang berada di Pontianak. Sebagai penutup, kami berharap jangan melupakan sejarah. Seperti kata bijak Kuno China: “Chian She Puk Wang, How She Ce She”, yang secara harfiah artinya: Kejadian yang lalu tidak dilupakan adalah guru bagi masa depan .
Gubernur juga menginstruksikan agar masyarakat Kalbar menaikkan bendera Merah Putih setengah tiang pada tanggal 28 Juni sebagai wujud menghormati serta menghargai para pejuang kita yang telah menjadi korban keganasan tentara Jepang.
Menyinggung keganasan tentara Jepang di Kalbar, penulis teringat 5 tahun yang lalu pada tanggal 1 Juli 2002 pernah menulis satu artikel dengan judul : “SEPOTONG MEMORI, BUKAN DENDAM”. Intinya memaparkan keganasan tentara Jepang menindas serta membunuh rakyat Kalbar pada masa tahun 1942 – 1945. Tulisan ini mendapat tanggapan simpatik dari seorang anggota dari I.K.K.A.J. (Ikatan Keluarga Korban Agresi Jepang) di Singkawang dengan menghadiahkan 1 buah buku dalam bahasa Mandarin dengan judul buku: “KEADAAN NAN YANG SEHABIS PERANG”, yang dibukukan pada tahun 1947 oleh wartawan-wartawan Singapura dan Pontianak yang berwawancara langsung dengan tokoh-tokoh masyarakat Kalbar dan saksi hidup pada tahun 1946.
Dalam buku ini dihalaman 9 terdapat satu artikel yang berjudul : “SELEMBAR TRAGEDI BERDARAH HOA CHIAU DI WEST BORNEO”, ditulis oleh wartawan bernama She Heung yang berwawancara langsung dengan seorang saksi hidup yang lolos dari maut bernama Liauw A Ciu yaitu pengusaha keramik di Singkawang.
Untuk diketahui masyarakat Kalbar, terutama pendatang-pendatang baru dan generasi muda, bagaimana tentara Jepang semena-mena menindas rakyat Kalbar diluar perikemanusiaan.
Disini kami menterjemahkan secara bebas cerita nyata dari Bpk. Liauw A Ciu yang mengalami sendiri kejadian pada waktu itu, sebagai berikut:
Saya ditangkap pada tanggal 12 bulan 8 Imlek subuh pagi di rumah. Sebab apa saya ditangkap tidak diketahui. Tanggal 13 dibawa ke Pontianak, dalam perjalanan saya ada niat untuk melarikan diri dengan cara meloncat dari lory/ truk. Sebab sejak saat ditangkap, sudah ada perasaan atau firasat tidak ada harapan pulang dengan hidup. Niat saya ini tidak mendapat dukungan dari teman-teman dalam truk. Pada umumnya mereka tidak berani dan sebagian besar menganggap dirinya tidak ada berbuat kesalahan yang besar dan yakin tidak akan terjadi hal yang sampai menyebabkan mereka kehilangan nyawanya.
Pada waktu 3 hari di kamp tahanan di Pontianak, saya ada usaha dengan teman-teman sekamar memberontak. Karena situasi saat itu masih mungkin, kami masih bebas bergerak. Tetapi semua teman-teman sekamar tidak setuju akan pikiran saya untuk mencoba melakukan hal yang menurut mereka berbahaya.
Pada tanggal 14 dan 15, kami lihat banyak “Thiat Lian Ci” (Narapidana) berbaris berangkat pergi kerja berjalan melalui pintu di ruangan kami dengan kepala tertunduk. Saya menangkap sorot mata mereka mengintip ke arah kami. Pada saat itu, saya perkirakan mereka pergi menggali liang kuburan untuk kami. Hal ini saya bicarakan dengan teman-teman sekamar bahwa hari maut kita akan segera tiba. Tetapi sebagian besar sesama tahanan ragu-ragu dan tidak percaya.
Pada tanggal 15 adalah hari raya “Chung Chiu Chiat” (Festival Kue Bulan). Kompetai membawa sehelai kertas blanko dan menyuruh saya menandatanganinya, segera saya lakukan. Malam itu nampak remang-remang, hujan gerimis sekitar pukul 10 malam, mendadak di seluruh pelosok dalam ruang tahanan kamp bergerak serentak diikuti dengan berkerumunan. Dalam hati saya berbisik, malaikat elmaut akan tiba. Pada saat itu lampu telah dinyalakan terang benderang seluruh kamp. Ratusan kepala bergerak-gerak disekililing. Setiap orang hanya memakai singlet dengan celana pendek dan kepala ditutupi kain, 2 tangan di ikat ke belakang. Setiap orang memiliki nomor. Sewaktu saya masuk kamp diberikan nomor 15 dan pada waktu akan dinaikkan ke truk maut nomor saya menjadi 101. Semua antri ke barisan dan dipanggil satu per satu hingga semua selesai waktu sudah jauh malam. Saya perkirakan ada sepuluhan truk yang pelan-pelan mulai bergerak jalan sampai menimbulkan suara yang bergemuruh. Truk maut yang saya naiki kebetulan yang paling akhir/belakang. Dalam 1 truk berdesakan puluhan orang tanpa suara apapun selain gemuruh mesin truk. Saya dapat merasakan perjalanan truk yang kami naiki terus berjalan tanpa menyeberangi sungai Kapuas, karena masa itu belum ada jembatan Kapuas, maka kalau menyeberang tentu akan terasa menaiki ferry/pelampong.
Truk arahnya menuju ke lapangan Sungai Durian,saya terus berusaha melepaskan tali yang terikat kebelakang pinggang pada tangan saya dan akhirnya berhasil. Semua truk yang kami naiki ditutupi kain terpal seluruhnya dan 3 tentara Jepang duduk di atas terpal tersebut mengawasi kami. Kami sama sekali tidak bisa berdiri dan berjalan. Mendadak truk yang kami naiki berhenti. Diperkirakan ada truk di depan truk kami mogok/rusak, sehingga truk kami tidak bisa maju. Pelan-pelan saya coba angkat kain terpal yang menutupi diatas kepala, rasanya agak kendor. Tetapi saya masih belum berani mengambil resiko. Saya coba berusaha mengetahui keadaan disekitar truk kami. Merasa sudah yakin kalau tentara Jepang tidak berada diatas truk, segera saya membuka kain terpal dan meluncur keluar dari samping truk, remang-remang (bulan purnama dan gerimis) saya lihat seorang tentara Jepang berdiri di depan truk dengan arah membelakangi saya. Di bawah sinar bulan yang remang-remang, saya harus mengambil keputusan kearah mana saya akan lari, tentunya masuk ke semak-semak disamping jalan besar. Dalam pikiran saya daripada di eksekusi lebih baik saya ambil resiko ini, maka saya berlari terus kearah hutan menjauhi jalan raya, onak dan cape tak di hiraukan, akhirnya sampai disebuah rumah yang beratap daun rumbia, hari sudah pagi. Rumah seorang nenek tua yang menyelamatkan jiwa saya yang kemudian mengakui saya sebagai anak angkatnya.
Soal truk-truk maut itu selanjutnya saya sama sekali tidak tahu. Tetapi ada satu hal yang harus saya tegaskan bahwa saya pernah bersumpah dimuka teman-teman setahanan, seandainya saya Liauw A Ciu berhasil melarikan diri, saya akan berusaha semaksimal mungkin membalaskan dendam atas pengorbanan mereka yang telah "hilang" tak berbekas .Satu hal yang pasti ialah mereka ditangkap tentara Jepang, sama sekali tidak ada harapan hidup kembali ke rumah.
Wartawan She mewawancarai Bpk. Liauw 1 jam lebih dan amat terharu sampai hampir menetaskan air mata karena mendengar cerita nyata yang tulus dan spontanitas. Bapak Liauw menambahkan lagi bahwa ratusan kerangka tulang belulang manusia yang tidak diragukan, terutama disekitar lapangan terbang Sungai Durian, kita harus menggali kembali dan memberikan tempat peristirahatan terhormat sebagai pejuang rakyat Kalbar serta membuktikan kepada kita semua bagaimana ganasnya dan tanpa perikemanusiaan tentara Jepang bertindak semasa perang dunia ke-2 di Kalbar.
Akhir-akhir ini beredar isu-isu dikalangan masyarakat bahwa tahanan yang ditangkap tentara Jepang berada di Kuching, ada yang berada di pulau, ada juga yang berada di pegunungan. Ini semua berita bohong yang sengaja ditiupkan oleh orang Jepang. Kita jangan percaya dan terperangkap. Wartawan She mendengar kalimat terakhir ini membuktikan bahwa Bapak Liauw yakin benar apa yang dituturkan adalah kenyataan. Karena masih ada keluarga korban yang masih berharap bahwa tahanan-tahanan itu akan kembali tidak begitu lama lagi.
Demikian tulisan dan terjemahan kami. Sebagai informasi, penulis masih mengenal keturunan almarhum Bpk Liauw yang berada di Pontianak. Sebagai penutup, kami berharap jangan melupakan sejarah. Seperti kata bijak Kuno China: “Chian She Puk Wang, How She Ce She”, yang secara harfiah artinya: Kejadian yang lalu tidak dilupakan adalah guru bagi masa depan .
Salam Sejahtera.
X F. Asali, Jl. Sisingamangaraja, Pontianak
X F. Asali, Jl. Sisingamangaraja, Pontianak
Foto: By Lukas B. Wijanarko/Borneo Tribune
No comments:
Post a Comment