Setelah melakukan ziarah di kompleks Makam Juang Mandor, kami buru buru pulang karena Nur Iskandar dan Tanto Yakobus (Borneo Tribune) serta rekan rekan dari MTA TV Internasional mempunyai janji untuk melakukan wawancara dengan Bapak Ilham Sanusi dan Bapak Soewito Limin yang sudah lebih dulu meluncur pulang dari kompleks Makam Juang Mandor ini dan menunggu di Sungai Pinyuh.
Rombongan pamit Bapak Samad sang juru kunci sambil menanti yang Nur Iskandar minta di doakan agar perjuangan yang di lakukannya bersama rekan rekan pers lainnya untuk mengangkat Peristiwa Mandor ini berhasil sehingga kelak bisa di alokasikan dana dari APBN untuk perawatann Kompleks Makam juang Mandor ini, saya berusaha menjelaskan dengan singkat bagaimana menanam bibit bunga bangkai yang sengaja saya bawakan dari Pontianak untuk menambah koleksi tanaman langka milik Pak Samad, sengaja saya bawakan pada tanggal 28 Juni ini agar kelak mudah di ingat berapa usia tanaman ini kalau kelak berbunga.
Perjalanan pulang di lakukan dengan kecepatan yang cukup tinggi namun masih dalam batas aman dan jauh dari ugal ugalan, prinsip saya kalau menyetir mobil adalah jika bisa melaju dengan cepat tidak ada salahnya asal jangan nekad dan tanpa perhitungan, bisa fatal akibatnya, lagipula saya juga mesti ekstra hati hati karena yang saya bawa di dalam mobil ini adalah insan insan pers yang masih muda yang energik serta concern dengan kemajuan Bangsa yang menurut hemat saya mereka mempunyai potensi yang besar untuk memajukan Kalbar.
Sebenarnya saya ingin menunjukkan banyak hal lain selain Makam Juang Mandor ini kepada rekan dari MTA TV Internasional (TV Muslim London yang hasil liputannya menjangkau 22 negara) antara lain koleksi kantong semar dan anggrek alam yang terawat dengan sangat baik oleh Pak Samad juru kunci Makam Mandor, selain itu juga di jalan Galang saya sangat tergoda untuk berhenti sejenak untuk menikmati segarnya buah nenas yang di jaja kan sepanjang jalan Galang, ini salah satu daya tarik bagi orang yang baru melewati jalan Galang, penjualnya sudah siap dengan pisau untuk mengupaskan nenas yang berdaging kuning keemasan, rasanya manis khas nenas pasti sangat mengiurkan, apalagi jika di bubuhi garam yang juga sudah di siapkan oleh penjual nenas, namun semua keinginan saya tahan demi suksesnya wawancara dengan narasumber di atas yang merupakan anak dari korban pembantaian di Mandor, dalam skala perioritas tentulah wawancara ini lebih penting, sepanjang jalan saya dengan penuh semangat menceritakan enaknya buah durian di daerah Anjungan jika musim buah durian tiba, maksudnya supaya kru dari MTA TV ini mau kembali lagi ke Kalimantan Barat pada saat musim durian di bulan Agustus nanti.
Akhirnya kami sampai di warung Mak Etek di sungai Pinyuh untuk berjumpa dengan Bapak Ilham Sanusi dan Bapak Soewito Limin.
Wawancarapun di lakukan rekan dari Borneo Tribune dan MTA TV sementara saya menyimak kata kata yang meluncur dari mulut Bapak Ilham Sanusi dan Bapak Soewito Limin sambil mengamati air muka keduanya dan sesekali mengambil foto dengan kamera digital.
Bapak Ilham Sanusi dengan lantang mengatakan bahwa saya tidak sependapat dengan kata Gubernur dalam Pidatonya yang menyatakan bahwa jangan ada dendam dalam peringatan ini, siapa yang tidak dendam jika Ayah kita di tangkap dan di bunuh tanpa kesalahan yang jelas, jelas ini suatu kejadian yang menyakitkan dan menimbulkan dendam, Bapak Ilham Sanusi mengatakan bahkan sampai saat inipun saya tidak mau pakai produk buatan Jepang, semua mobil saya buatan eropa, ungkapnya dengan mimik serius.
Bapak Soewito Limin menuturkan bahwa beliau masih ingat benar bahwa malam sebelum ayahnya di tangkap Jepang, beliau masih balita saat itu, baru belajar bicara dan pada malam itu baru pertama kali bisa memanggil Papa .... Papa ... itu kata-kata yang baru bisa diucapkannya malam itu yang pasti membuat seluruh anggota keluarga terbawa dalam keceriaan karena seorang anak mulai bisa bicara dan memanggil Ayahnya, Saya baru malam itu bisa memanggil Papa .. Papa ... kemudian besoknya Ayah saya sudah di tangkap Jepang dan hilang sejak hari itu sampai kini ... kata katanya terhenti karena seluruh tengorokannya kaku menahan tangis akibat kesedihan yang mengumpal yang tersimpan dalam dada seorang anak yang merindukan ayahnya, kesedihan dan kerinduan seorang anak yang tersimpan hampir 60 tahun ini meledak juga akhirnya, tanpa suara bulir bulir air mata mengalir keluar, suaranya yang mendadak parau menandakan pergulatan batin di dalam hatinya, kenangan manis di masa lalu, kerinduan yang tidak pernah terjawab, pencarian seorang anak untuk menemukan kembali sesosok figur ayang yang terenggut begitu saja dari kehidupannya.
Saya sendiri sulit untuk bisa ceria dan tidak meneteskan air mata dalam suasana seperti ini ..
saya sendiri sangat memahami bagaimana rasa bangga dan bahagia itu timbul sebagai seorang ayah ketika putra pertamaku, Chrisdion Simanjaya (7 tahun) belajar bicara dan kata pertama yang bisa di ucapkan adalah Papa ...
Bagi anak anak yang kehilangan seorang ayah yang juga berarti kehilangan satu masa manis yang seharusnya di alami oleh seorang anak yang memiliki orang tua yang lengkap
adalah suatu kejadian yang sangat menyakiti hati dan sepanjang kehidupan anak para korban Jepang sampai kini, siapa yang tidak dendam jika seorang Ayah dalam kehidupan kita di rengutkan begitu saja tanpa ada penjelasan dan sebab, apalagi kelak di ketahui ternyata sang Ayah mengalami perlakuan yang tidak manusiawi hingga di kuburkan tanpa nisan di Mandor, ini kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan terhadap seorang anak yang membutuhkan Ayah dalam hidupnya.
Singkat kata dari 21.000 orang lebih pemimpin, tokoh masyarakat, kaum cerdik pandai, pengusaha, guru, kepala desa, kepala adat yang pada saat itu merupakan lokomotif kemajuan di Kalimantan Barat yang di bunuh atau menjadi korban kejahatan Perang yang di lakukan oleh Pasukan Jepang, kekejaman pasukan Jepang yang berusaha memusnahkan satu generasi terbaik Kalimantan Barat secara langsung berakibat pada hancurnya hati, harapan, cita cita dan kehidupan para istri dan anak anak para korban, mereka dipaksa kehilangan masa depan,kehilangan nafkah lahir batin, kehilangan bagian terpenting dari kehidupan seorang anak yaitu memiliki seorang AYAH !
Salam hangat,
Andreas Acui Simanjaya.
Rombongan pamit Bapak Samad sang juru kunci sambil menanti yang Nur Iskandar minta di doakan agar perjuangan yang di lakukannya bersama rekan rekan pers lainnya untuk mengangkat Peristiwa Mandor ini berhasil sehingga kelak bisa di alokasikan dana dari APBN untuk perawatann Kompleks Makam juang Mandor ini, saya berusaha menjelaskan dengan singkat bagaimana menanam bibit bunga bangkai yang sengaja saya bawakan dari Pontianak untuk menambah koleksi tanaman langka milik Pak Samad, sengaja saya bawakan pada tanggal 28 Juni ini agar kelak mudah di ingat berapa usia tanaman ini kalau kelak berbunga.
Perjalanan pulang di lakukan dengan kecepatan yang cukup tinggi namun masih dalam batas aman dan jauh dari ugal ugalan, prinsip saya kalau menyetir mobil adalah jika bisa melaju dengan cepat tidak ada salahnya asal jangan nekad dan tanpa perhitungan, bisa fatal akibatnya, lagipula saya juga mesti ekstra hati hati karena yang saya bawa di dalam mobil ini adalah insan insan pers yang masih muda yang energik serta concern dengan kemajuan Bangsa yang menurut hemat saya mereka mempunyai potensi yang besar untuk memajukan Kalbar.
Sebenarnya saya ingin menunjukkan banyak hal lain selain Makam Juang Mandor ini kepada rekan dari MTA TV Internasional (TV Muslim London yang hasil liputannya menjangkau 22 negara) antara lain koleksi kantong semar dan anggrek alam yang terawat dengan sangat baik oleh Pak Samad juru kunci Makam Mandor, selain itu juga di jalan Galang saya sangat tergoda untuk berhenti sejenak untuk menikmati segarnya buah nenas yang di jaja kan sepanjang jalan Galang, ini salah satu daya tarik bagi orang yang baru melewati jalan Galang, penjualnya sudah siap dengan pisau untuk mengupaskan nenas yang berdaging kuning keemasan, rasanya manis khas nenas pasti sangat mengiurkan, apalagi jika di bubuhi garam yang juga sudah di siapkan oleh penjual nenas, namun semua keinginan saya tahan demi suksesnya wawancara dengan narasumber di atas yang merupakan anak dari korban pembantaian di Mandor, dalam skala perioritas tentulah wawancara ini lebih penting, sepanjang jalan saya dengan penuh semangat menceritakan enaknya buah durian di daerah Anjungan jika musim buah durian tiba, maksudnya supaya kru dari MTA TV ini mau kembali lagi ke Kalimantan Barat pada saat musim durian di bulan Agustus nanti.
Akhirnya kami sampai di warung Mak Etek di sungai Pinyuh untuk berjumpa dengan Bapak Ilham Sanusi dan Bapak Soewito Limin.
Wawancarapun di lakukan rekan dari Borneo Tribune dan MTA TV sementara saya menyimak kata kata yang meluncur dari mulut Bapak Ilham Sanusi dan Bapak Soewito Limin sambil mengamati air muka keduanya dan sesekali mengambil foto dengan kamera digital.
Bapak Ilham Sanusi dengan lantang mengatakan bahwa saya tidak sependapat dengan kata Gubernur dalam Pidatonya yang menyatakan bahwa jangan ada dendam dalam peringatan ini, siapa yang tidak dendam jika Ayah kita di tangkap dan di bunuh tanpa kesalahan yang jelas, jelas ini suatu kejadian yang menyakitkan dan menimbulkan dendam, Bapak Ilham Sanusi mengatakan bahkan sampai saat inipun saya tidak mau pakai produk buatan Jepang, semua mobil saya buatan eropa, ungkapnya dengan mimik serius.
Bapak Soewito Limin menuturkan bahwa beliau masih ingat benar bahwa malam sebelum ayahnya di tangkap Jepang, beliau masih balita saat itu, baru belajar bicara dan pada malam itu baru pertama kali bisa memanggil Papa .... Papa ... itu kata-kata yang baru bisa diucapkannya malam itu yang pasti membuat seluruh anggota keluarga terbawa dalam keceriaan karena seorang anak mulai bisa bicara dan memanggil Ayahnya, Saya baru malam itu bisa memanggil Papa .. Papa ... kemudian besoknya Ayah saya sudah di tangkap Jepang dan hilang sejak hari itu sampai kini ... kata katanya terhenti karena seluruh tengorokannya kaku menahan tangis akibat kesedihan yang mengumpal yang tersimpan dalam dada seorang anak yang merindukan ayahnya, kesedihan dan kerinduan seorang anak yang tersimpan hampir 60 tahun ini meledak juga akhirnya, tanpa suara bulir bulir air mata mengalir keluar, suaranya yang mendadak parau menandakan pergulatan batin di dalam hatinya, kenangan manis di masa lalu, kerinduan yang tidak pernah terjawab, pencarian seorang anak untuk menemukan kembali sesosok figur ayang yang terenggut begitu saja dari kehidupannya.
Saya sendiri sulit untuk bisa ceria dan tidak meneteskan air mata dalam suasana seperti ini ..
saya sendiri sangat memahami bagaimana rasa bangga dan bahagia itu timbul sebagai seorang ayah ketika putra pertamaku, Chrisdion Simanjaya (7 tahun) belajar bicara dan kata pertama yang bisa di ucapkan adalah Papa ...
Bagi anak anak yang kehilangan seorang ayah yang juga berarti kehilangan satu masa manis yang seharusnya di alami oleh seorang anak yang memiliki orang tua yang lengkap
adalah suatu kejadian yang sangat menyakiti hati dan sepanjang kehidupan anak para korban Jepang sampai kini, siapa yang tidak dendam jika seorang Ayah dalam kehidupan kita di rengutkan begitu saja tanpa ada penjelasan dan sebab, apalagi kelak di ketahui ternyata sang Ayah mengalami perlakuan yang tidak manusiawi hingga di kuburkan tanpa nisan di Mandor, ini kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan terhadap seorang anak yang membutuhkan Ayah dalam hidupnya.
Singkat kata dari 21.000 orang lebih pemimpin, tokoh masyarakat, kaum cerdik pandai, pengusaha, guru, kepala desa, kepala adat yang pada saat itu merupakan lokomotif kemajuan di Kalimantan Barat yang di bunuh atau menjadi korban kejahatan Perang yang di lakukan oleh Pasukan Jepang, kekejaman pasukan Jepang yang berusaha memusnahkan satu generasi terbaik Kalimantan Barat secara langsung berakibat pada hancurnya hati, harapan, cita cita dan kehidupan para istri dan anak anak para korban, mereka dipaksa kehilangan masa depan,kehilangan nafkah lahir batin, kehilangan bagian terpenting dari kehidupan seorang anak yaitu memiliki seorang AYAH !
Salam hangat,
Andreas Acui Simanjaya.
Foto: Andreas Acui Simanjaya (tengah) dan Nur Iskandar tengah wawancara Legium Veteran
No comments:
Post a Comment