Tanto Yakobus
Borneo Tribune, Pontianak
Kurang dari 24 jam, setelah blogspot yang merekam peristiwa Mandor pada zaman penjajahan Jepang dan kondisi sekarang ini, respon pembaca Borneo Tribune dan kenalan saya lumayan bagus. Rupanya, setelah membaca berita box Borneo Tribune soal peristiwa Mandor dapat diakses di Mancanegara, Jumat (29/6) pagi kemarin, tak sedikit yang langsung membuka internet--mengakses menelusuri web http://www.peristiwamandor44.blogspot.com/, yang saya rampungkan 12 jam sebelumnya.
Blog tersebut memuat banyak peristiwa miris yang dilakukan Jepang terhadap satu generasi di Mandor. Cerita miris itu coba kami telusuri dari keluarga atau anak cucu korban yang masih hidup.
Salah satu anak korban yang saya temui usai peringatan hari berkabung daerah (HBD) di Mandor dua hari lalu adalah, Soewito Limin. Pendiri lembaga pendidikan Bina Mulia ini punya cerita memilukan menjelang pembantaian Jepang di Mandor.
Saat diwawancarai saya, Nur Iskandar dan Munawar serta Gumai dari MTA TV (TV Muslim London) yang siarannya ditayangkan ke kurang lebih 200 negara, Soewito Limin awalnya tampak terharu dengan peringatan HBD yang mendapat sambutan hangat keluarga korban, pemerintah dan warga masyarakat Kalbar.
Namun ketika beliau mengingat kejadian masa lalu, Soewito Limin sempat termanggu.
“Waktu itu umur saya dua tahun kurang satu bulan. Dan baru bisa menyebut papa…papa….”
Suara Soewito Limin hilang. Bulir-bulir bening keluar dari matanya. Ia pun menyeka air matanya dan menarik napas dalam-dalam.
Bebrapa saat Soewito menghentikan bicaranya. Ia terdiam, tatapannya menerawang ke depan dengan pandangan kosong.
Lalu ia melanjutkan ceritanya, “Baru malam itulah saya bisa menyebutkan nama papa. Saat papa pulang kerja, saya buru-buru menghampirinya dan memanggil papa…papa. Hanya beberapa jam datang serdadu Jepang menangkap dan membawa papa keluar. Mulai saat itu papa tidak pulang lagi,” ceritanya dengan mulut gemetar.
“Bagi saya pribadi permintaan maaf Jepang itu tidak cukup, tapi bagaimana Jepang bisa membantu pendidikan anak-anak Kalbar ini supaya bisa maju dan sejajar dengan mereka,” katanya.
Tapi lanjutnya, jangankan memperhatikan pendidikan terutama anak cucu korban keganasan Jepang, minta maaf saja sulit mereka lakukan.
Katanya, peristiwa itu betul-betul cambuk. “Kemudian bagi masyarakat Kalbar, saya juga mendirikan sekolah Bina Mulia. Mengapa Bina Mulia? Kita ingin membina anak-anak kita dengan pendidikan yang lebih baik,” katanya lagi.
Sementara itu, Andreas Acui Simanjaya yang menemani kami ke makam Juang Mandor mengatakan, terkesan dengan apa yang dialami Bapak Soewito Limin. Beliau masih ingat benar bahwa malam sebelum ayahnya ditangkap Jepang, beliau masih balita saat itu, baru belajar bicara dan pada malam itu baru pertama kali bisa memanggil papa .... papa ... itu kata-kata yang baru bisa diucapkannya malam itu yang pasti membuat seluruh anggota keluarga terbawa dalam keceriaan karena seorang anak mulai bisa bicara dan memanggil ayahnya.
Menurut Acui, dirinya sendiri sangat memahami bagaimana rasa bangga dan bahagia itu timbul sebagai seorang ayah ketika putra pertamanya, Chrisdion Simanjaya (7 tahun) belajar bicara dan kata pertama yang bisa di ucapkan adalah papa ...
Bagi anak-anak yang kehilangan seorang ayah yang juga berarti kehilangan satu masa manis yang seharusnya dialami oleh seorang anak yang memiliki orang tua yang lengkapadalah suatu kejadian yang sangat menyakiti hati dan sepanjang kehidupan anak para korban Jepang, dan itu terasa sampai kini.Jika seorang ayah dalam kehidupan kita direnggut begitu saja tanpa ada penjelasan dan sebab, apalagi kelak diketahui ternyata sang ayah mengalami perlakuan tidak manusiawi hingga dikuburkan tanpa nisan di Mandor, ini kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan terhadap seorang anak yang membutuhkan ayah dalam hidupnya. (bersambung)
Borneo Tribune, Pontianak
Kurang dari 24 jam, setelah blogspot yang merekam peristiwa Mandor pada zaman penjajahan Jepang dan kondisi sekarang ini, respon pembaca Borneo Tribune dan kenalan saya lumayan bagus. Rupanya, setelah membaca berita box Borneo Tribune soal peristiwa Mandor dapat diakses di Mancanegara, Jumat (29/6) pagi kemarin, tak sedikit yang langsung membuka internet--mengakses menelusuri web http://www.peristiwamandor44.blogspot.com/, yang saya rampungkan 12 jam sebelumnya.
Blog tersebut memuat banyak peristiwa miris yang dilakukan Jepang terhadap satu generasi di Mandor. Cerita miris itu coba kami telusuri dari keluarga atau anak cucu korban yang masih hidup.
Salah satu anak korban yang saya temui usai peringatan hari berkabung daerah (HBD) di Mandor dua hari lalu adalah, Soewito Limin. Pendiri lembaga pendidikan Bina Mulia ini punya cerita memilukan menjelang pembantaian Jepang di Mandor.
Saat diwawancarai saya, Nur Iskandar dan Munawar serta Gumai dari MTA TV (TV Muslim London) yang siarannya ditayangkan ke kurang lebih 200 negara, Soewito Limin awalnya tampak terharu dengan peringatan HBD yang mendapat sambutan hangat keluarga korban, pemerintah dan warga masyarakat Kalbar.
Namun ketika beliau mengingat kejadian masa lalu, Soewito Limin sempat termanggu.
“Waktu itu umur saya dua tahun kurang satu bulan. Dan baru bisa menyebut papa…papa….”
Suara Soewito Limin hilang. Bulir-bulir bening keluar dari matanya. Ia pun menyeka air matanya dan menarik napas dalam-dalam.
Bebrapa saat Soewito menghentikan bicaranya. Ia terdiam, tatapannya menerawang ke depan dengan pandangan kosong.
Lalu ia melanjutkan ceritanya, “Baru malam itulah saya bisa menyebutkan nama papa. Saat papa pulang kerja, saya buru-buru menghampirinya dan memanggil papa…papa. Hanya beberapa jam datang serdadu Jepang menangkap dan membawa papa keluar. Mulai saat itu papa tidak pulang lagi,” ceritanya dengan mulut gemetar.
“Bagi saya pribadi permintaan maaf Jepang itu tidak cukup, tapi bagaimana Jepang bisa membantu pendidikan anak-anak Kalbar ini supaya bisa maju dan sejajar dengan mereka,” katanya.
Tapi lanjutnya, jangankan memperhatikan pendidikan terutama anak cucu korban keganasan Jepang, minta maaf saja sulit mereka lakukan.
Katanya, peristiwa itu betul-betul cambuk. “Kemudian bagi masyarakat Kalbar, saya juga mendirikan sekolah Bina Mulia. Mengapa Bina Mulia? Kita ingin membina anak-anak kita dengan pendidikan yang lebih baik,” katanya lagi.
Sementara itu, Andreas Acui Simanjaya yang menemani kami ke makam Juang Mandor mengatakan, terkesan dengan apa yang dialami Bapak Soewito Limin. Beliau masih ingat benar bahwa malam sebelum ayahnya ditangkap Jepang, beliau masih balita saat itu, baru belajar bicara dan pada malam itu baru pertama kali bisa memanggil papa .... papa ... itu kata-kata yang baru bisa diucapkannya malam itu yang pasti membuat seluruh anggota keluarga terbawa dalam keceriaan karena seorang anak mulai bisa bicara dan memanggil ayahnya.
Menurut Acui, dirinya sendiri sangat memahami bagaimana rasa bangga dan bahagia itu timbul sebagai seorang ayah ketika putra pertamanya, Chrisdion Simanjaya (7 tahun) belajar bicara dan kata pertama yang bisa di ucapkan adalah papa ...
Bagi anak-anak yang kehilangan seorang ayah yang juga berarti kehilangan satu masa manis yang seharusnya dialami oleh seorang anak yang memiliki orang tua yang lengkapadalah suatu kejadian yang sangat menyakiti hati dan sepanjang kehidupan anak para korban Jepang, dan itu terasa sampai kini.Jika seorang ayah dalam kehidupan kita direnggut begitu saja tanpa ada penjelasan dan sebab, apalagi kelak diketahui ternyata sang ayah mengalami perlakuan tidak manusiawi hingga dikuburkan tanpa nisan di Mandor, ini kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan terhadap seorang anak yang membutuhkan ayah dalam hidupnya. (bersambung)
Foto: By Andreas Acui Simanjaya
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune, tanggal 29 Juni 2007
2 comments:
Semoga papa mu diterima di sisi Allah SWT, Beliau orang yg teraniaya dikasihi Allah.Berdoalah untuk papa mu .kalo muslim baca Robbi firli waliwalidaya warhamhuma kamma rabbayani shoghiro. Amin
Post a Comment