Thursday, June 28, 2007

Dibawa Pergi dan Tak Kembali (bagian 2)


Andry
Boreno Tribune, Pontianak

Sebelumnya, Lim Bak Chai ditawari oleh Jepang untuk menjadi seorang Kepala Rumah Sakit di Kota Pontianak kala itu. Namun karena Jepang telah menculik dan membunuh sepupunya maka ia menolak akan tawaran tersebut.

Lambat laun Jepang mengetahui alasan penolakan tersebut karena Lim Bak Chai adalah bersepupu dengan Lim Bak Khim, maka ia pun menemui haribaannya dengan merasakan kebiadaban Jepang.
Kebiadaban Jepang seolah tak bisa berhenti guna memangsa kaum cerdik pandai, kaya dan berkedudukan dalam strata sosial di Republik ini. Satu demi satu pejuang kesuma bangsa gugur demi tumpah darahnya. Kembali darah seorang patriot bangsa keturunan Tionghoa membasahi Bumi Khatulistiwa sebagai pejuang.
Lim Bak Hwap alias Lim Teng Guan (34), merupakan salah seorang Kepala Sekolah yang sederajat dengan SD kala itu. Dia juga merupakan kakak kandung dari Lim Bak Khim yang mengalami nasib yang sama. Mereka merupakan keluarga besar N.V Lim Lan Hiang, yang kala itu telah memiliki saham sebesar 10.000 Golden. (N.V seperti CV saat ini).
Bapak yang kala itu telah berhasil menyandang gelar sarjana di bidang ekonomi ini ternyata juga piawai bermain tennis lapangan. Selain itu ia kerap dikenal sebagai seorang yang berani mengungkapkan gagasan-gagasannya demi kemajuan bangsa Indonesia. Sehingga hal itu membuat ia merupakan salah seorang yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Jepang. Demi keselamatan keluarganya, Lim Bak Hwap memilih tinggal di daerah Parit Baru, agar terhindar dari incaran Jepang.
Namun karena hasrat dan kerinduan yang mendalam akan sanak saudaranya yang berdomisili di Parit Darat atau Pasar Tengah saat ini, akhirnya ia memutuskan untuk mengunjungi saudaranya itu dengan membawa anak-anaknya, salah satunya bernama Lim Kiam Ciu atau Alexander Marsudi Halim yang berbagi kisah dengan Tribune saat itu masih berumur 9 hari.
Akhirnya maut pun menjemput seorang kesuma bangsa. Minggu, 18 Agustus 1944 sekitar pukul 09.00 WIB. Ketika itu berada di rumah keluarganya di Parit Darat atau Pasar Tengah.
Ketika itu, Lim Kiam Cuan (6) yang merupakan abang kandung dari Lim Kiam Ciu atau Alexander Marsudi Halim, sedang asik bermain bola di depan halaman rumah. Tiba-tiba ada beberapa orang serdadu Jepang yang kebetulan melintas. Karena terkejut melihat serdadu Jepang yang menuju ke arahnya dengan tanpa memberikan penghormatan bocah tersebut lantas berlari menuju rumah dan segera bersembunyi.
Melihat kenyataan itu serdadu Jepang menjadi curiga lantas mengejar bocah mungil itu. Tanpa banyak basa-basi serdadu Jepang langsung masuk ke dalam rumah hendak menangkap. Ternyata setelah berada di dalam rumah itu, serdadu Jepang menemukan si bocah yang sedang bersembunyi seraya ketakutan di balik Ayahnya, yang kala itu sedang menggendong seorang bayi yang masih berusia 9 hari. ( bayi yang berusia 9 hari itu adalah Lim Kiam Ciu atau Alexander Marsudi Halim).
Setelah menemukan si bocah yang bersembunyi di balik Ayahnya, tiba-tiba serdadu Jepang menjadi curiga dengan Ayah si bocah. Lantas serdadu kejam itu langsung mengamati secara seksama sembari melihat foto-foto daftar orang yang mereka cari. Ternyata Ayah bocah tersebut merupakan salah seorang yang selama ini mereka cari. Akhirnya Lim Bak Hwap ditangkap oleh Jepang dengan cara kepalanya di sungkup dengan sarung bantal yang mereka ambil di rumah tersebut. Kemudian setelah itu kesuma bangsa yang telah mengharumkan nama Republik ini langsung digelandang keluar rumah lantas dibawa pergi oleh serdadu-serdadu biadab nan kejam. Hingga kini ia pun tak pernah kembali lagi ke dalam pangkuan keluarga serta murid yang selalu merindukan akan sosok seorang pejuang pendidikan. (Bersambung)

Foto: By Lukas B Wijanarko
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 23 Juni 2007

No comments: