Thursday, June 28, 2007

Ziarah ke Makam Juang Mandor (bagian 6)


Ir.H. Said Djafar
Putra H.Djafar H.Rasyid salah seorang korban pembunuhan fasisme Jepang
Kembali masyarakat Kalbar khususnya keluarga korban fasisme Jepang berserta pejabat pemda setiap tanggal 28 Juni berkunjung ke Mandor dalam rangka berziarah ke tempat terkuburnya para tokoh masyarakat, kaum bangsawan, para sultan dan raja serta para cerdik cendikiawan di Kalbar yang jumlahnya sekitar 21.037 orang dibunuh dengan sadis dari target jumlah 50.000 orang.
Satu generasi intelektual yang hilang menyebabkan Kalbar tertinggal dalam kencah revolusi kemerdekaan dan pembangunan. Rencana target 50.000 orang yang akan dihabisi untuk menjadikan Kalbar sesuai dengan doktrin Jenderal Hideko Toyo untuk men—Jepang—kan generasi mudanya agar tunduk dan patuh di bawah bendera matahari terbit dengan kekuasaan Kaisar Sang Mahaputra Matahari seperti yang dilaksanakanya di Korea di mana penduduk di atas umur 12 tahun dibunuh.
Sekiranya kerakusan dan kebiadaban itu terjadi kitapun tak tahu sejarah perjalanan Kalbar sampai sekarang ini apakah akan lebih baik atau lebih buruk dari sekarang yang dirasakan.Yang jelas kiranya tidak terjadi pembunuhan yang biadap atas para intelektual itu dengan istilah populernya sekarang pelanggaran HAM berat tentu Kalbar akan jauh lebih maju dari sekarang.
Yang menyedihkan sekarang peristiwa yang biadab itu tak banyak masyarakat Indonesia yang tahu termasuk para pejabatnya. Menteri HAM Bapak Asbalah M Saad ketika berkunjung di Kalbar dalam kapasitasnya sebagai menteri pada pertemuan di Kantor Gubernur ketika saya menanyakan apakah kasus yang tak berperikemanusiaan itu termasuk pelanggaran HAM berat atau bukan dan sampai sekarang Pemerintah Jepang tidak pernah minta maaf, Beliau terkaget-kaget mendengar tentang peristiwa pembunuhan yang biadab itu yang selama ini belum pernah diketahuinya serta minta dilengkapi data-datanya dan diantarkan ke Jakarta untuk dipelajari dan dibahas.
Alhamdulilah sampai sekarang permintaan itu tak pernah digubris oleh Pemda sebagai pengayom masyarakat. Kita harapkan perlu ada perjuangan memperjuangkan hak-hak Kalbar yang harus diterima tentunya bukan sebagai pengganti nyawa tapi agar pengorbanan mereka masih ada yang ditinggalkan untuk kepentingan pembangunan Kalbar seperti membangun rumah sakit, pendidikan, infrastruktur pertanian dan lainnya. Kalbar hanya pernah mendengar adanya penggantian berupa pampasan perang oleh Pemerintah Jepang pada Pemerintah Indonesia yang diutarakan dalam sebuah buku yang ditulis ibu Ratna Dewi Soekarno yang diperkuat Menteri Luar Negeri pada waktu itu Mr.Achmad Subardjo Djoyo Adisurjo, tapi sebagai utusan Pemerintah Indonesia dalam perundingan mengenai pampasan perang dengan Jepang dari tabel perundingan Kalbar justru tidak termasuk karena tidak ada tuntutan rakyat Kalbar.
Jadi suatu bukti peristiwa yang tragis yang menimpa Kalbar jangankan orang Pusat di Jakarta yang tidak atau pura-pura tidak tahu, bahkan Pemerintah Daerah Kalbar-pun seakan-akan tidak tahu akan kejadian tersebut karena tidak memperjuangkannya yang ada hanyalah rakyat khususnya pewaris para korban yang menerima deritanya.
Masih beruntung Kalbar pernah punya Gubernur yang bernama Kadarusno yang telah memugar makam Mandor tahun 1976 dan menetapkan tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD). Bendera saat itu sudah dipasang setengah tiang. Upacara khusus berikut ziarah dilakukan ke makam JOANG MANDOR melalui persetujuan DPRD serta Gubernur Bp. Soedjiman yang telah memberikan piagam penghargaan yang disampaikan pada ahli waris.Memperingati detik-detik apel ziarah kali ini kita menjadi renungan mudah-mudahan Gubernur yang akan datang yang terpilih punya perhatian dan memperjuangkan hak-hak Kalbar berupa pampasan perang yang pernah diterima Indonesia dari Jepang serta permintaan maaf Pemerintah Jepang pada rakyat Kalbar. Ini menindaklanjuti telah diterbitkannya Perda HBD itu sendiri. Semoga para arwah korban diterima di sisi-Nya. Amien! (Penulis adalah Mantan Kadis PU Kalbar—kini menetap di Jakarta).

Foto: By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune

No comments: