Nur Iskandar
Borneo Tribune, Pontianak
Frans Anes muncul di Harian Borneo Tribune. Dia tertarik dengan upaya Tribune Institute menguak secara lengkap tragedi kemanusiaan “Mandor” di mana di Monumen Daerah Mandor terkubur puluhan ribu jiwa anak negeri sebagai korban dari penjajahan Jepang 1942-1945.
Sepupu Gubernur Cornelis ini mengatakan, pamannya Panglima Sidong tewas di tangan Dai Nippon dalam aksi-aksi mereka menculik para tokoh masyarakat yang dinilai berbahaya bagi eksistensi “saudara tua” menguasai Kalbar.
Kisah tragis yang diderita keluarga menurut Frans Anes diceritakan langsung oleh orang tuanya, Baso. “Ayah saya selalu menceritakan kepedihan keluarga saat penjajahan Jepang,” ungkapnya.
Ayahnya yang adik langsung dari Panglima Sidong beruntung tidak disungkup Jepang karena pendiam dan menangis tersedu-sedu. “Jepang menilainya sebagai orang yang lemah,” kata dia.
Sebaliknya, Panglima Sidong melakukan perlawanan. Panglima Sidong tak mau bertekuk lutut kepada Dai Nippon Jepang karena dia mempunyai olah kanuragan yang tinggi. Oleh karena itu dia melawan dengan kata-kata dan tindakan secara langsung.
“Saat itu juga Jepang yang memang sudah bengis itu menangkap Panglima Sidong. Tubuhnya dihajar, tapi tak mempan karena kebal,” cerita Frans Anes mengenang kisah dari ayahnya.
Karena dipukul bertubi-tubi Panglima Sidong tak bergeming, maka lehernya dicekik, bahkan diikat dengan tali. “Masih tidak mempan, Panglima Sidong ditarik dengan mobil sehingga kuat tali mencekik lehernya.”
Nyawa masih tak mau lepas dari raga Panglima Sidong, akhirnya dia dibunuh secara sadis dengan potongan besi yang membara yang ditusukkan dari bokongnya.
Panglima Sidong dari Dusun Rabak merupakan kerabat dari Maria, ibunda Cornelis. “Kami termasuk keluarga korban Mandor,” ujarnya.
Frans merekomendasikan nama Alif Sidong di Senakin yang dikatakannya banyak mengetahui sejarah kekejian Jepang terkait Tragedi Mandor. “Jika ditelusuri lebih lanjut, sejarahnya akan sambung menyambung sampai kepada perjuangan Pangsuma di Meliau,” tambahnya.
Di tempat terpisah, Kepala Kantor Pariwisata Kota Pontianak, Drs Sugeng Hardjo Subandi turut menyikapi Hari Berkabung Daerah (HBD) yang diperingati setiap 28 Juni. Katanya, saat dia menjadi mahasiswa APDN, turut terlibat mengangkut tulang-belulang yang berserakan di Mandor.
“Kami diangkut Gubernur Kadarusno untuk bergotong royong bersama militer dan masyarakat untuk menguburkan kerangka-kerangka itu secara lebih manusiawi,” ujarnya mengenang masa 1977.
Terkait dengan saksi sejarah, Sugeng menceritakan saat dia bertugas di Tayan selaku camat. “Selama delapan tahun saya bertugas di sana. Saya mengenal tokoh bernama Maengkri. Beliau salah seorang korban Jepang yang selamat dari pembantaian secara massal,” ungkapnya.
Maengkri kata Sugeng, selamat dari berondongan peluru yang membabi-buta yang dilakukan pada tengah malam di Mandor. Maengkri berpura-pura menggelepar bersama tubuh-tubuh lain yang terkoyak-moyak oleh peluru.
“Saat malam semakin larut. Kira-kira pukul dua dini hari, Pak Maengkri perlahan-lahan keluar dari lokasi genosida tersebut. Selama dua hari dua malam Maengkri bersembunyi di hutan dan makan pucuk-pucuk daun. Selanjutnya Beliau dapat kembali ke Tayan,” tambahnya mengenang kisah yang dituturkan langsung oleh Maengkri.Sugeng berusaha untuk mencari kabar, apakah saat ini Maengkri masih hidup atau sudah tiada. “Jika Beliau masih hidup, beliau bisa menceritakan bagaimana kondisi pembunuhan langsung yang dilakukan Jepang di Mandor,” imbuhnya.
Borneo Tribune, Pontianak
Frans Anes muncul di Harian Borneo Tribune. Dia tertarik dengan upaya Tribune Institute menguak secara lengkap tragedi kemanusiaan “Mandor” di mana di Monumen Daerah Mandor terkubur puluhan ribu jiwa anak negeri sebagai korban dari penjajahan Jepang 1942-1945.
Sepupu Gubernur Cornelis ini mengatakan, pamannya Panglima Sidong tewas di tangan Dai Nippon dalam aksi-aksi mereka menculik para tokoh masyarakat yang dinilai berbahaya bagi eksistensi “saudara tua” menguasai Kalbar.
Kisah tragis yang diderita keluarga menurut Frans Anes diceritakan langsung oleh orang tuanya, Baso. “Ayah saya selalu menceritakan kepedihan keluarga saat penjajahan Jepang,” ungkapnya.
Ayahnya yang adik langsung dari Panglima Sidong beruntung tidak disungkup Jepang karena pendiam dan menangis tersedu-sedu. “Jepang menilainya sebagai orang yang lemah,” kata dia.
Sebaliknya, Panglima Sidong melakukan perlawanan. Panglima Sidong tak mau bertekuk lutut kepada Dai Nippon Jepang karena dia mempunyai olah kanuragan yang tinggi. Oleh karena itu dia melawan dengan kata-kata dan tindakan secara langsung.
“Saat itu juga Jepang yang memang sudah bengis itu menangkap Panglima Sidong. Tubuhnya dihajar, tapi tak mempan karena kebal,” cerita Frans Anes mengenang kisah dari ayahnya.
Karena dipukul bertubi-tubi Panglima Sidong tak bergeming, maka lehernya dicekik, bahkan diikat dengan tali. “Masih tidak mempan, Panglima Sidong ditarik dengan mobil sehingga kuat tali mencekik lehernya.”
Nyawa masih tak mau lepas dari raga Panglima Sidong, akhirnya dia dibunuh secara sadis dengan potongan besi yang membara yang ditusukkan dari bokongnya.
Panglima Sidong dari Dusun Rabak merupakan kerabat dari Maria, ibunda Cornelis. “Kami termasuk keluarga korban Mandor,” ujarnya.
Frans merekomendasikan nama Alif Sidong di Senakin yang dikatakannya banyak mengetahui sejarah kekejian Jepang terkait Tragedi Mandor. “Jika ditelusuri lebih lanjut, sejarahnya akan sambung menyambung sampai kepada perjuangan Pangsuma di Meliau,” tambahnya.
Di tempat terpisah, Kepala Kantor Pariwisata Kota Pontianak, Drs Sugeng Hardjo Subandi turut menyikapi Hari Berkabung Daerah (HBD) yang diperingati setiap 28 Juni. Katanya, saat dia menjadi mahasiswa APDN, turut terlibat mengangkut tulang-belulang yang berserakan di Mandor.
“Kami diangkut Gubernur Kadarusno untuk bergotong royong bersama militer dan masyarakat untuk menguburkan kerangka-kerangka itu secara lebih manusiawi,” ujarnya mengenang masa 1977.
Terkait dengan saksi sejarah, Sugeng menceritakan saat dia bertugas di Tayan selaku camat. “Selama delapan tahun saya bertugas di sana. Saya mengenal tokoh bernama Maengkri. Beliau salah seorang korban Jepang yang selamat dari pembantaian secara massal,” ungkapnya.
Maengkri kata Sugeng, selamat dari berondongan peluru yang membabi-buta yang dilakukan pada tengah malam di Mandor. Maengkri berpura-pura menggelepar bersama tubuh-tubuh lain yang terkoyak-moyak oleh peluru.
“Saat malam semakin larut. Kira-kira pukul dua dini hari, Pak Maengkri perlahan-lahan keluar dari lokasi genosida tersebut. Selama dua hari dua malam Maengkri bersembunyi di hutan dan makan pucuk-pucuk daun. Selanjutnya Beliau dapat kembali ke Tayan,” tambahnya mengenang kisah yang dituturkan langsung oleh Maengkri.Sugeng berusaha untuk mencari kabar, apakah saat ini Maengkri masih hidup atau sudah tiada. “Jika Beliau masih hidup, beliau bisa menceritakan bagaimana kondisi pembunuhan langsung yang dilakukan Jepang di Mandor,” imbuhnya.
No comments:
Post a Comment