Budi Rahman
Borneo Tribune, Pontianak
Jumat (20/6) malam suasana di Roof Café, Hotel Peony terlihat romantis. Tembang-tembang Top 40’s mulai dinyanyikan biduan café saat jarum jam menunjuk angka 18.30. Bertepatan dengan waktu ini pula sekitar tiga puluhan anak ahli waris dan tokoh peduli berhimpun. Mereka membincangkan tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Kalbar namun tidak terpublikasikan dengan baik.
Peristiwa pembantaian 21.037 jiwa anak bangsa oleh bala tentara Dai Nippon di masa Perang Dunia II menjadi “lubang hitam” sejarah Kalimantan Barat. Pada peristiwa ini satu generasi terbaik yang dimiliki Kalimantan Barat dibantai habis oleh “Orang Katai dari Timur”. Pada pertemuan di malam Jumat itu pemandangan yang menarik dan menyentuh terlihat. Para ahli waris korban yang mestinya berbicara dengan nada emosi yang meletup karena para orang tua mereka “disungkup” dan diperlakukan seperti bukan manusia justru berbicara santun dan bijak.
Tidak ada dendam kesumat, tidak ada amarah yang tertahan. Sungguh, mereka Gusti Suryansyah sang Pangeran Ratu Landak, Gusti Mardan Adi Wijaya Panembahan Mempawah, Erick S. Martio pengusaha yang kakeknya cukup punya nyali untuk kabur dari truk pengangkut ke ladang pembantaian di Mandor, Syarif Herry Alqadrie kerabat Sultan Syarif Muhammad yang diculik dan dikebumikan di PSP dan beberapa generasi baru Kalbar lainnya tidak berbicara dengan nada meletup. Mereka berdialog dan berdiskusi layaknya para sufi yang memiliki kesadaran tingkat makrifat.
Dipandu Nur Iskandar, Pemimpin Redaksi Borneo Tribune yang juga menjadi salah satu tokoh penginisiasi Hari Berkabung Daerah (HBD) di Kalbar, para peserta mengeluarkan ide dan pemikiran-pemikiran bijak mereka tentang rencana peringatan HBD tanggal 28 Juni nanti di Mandor. Ada perwakilan ahli waris, ada perwakilan birokrat, ada perwakilan tokoh peduli, ada pula perwakilan pihak yang berempati pada sejarah perjuangan di Kalbar. Mereka duduk melingkar di kursi meja yang disusun persegi panjang.
Ada tiga hal pokok yang hendak dirembugkan: masalah ziarah, upacara dan seminar dengan Kedutaan Jepang di Jakarta. Satu persatu perkara dibicangkan. Wiwiek dan Paimin perwakilan dari kalangan birokrat menyampaikan berbagai persiapan yang telah dilakukan terkait dengan HBD ini.
“Ini bukan soal sebuah etnis atau agama. Ini tentang miniatur Indonesia yang diberangus oleh Jepang,” Gusti Suryansyah mengulas peristiwa puluhan tahun silam.
Dalam Peristiwa Mandor, korban pembantaian massal itu memang bukan hanya satu atau dua golongan saja. Tidak pula dari satu atau dua profesi saja. Di dalam deretan 21.037 korban itu ada Bangsawan Istana yang beretnis Melayu, ada pedagang yang kebanyakan beretnik Tionghoa-Dayak, ada aktivis politik bermacam-macam suku, ada guru, jurnalis, penulis dan banyak ragam profesi penting di masyarakat lainnya.
“Waktu itu kata kakek saya asal punya radio, pandai baca ditangkap dianggap membahayakan. Kakek saya Kwek Liang Tie kebetulan selamat karena berani melompat keluar truk,” kata Erick mengenang peristiwa horor tersebut.
Panembahan Mempawah, Dr. Mardan Adijaya ingin tragedi itu bisa diketahui dan diambil hikmahnya. Menurutnya harus dibuat selebaran resmi sejarah Mandor untuk mengenang peristiwa maha pahit itu.
“Itu yang dikubur di sana semua suku, agama ada. Mereka pahlawan kita semua,” kata putra mantan Wagub Kalbar, Drs Jimmi M Ibrahim.
Dwi Safitriyanti, SH advokad muda yang kini dipercaya sebagai Direktur Tribune Institute angkat suara dari sudut pandang hukum, sesuai dengan dunia yang ia geluti selama ini. Menurutnya Tragedi Mandor bisa diangkat kembali dengan langkah hukum.
“Seminar Indonesia-Jepang bukan suatu hal yang mustahil. Kalo memang Indonesia dan Jepang beda perspektif kenapa tidak kita libatkan lembaga internasional. Kita punya PBB,” katanya tegas dan bernas.
Menurut Dwi, merujuk pada penyelesaian masalah antar negara bisa diselesaikan melalui forum khusus. Penyelesaian konflik Indonesia-Timor Leste melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) adalah salah satu contoh.
“Kita bisa mendapat lebih dari sekadar kompensasi,” kata Dwi mengeluarkan statemen yang telah dianalisis dengan perspektif hukum.
Pembicaraa tentang rencana seminar dengan pihak Jepang memang cukup menarik. Tapi yang lebih menarik adalah ketika para peserta dialog sepertinya sudah satu sikap memandang semangat seminar tersebut. Peserta dialog stakeholder malam itu ingin seminar nantinya bisa berjalan dengan baik tanpa melibatkan emosi dan membangkitkan dendam.
“Kalo bisa nanti yang kira-kira mau panas atau bicara macam-macam jangan ikut ke Jakarta,” kata Gusti Suryansyah mengusulkan kepada floor agar semangat seminar tidak beralih.
Malam itu, floor sepertinya tak hendak memandang keuntungan-keuntungan materi yang sangat boleh jadi bisa didapat dengan menuntut Jepang. Para peserta dialog lebih ingin mencari hikmah di balik genosida di abad 20 itu.
“…yang penting itu bagaimana persatuan generasi kita bisa tercipta. Soal Jepang nanti mau minta maaf jadi ndak terlalu penting. Perlu nawaitu yang jelas untuk mencapai tujuan kita ini,” kata Andreas Acui Simanjaya mulai menciduk hikmah yang ada di balik Tragedi Mandor.
“Memperingati Peristiwa Mandor ini bukan untuk balas dendam. Tapi untuk membangkitkan nilai-nilai kejuangan,” tandas Manorang salah satu peserta dialog dari etnik Batak yang bekerja di Dinas Sosial.
Peristiwa Mandor memang membikin pilu, pahit dan menyakitkan bagi generasi Kalbar saat ini. Remuk rasanya hati mendengar kekejaman si Katai dari Timur memenggal tanpa peri kemanusiaan para pendahulu kita. Terbayang betapa Kalbar tidak akan menjadi daerah terbelakang dengan tingkat IPM yang rendah kalau saja para cerdik cendekia kita tidak dibantai Jepang kala itu. Tapi sudahlah. Ada blessing in disguise, hikmah di balik musibah jika kita cerdas dan arif melihat sejarah hitam itu sebagai warisan masa lalu.
Sunday, June 22, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment